Gue sebenernya rada malas sih ngomongin politik atau
politisi. Walaupun kemarin pas Jokowi nyalon *bukan ke salon* gue aktif nulis
sesuatu mengenai beliau.
Setelah sekian lama jadi pengamat *tsah* maksudnya cuma
baca-bacain berita politik aja, gue ga tahan deh untuk komentarin berita
ricuhnya pertemuan antara Ahok dan DPRD yang harusnya menjadi ajang mediasi
antara pihak terkait.
Ricuh lagi? GMZ ga sih baca berita politisi pada ribut? Udah
pada lihat belum video rapatnya?
Pertama-tama, gue sih nggak mau komentarin tentang video
tersebut atau siapa lebih benar daripada siapa. Cuma di sini mau cerita aja
bahwasanya perkara titip menitip memang selalu ada.
Cerita pertama.
Suatu hari seorang teman cerita bahwa dia ditawari temannya
untuk bikin program TV untuk salah satu lembaga. Sebagai pengusaha PH, dia
langsung mengiyakan tawaran tersebut.
Singkat cerita, teman ini telah mengikuti beberapa meeting
dengan pihak lembaga tersebut. Masalah produksi, konsep, dan lain-lain beres,
lalu masuk ke masalah budget.
Dengan konsep yang dibikin teman ini, budget paling maksimal
adalah, lets say misalnya 2juta. Tapi ketika bolak balik masalah budget, orang
dalamnya langsung menitipkan amanat bahwa budgetnya harus dikali dua karena
untuk kepentingan orang dalam.
Satu sisi, sang teman pengin proyek ini berhasil. Karena dia
udah invest waktu, tenaga dan biaya selama perjalanan bolak balik meeting ini. Tapi
di sisi lain, dia nggak sreg. Ya gimana nggak, dengan budget 2juta yang awalnya
dia ajukan aja, itu produksi udah bias bagus banget dan dia (namanya usaha)
udah dapat margin yang lumayan. Kalo dikali 2, dia bingung bagian mana lagi
yang harus dia ‘bengkakkin’ supaya sesuai dengan permintaan orang dalam
tersebut.
Ujung-ujungnya, dia batal menjalani proyek. Bukan karena
nggak berhasil, tapi dari dalam hatinya dia nggak mau membengkakkan budget
produksi karena nggak masuk akal.
Cerita dua.
Alkisah seorang teman lain yang mendapat proyek dari sebuah
lembaga. Proyek ini masih berkaitan dengan produksi video (ya maklum hidup gue
seputar itu, haha). Jadi sang teman ini dapat limpahan dari temannya untuk
mengerjakan proyek tersebut. Dia mendapat budget yang intinya sih pas deh, buat
produksi. Nggak kurang, nggak lebih.
Proses produksi berjalan lancar. Budgeting juga aman,
walaupun pake selipan juga ke orang dalam, tapi masih relatif aman. Proyek selesai,
kru produksi aman.
Selang beberapa tahun kemudian, sang teman ngobrol dengan
teman yang memberikan proyek tersebut. Si temannya teman, sebut saja A,
bercerita tentang bisnisnya sekarang. Lalu out of nowhere, si A tanpa sengaja menyarankan sang teman untuk
meneruskan proyeknya dengan si lembaga tersebut. Sang teman sebenarnya rada
malas, karena dalam perjalanan waktu itu, walaupun lancar, tapi budget lumayan
mepet.
Si A yang ada malah bilang, “Duitnya lumayan lho dari proyek
tersebut. Gue aja bias beli tanah di (dia menyebutkan lokasi pinggir kota yang
cukup bonafid) 500meter”. Sang teman dalam hati berhitung, kalau tanah di
lokasi tersebut saat ini sekitar 5 juta per meter persegi, berapa tahun lalu
tarolah setengahnya. Berapa duit tuh berarti harganya? Berapa keuntungan si A
hanya dengan menjadi perantara?
Cerita lainnya, sebenarnya masih banyak. Cuma gue agak sulit
menceritakan secara detail. Ya perkara seorang teman yang ikut tender lembaga
yang menggunakan lebih dari 1 nama
perusahaan supaya kuota peserta tender terpenuhi tapi sebenernya dia-dia juga
yang bakalan dapat, atau teman yang ikut tender menggunakan perusahaan yang
sejatinya milik orang dalam (jadi duitnya ke situ-situ juga), setoran ke orang
dalam yang bantu menggolkan proyek tersebut, dan banyak lagi.
