Tau dong,
sama istilah ini? Kalau ibu-ibu biasanya menggunakan istilah ini buat anak yang
berani berekspresi di dalam rumah. Sementara kalau di luar rumah atau saat
ketemu orang lain yang berada di luar ‘zona aman’nya, semangat dan kepercayaan
dirinya pun ‘melempem’, si anak jadi pemalu dan lebih banyak diam.
Tahun 2006
gue baru ngerasa kalo gue ini jago kandang. Selama 4 tahun, gue berada di
perusahaan yang sama. Kebetulan gue kerja di perusahaan itu sejak perusahaan
itu masih kecil. Karyawan belum sampe 10 orang, semuanya masih dikerjain
bareng-bareng.
Selama hampir
5 tahun, karir gue capcus banget. Dari anak ingusan, kerja sambil kuliah,
nenteng mic ke mana-mana buat wawancara narasumber, sampe jadwal yang padat
untuk meeting sama orang-orang penting dari berbagai stasiun televisi.
jadi yang 'berkuasa' ngatur mereka yang tampil :D |
Kok bisa?
Kebetulan, bos pemilik kantor sangat percaya sama kemampuan gue. (ya ini mungkin faktor keberuntungan dan ya, modal gue emang kepercayaan orang lain). Gue mungkin salah satu orang yang mampu menerjemahkan isi kepala beliau ke dalam bentuk proposal. Pak bos tinggal ngoceh, gue duduk sebelahnya "ngerapiin" isi omongan ke dalam bentuk proposal atau naskah.
Gue jagoan
lah.
Sampai saat
gue resign dari kantor tersebut dan pindah ke tempat lain.
Gue ketemu
sesama tim kreatif yang jago bikin jingle..
Gue ketemu sama PA yang jago ngedit..
Gue ketemu sama produser yang film pendeknya juara di mana-mana..
Gue ketemu produser yang sanggup nulis puisi tiap hari..
Gue ketemu sama banyak orang level ilmunya jauuuuuuh di atas gue!
Gue ketemu sama PA yang jago ngedit..
Gue ketemu sama produser yang film pendeknya juara di mana-mana..
Gue ketemu produser yang sanggup nulis puisi tiap hari..
Gue ketemu sama banyak orang level ilmunya jauuuuuuh di atas gue!
Selama 5
tahun kemarin, ternyata gue jago kandang.
Gue jadi jago karena dapat kesempatan untuk dipercaya bos. Gue dianggap jago karena di awal perusahaan berdiri, karyawan yang lain otodidak sementara gue jebolan kuliah. Gue dianggap jago karena kondisi.
Gue jadi jago karena dapat kesempatan untuk dipercaya bos. Gue dianggap jago karena di awal perusahaan berdiri, karyawan yang lain otodidak sementara gue jebolan kuliah. Gue dianggap jago karena kondisi.
Gue ga tau
seberapa besar kemampuan gue, gue ga punya tolok ukur lain saat itu. Sampe gue
keluar dari perusahaan tersebut.
Gue, jago
kandang.
Dari
perusahaan di mana gue ketemu banyak orang jago, gue melanglang buana. Dari
satu perusahaan ke yang laib. Ketemu banyak orang pintar dari berbagai bidang
kerja. Menyedot ilmu sebanyak-banyaknya dari mereka.
Hal ini buka
mata gue, bahwa ketika lo dianggap hebat di mana-mana (atau bahkan mulai
menganggap diri lo hebat), itu bisa jadi awal dari "kejatuhan".
