'Kita' Yang Mana?



"Ya udah sih, kita-kita aja", kata seorang teman kantor waktu melontarkan ide karaoke night. Lantas gue bingung, kita yang mana?

Jadi begini, kantor FDN kan kecil ya. Orangnya baru ada 30 orang. Dan kebetulan, gue tipe yang fleksibel gabung sama siapa aja.

Sama geng sales, sering rumpi bareng. Geng IT, wuih mereka mah pren! Mungkin karena terbiasa kerja di lingkungan laki, mereka justru jadi comfort zone gue. Malah sampe gangguin agenda mereka ngeduren bareng. Hahaha.
Editorial? Ya jangan ditanya. I’m apart of them.

'kita'-nya IT/ community/ marketing/ kreatif
 Jadi kalo ngomong "kita-kita aja", lha kita yang mana? Wong itu mencakup sekantor. Hihi.

'kita'-nya tom sore-sore jajan :D
'kita'nya sales/ event

Di beberapa kantor sebelumnya, gue juga sering mengalami kebingungan untuk istilah "kita-kita aja".
Contoh, waktu di PH. Sama anak-anak liputan atau produksi, ya gue CS. Wong gue bagian dari situ. Sama editor? Apalagi. Mereka (yang kebanyakan laki) lagi-lagi jadi area nyaman gue. Sama para penulis naskah yang ngendon di kantornya after 5pm? CS gue juga, pan gue yang gawangin naskah.
So, ‘kita’’ yang mana?

Ada banyak keuntungan sih yang gue rasain dengan bisa connect di banyak ‘kita’ ini. Salah satunya adalah memahami suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Misalnya si A sebel sama B karena masalah X. Padahal maksudnya si B adalah masalah X ini solusinya demikian, tapi si A ga paham. Atau gue jadi bisa bersikap agak netral dalam suatu masalah, karena tau dari beberapa sudut pandang, ga cuma 1 sisi aja.

Kerugiannya, ya jelas ada. Yang pasti gue sering berada di tengah-tengah. Si C cerita lagi sebel sama G karena satu hal. Ga taunya si G juga sebel sama si C karena hal yang sama. Hasilnya? Ya udah Lit, dengerin aja.

Ngomong-ngomong masalah denger, gue ini sering banget jadi 'tempat sampah'nya orang lain. Banyak orang yang bersedia secara sukarela menyimpan ceritanya di gue. Alasannya, menurut mereka gue ini pendengar yang baik.
Alhamdulillah ya, walaupun nggak bisa kasih solusi ala Mario Teguh, tapi setidaknya gue ada di hadapan mereka saat mereka cerita.

Kalau berdasarkan artikel Riska tentang kepribadian anakberdasarkan urutan lahir, ih bener banget yang ditulis tentang anak bungsu. Gue emang lebih fleksibel dan people person, sih (kayanya). Gue ga bisa basa basi, tapi kalo dicemplungin di suatu tempat yang baru, most likely gue bisa survive. At least gue bakal punya teman ngobrol lah. Gue senang bikin senang orang lain. Tapi karena gue nggak punya apa-apa yang bisa dikasih ke orang supaya orang itu senang, the best I can do adalah menjadi pendengar yang baik.
Mungkin itu kali ya, kenapa gue sering berada di banyak ‘kita’. Gue seneng dengerin omongan orang, gue seneng denger cerita orang, gue seneng karena berarti bisa dipercaya sama orang lain, gue seneng melakukan itu karena gue pikir hal itu bisa bikin orang lain senang.



Ah, nulis ini gue jadi inget chicklit yang terakhir gue baca. Judulnya “Godmother”. Khas chicklit sih, bukunya ringan. Tapi menurut gue isinya bagus. Dan seperti biasa sama kaya kalo denger lagu, gue kalo baca buku juga suka kait-kaitin sama diri gue sendiri. Si tokoh utamanya, namanya Tessa. Tessa ini punya banyak sahabat. Sahabat yang akrab sejak SMA, SD, sahabat ketemu waktu dia traveling, sahabat waktu dia mulai kerja, dan seterusnya. Tessa kemudian jadi ibu baptis dari semua sahabatnya itu. Hal ini kemudian bikin dia terlibat banyak masalah keluarga teman-temannya. Tessa selalu pengin hadir di dalam kehidupan sahabat-sahabatnya, membantu mereka menyelesaikan masalah, Tessa selalu jadi solusi. Intinya nih, Tessa terlalu mendalami perannya sebagai ibu baptis, sampai-sampai dia lupa sama masalahnya sendiri.

Buku ini gue beli pas udah didiskon lho *teteub anakdiskonan*, gue kira ceritanya bakal nggak jelas atau chicklit yang sok asik (biasanya karena dianggap sebuah chicklit itu ringan, maka ceritanya sampe ga ada artinya sama sekali atau gue nggak minat baca sampe habis). Pas udah mulai baca, ternyata bagus kok bukunya! Walaupun saking si Tess ini nggak mikirin masalahnya sendiri, si penulis juga lupa menulis masalah-masalah hidupnya Tess secara detail. Padahal kalau diceritain secara detail kenapa Tess sampai resign dari kantornya dan kabur ke luar negeri, atau Tess pernah punya pacar serius apa nggak dalam hidupnya, ceritanya bakal lebih seru. Tapi mungkin ya itu tadi, karena si Tess nggak mikirin masalah hidupnya sendiri, jadi yang diceritain detail justru masalah-masalah hidup teman-temannya.

Pas baca buku ini, gue (sok) merasa mirip sama tokoh Tess (minus kaki jenjang, body yahud dan muka kece), gue kadang begitu lho. Gue nangis denger masalah orang, gue mikirin masalah orang, tapi gue suka lupa nangis sama masalah gue sendiri.

Anyway, gue suka kok menjalani peran gue ini. Dan gue happy menjadi bagian dari banyak ‘kita’ dalam kehidupan ini :)

nenglita

Aquarian, Realistic Mom, Random, Quick Thinker, a Shoulder to Cry On, Independent, Certified Ojek Consumer, Forever Skincare Newbie.

10 comments:

  1. Tipe pendengar yang baik ya mbak jadi disenangi banyak orang

    ReplyDelete
  2. Lita kan anaknya memang asyik diajak temenan #BukanKomentarBerbayar

    ReplyDelete
    Replies
    1. HAZEG! :))))

      *bisa ya komentar berbayar? Mau dong sini gue komentar deh di mana2 :p *

      Delete
  3. Waaa... Aku juga udah baca buku iniii!!! (belinya diskonan juga). Emang bagus ceritanya ya, Mba ;)

    ReplyDelete
  4. Eh kita yg kontri mana potonyaaa *kompetitip

    ReplyDelete
  5. Eh 'kita' yang anak.... Anak apa dunk kita? Gw juga suka kok ngobrol ma loe, selalu ada 'ilmu' yang gw curi setelah kita ketemuan....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aiih, bisa aja kamu *colek dagu* alhamdulillah kalau masih ada yang bisa diambil positifnya yaaaa :)

      Delete