Sekedar informasi, hal seperti ini bukan hanya ada di
kalangan lembaga tertentu (pemerintahan, misalnya, yang sedang disorot), tapi
di lembaga swasta juga banyak. Contoh, di TV aja. Pernah juga waktu di PH, mengalami
dapat produser TV yang nggak malu minta sesuatu supaya program kita aman. Kalo entertaining
mereka semacam makan bareng, hadiah-hadiah pas ultah atau hari raya sih, wajar
ya. Tapi pernah suatu hari ada seorang oknum yang datang main ke kantor lalu
tanpa tedeng aling-aling ngomong ke manajer produksi gue, “Velg mobil gue
pengin ganti nih”. Dan kami tau persis dia melontarkan ucapan tersebut karena
kontrak program kami sebentar lagi selesai x_x
Mencermati semua ini, gue nggak mau judge mana yang benar
atau yang salah. Cuma memang kondisi seperti ini akhirnya menjadi lazim
terjadi. Sudah menjadi budayakah? Ya bisa jadi. Bisa jadi juga karena
orang-orang yang baru berkecimpung di bidang tertentu, melihat atau terpaksa
mengikuti sistem yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun.
Yang harus dilakukan? Perbaikan sistem, tentunya.
Atau kalo gue mengambil statement-nya Anies Baswedan
kira-kira, Rahim ibu kita tidak melahirkan seorang koruptor. Nggak usah mikir
dosa, deh, secara dosa kan nggak kelihatan ya. Tapi pikirin keluarga. Pikirin bagaimana
oranngtua kita mendoakan anaknya supaya mendapatkan rezeki yang halal, pikirin
anak kita yang mendoakan orangtuanya bekerja mencari nafkah -harta yang
didapatkan dengan cara nggak halal, atau gampangnya dengan merugikan orang lain
itu nggak berkah. Masa iya kita mau kasih makan keluarga kita dari harta yang
nggak berkah?
Harta itu emang sangat menggoda. Punya penghasilan lain
selain pekerjaan utama saat ini, ya namanya rezeki. Asal didapatnya bukan
dengan menyakiti atau merugikan orang lain.
Just my 2 cents.
Gw mau komen tapi nanti malah panjang, takut curcol T___T
ReplyDeleteYaaaah, sebagai pe en es rendahan, gw sering menyaksikan. Sedih, ga, sihhhhh..
Aaaaack, pergulatan batin pasti kamu yaaa... Bisikin dong *lah kepo*
Deletesecara garis besar sama, lah. Anggaran digedein, buat jatah, trus nanti dibalikin ke ybs. Tapi sekarang alhamdulillah makin susah. :)
DeleteBanyak yang ketar ketir pendapatannya berkurang ya :")
DeleteAlhamdulillah pabrik saya masih memegang teguh prinsip fair play. Semua transaksi harus transparan dan bisa dipertanggung jawabkan. Kalau lingkungan sudah mendukung, perbuatan baik pun akan selalu didukung. Perbuatan yang buruk akan menimbulkan malu sendiri.
ReplyDeleteWah, bagus dong mas kalo gituuu.. :)
DeleteDi pabs gw yang lama, barangnya supplier gw reject. Gak berapa lama yang nyamperin gw orang produksi gw sendiri yang mana sebenarnya bukan user dari barang yang gw reject. Nanya kenapa barangnya gw reject.
ReplyDeleteJaman itu belum ngetrend sih ya istilah " MASBULOH ". hahaha...
Ternyata selidik punya selidik si supplier mengutus orang produksi gw ini suruh ngecek kenapa barangnya gw reject. Lah kalo lurus-lurus aja, kenapa gak nanya langsung sama gw aja sik ?
Kan gw aselinya wanita istiqomah, rajin menabung dan selalu meminta ijin suami.
Di pabs gw yang ini gw cenderung dijauhkan dari hal-hal semacam ini. Alhamdulillah banget yaa... sesuatu.
Alhamdulillah Ndah, insyaallah rezekinya halal yaaa :)
DeleteAmin.
Tapi emang ngadepin beginian suka pening ya, dilema gitu harus bersikap apa. Mudah2an sih kita semua bisa istiqamah yaa..
Kasus titip-menitip, mark up biaya dll, sumbernya cuman satu, GREED! Sedih banget ngelihat pejabat negara atau pemerintah daerah kadang nggak sadar (atau pura-pura nggak sadar) kalo tugas utamanya adalah melayani masyarakat, bukan menambah harta kekayaan :(
ReplyDeleteAh, setuju banget. Rakus itu emang susah diatur kalo bukan dari dalam diri sendiri :(
Delete