Mungkin sama
dengan beberapa orang yang melakukan self publishing, ya. Yang nulis dia, yang
publish dia, yang bilang bagus? Ya dia juga. Atau orang masak makanan yang buat
dirinya sendiri, harus dimakan kan? Dan dibilang enak juga (eh tapi urusan ini,
gue mah nyerah. Sering bilang masakan gue sendiri nggak enak kok, haha)
*iya ini gue nyindir seorang pelaku self publishing yang belakangan rajin menyebarkan kebencian dan fitnah*
Pelaku self
publishing atau blogger, ya nggak selamanya salah. Tapi mungkin ada hal yang
bisa dilakukan untuk ngetes, sebenarnya beneran bagus nggak sih yang ditulis
selama ini? Salah satunya dengan cara kirimin hasil tulisan ke media atau pihak
lain yang punya jenjang editorial. Kalau dimuat, berarti karya lo diakui. Tapi jangan
besar kepala dulu, coba cek dan ricek kembali hasil karya yang sudah dimuat
dengan hasil karya yang lo kirim. Banyak disunting nggak? Kalau banyak atau ada
yang diedit, cek di bagian mana? Dari situ, kita bisa belajar, “Oh, ternyata kalau
paragraf ini dipindah ke sini, hasilnya jadi lebih enak dibaca, ya?”.
Melakukan segala
sesuatu secara independen (self publishing atau blogging atau malah bikin rekaman
sendiri) nggak ada salahnya. Keren banget malah, menurut gue. Tapi memang
kadang kita perlu ngetes bagaimana pengakuan dunia luar terhadap karya kita. Supaya
kenapa? Nggak lain agar terhindar dari si jago kandang itu.
Balik lagi
ke pengalaman gue. Kalo di tahun 2006 itu gue nggak berani keluar dari
perusahaan yang udah memberikan gue rasa aman dan nyaman itu, mungkin gue nggak
berada di posisi sekarang. Mungkin gue
belum menikah karena sibuk kerja, mungkin gue masih bersenang-senang 5 hari tidur
di kantor 2 hari di rumah, mungkin gue masih asik dengan dunia malam, mungkin
level ilmu gue masih di taraf itu-itu aja.
Ujung-ujungnya,
bersyukur. Setiap keputusan yang diambil, pasti ada risikonya. Baik atau buruk,
konsekuensi yang harus kita jalani. Ya nggak?
*alhamdulillah
di gue, kayanya baik*
Aduuuuhhhh... sakit banget tamparan Nyonyaaahh.... dulu saya kutu loncat, sekarang saya jagoan kandang yang hampir putus asa karena ngga ada lawannya.. ahahahaa
ReplyDeleteHahaha, hayu atuh cari lawan lagi :)
DeleteWell said, Mba Lita ;)
ReplyDeleteThank you Feni :)
Deletenah lo apa kabar gw?? 9 tahun di group yang sama net nong.. harus move on dari masnaga #eh anyway well said ita
ReplyDeleteHahaha, elo kayanya emang susah move on anaknya :p
DeleteTapi lo di grup yang sama kan muter ke mana-mana, kak.. Bukan berarti kudu jadi kutu loncat juga kak, hahaha...
jadi harus berani keluar kandang ya mbak :)
ReplyDeleteYa, kadang2 :)
DeleteBnr Mba Lit, hal yg sama pernah gw rasain.. klo gw masih di kantor itu, mgkn gw ga akan ktm mba Lita *Eaaaaaa* Iya krn aku eksis nya disekitaran kalimantan dan riau sajah hihii
ReplyDeleteWah asik banget di luar pulau Jawa. Aku belum pernah menetap dan bekerja selain di Jakarta lho!
DeleteGw jago kandang !
ReplyDeleteCuma dikomen gitu aja, gak berani jawab langsung. Beraninya cuma nyerocos di pengajian.
Eh itu mah cemen ya, bukan jago kandang ? Hihihi
Nggak Ndah, itu namanya berpegangan pada prinsip Diam Itu Emas :D atau yang waras ngalah :p
DeleteSiapa sih pelaku self publishing yang belakangan rajin menyebarkan kebencian dan fitnah itu? #OOT
ReplyDeleteTebak atuuuh.. Ntar aku dibilang fitnah klo sebut nama 😀
Delete