Belakangan ini kita diberondong oleh berita
mengenai kekerasan terhadap anak. Mulai dari penelantaran anak (saja) di
Cibubur sampai yang menyebabkan kematian pada seorang bocah cantik di Sanur,
Bali.
Semuanya tergugah. Semua tersentak. Semua kesal. Semua marah.
Tapi ke mana kita sebelumnya?
"Anak tetangga kasian deh, nggak diurusin
sama orangtuanya"
"Di sekolah temennya anak gue ada lho yang ga pernah diurus nyokapnya, orangtua ga pernah datang kalo acara sekolah, ga pernah dibawain bekal.."
"Kemarin gue liat anak kecil dicubit sama ibunya gara-gara nggak mau makan"
Dan seterusnya..
"Di sekolah temennya anak gue ada lho yang ga pernah diurus nyokapnya, orangtua ga pernah datang kalo acara sekolah, ga pernah dibawain bekal.."
"Kemarin gue liat anak kecil dicubit sama ibunya gara-gara nggak mau makan"
Dan seterusnya..
Banyak hal yang sudah kita saksikan setiap hari.
Banyak hal yang tanpa kita sadari merupakan bentuk kekerasan terhadap anak di
sekitar kita. Kalaupun bukan kekerasan, eksploitasi juga sering. Beragam hal
tersebut sebenarnya berpotensi ke arah kekerasan pada anak. Tapi, ke mana kita?
Gue nggak menyalahkan orang lain, tapi gue juga menyalahkan diri sendiri. Lebih
dari 10 tahun yang lalu, pernah gue liat seorang anak diomeli dan dipukul
beberapa kali oleh bapaknya di sebuah mal mewah di Jakarta. Anaknya nangis
sampe minta ampun, bapaknya cuek aja di depan umum melakukan hal tersebut. Anaknya
paling baru umur 7 tahun. Orang-orang hanya diam. Gue, hanya diam.
"Nggak mau ikut campur urusan orang lain", begitu dalih kita.
Ya, kita semua tau deh, setelah jadi orangtua,
dicampuri urusan mendidik anak adalah nggak enak. Dikomentari cara kita
mendidik anak itu nyebelin. Tau apa orang-orang tentang cara kita mendidik
anak? Tapi, apa cara kita yang paling benar? Apa menanamkan disiplin ke anak
adalah dengan memberikan pukulan atau tidak memberikan mereka makan
berhari-hari?
Untuk kasus Angeline, perlu gue tambahin,
bagaimana cara kita memperlakukan anak kita bisa menjadikan acuan bagaimana
orang lain memperlakukan anak-anak kita. Si pembantu yang dijadikan tersangka,
baru dalam hitungan bulan kerja di rumah itu. Kok berani melakukan hal sekeji
itu ke anak majikannya? Kalau sang majikan terlihat dekat dengan anaknya, penuh
cinta kasih ke anaknya (walaupun anak angkat), mungkin orang lain yang notabene
orang baru di rumah itu tidak berani ‘bertingkah’ ke Angeline. Kisahnya mengingatkan
gue pada Cinderella/ Upik Abu.
“Pemerintah harusnya memperhatikan anak-anak dong”
“Pemerintah harus menyediakan perlindungan sosial buat
anak-anak”
“Pemerintah harusnya membuat UU yang..”
Blablabla..
Nggak usah ke pemerintah dulu deh. Sama aja kaya
pemerintah udah bikin peraturan nggak boleh merokok sembarangan, tapi di tempat
umum berapa banyak orang yang merokok di dekat sign “Dilarang Merokok”?. Mulai dari
kita aja dulu, yuk.
Dalam diam kita, ada tangis anak-anak itu.
Dalam diam kita, ada nyawa yang melayang.
Dalam diam kita, ada masa depan seorang anak yang terenggut.
Dalam diam kita, mereka bisa mati.
Dalam diam kita, ada nyawa yang melayang.
Dalam diam kita, ada masa depan seorang anak yang terenggut.
Dalam diam kita, mereka bisa mati.
Nggak usah takut dianggap kepo. Nggak usah takut
dibilang mau tau aja urusan orang. Sedikit sapaan dari kita, mungkin bisa
menyelamatkan mereka.
Rest in Peace, Angeline. Rest in Peace anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
*catatan buat kita sebagai orangtua, kalo nggak mau dikomentarin orang mengenai cara kita ke anak, then do it right. Perlakukan anak sebagai manusia. Bukan seperti barang yang kita miliki.
Gw banyak nge-skip berita angeline ini Lit, abisnya gak kuat yaa. Gw pun pernah sangaaattt menyesal karena gak berani menegur orang tua yang marahin anak sampe mukul-mukul gitu, yabes tetangga gak kenal dan jauh lebih tua pula huhuhuhuhuhuh.
ReplyDeleteAda beberapa hal yang gue skip juga, ga tegaa.. Tapi marah banget rasanya sama orang2 yang tega melakukan hal2 sejenis ke anak2. Bukan cuma Angeline..
DeleteDuh semoga tetangga lo segera sadar ya..
Baca postingan loe jadi bikin gw sadar kalo ternyata Hani lebih keibuan dan lebih berani daripada gw sendiri, seorang Ibu.
ReplyDeleteKalo ada orang tua yang suka kelewatan ngomelin anaknya ato main kekerasan di depan kami, gw kadang cuma berani ngomong sama Hani doang.
Hani tuh kadang suka nyamperin emaknya ngasih tau dan yaah kadang berakhir jadi berantem antara Hani dan orang tuanya.
Bukannya membantu Hani melakukan hal yang sama, selama ini gw lebih sering " Udahlah, Han..."
Thanks udah ngingetin, Lit.
Ke depannya, kita para orang tua harus bersatu melawan kekerasan pada anak.
Gue juga masih sungkan Ndah mengingatkan orang lain tentang bagaimana mereka memperlakukan anaknya. Hani hebat, ya. Walau mungkin di mata orang lain terkesan icam alias ikut campur, tapi siapa tau teguran Hani itu malah bisa menyelamatkan anak itu atau setidaknya membuka mata orangtua itu bahwa tindakannya itu nggak tepat.
DeleteAamiiin.. Semoga kita semua sadar dan nggak hanya hangat tahi ayam aja..