Risiko Ibu Bekerja..

..Bukan hanya ga punya banyak waktu sama anaknya, tapi juga tudingan miring dari lingkungan sekitar.

Beberapa waktu lalu seorang (yang dikenal sebagai) ustad nge-tweet kira-kira isinya: "ibu yang bekerja dan hanya menghabiskan waktu lebih banyak di kantor, apa pantas disebut ibu?".

Ya ga persis begitu, tapi kira-kira demikian.
Reaksi yang diterima dari tweet tersebut amat sangat beragam. Yang ibu rumah tangga, merasa teramini dan mengambil jalan yang 'benar'. Sementara ibu bekerja, merasa 'dituduh' tidak menjalankan perannya sebagai ibu dengan benar. Laki-laki ada yang membela, nggak sedikit juga yang ikut nyinyir *blah*.

Kebetulan gue bacanya dari RT salah satu orang yang gue follow. Udah mau marah, sih. Tapi nggak jadi. Kenapa?

Pertama, jadi ibu bekerja adalah pilihan gue. Gue merasa lebih produktif dengan bekerja. Jangan marah dulu para SAHM, bukan berarti gue menganggap kalian ga produktif, ya. But this is about me. KALO gue yang jadi SAHM, mungkin gue akan tidak produktif.

Kedua, tidak mengesampingkan masalah ekonomi. Hari gini, di mana semuanya pake nominal, double income rasanya lebih realistis.

Ketiga, kondisi saat ini memungkinkan gue untuk bekerja. Alhamdulillah suami emang seneng lihat gue kerja (pernah dulu jadi SAHM, suami malah bilang "ga sayang sama kemampuan kamu kalo di rumah aja?), punya support system yang baik dan badan segar bugar untuk terus bekerja.

Banyak, sih, sebenarnya. Tapi menurut gue balik lagi ke nomor pertama, bahwa bekerja adalah pilihan gue. Nggak ada yang maksa. Jadi, berbagai risiko yang mungkin muncul ketika berstatus ibu bekerja, harusnya sudah bisa gue terima. Bahkan ketika ada yang menuding seperti ucapan pak ustad tersebut.

In my defense, ada beberapa orang yang gue kenal, berhenti kerja tapi bukannya menghabiskan waktu sama anak malah punya banyak agenda sendiri. Ya nggak salah juga, sih. Itu kan pilihan mereka :)

Poin gue adalah, apapun yang lo pilih, PASTI ada risikonya. Karena yang kita pilih itu dari hati dan pake otak, jadi pasti bisa lah menghadapi risiko tersebut. Apalagi kalo CUMA tudingan orang lain yang nggak berdasar. Ya nggak? *wink*

Ada 2 pilihan menyikapi tweet/ tudingan pak ustad itu: marah dan membuktikan bahwa ibu bekerja juga ibu lalu akhirnya jadi supermoms wannabe, atau woles karena mereka nggak tau apa yang kita jalani. Mau pilih yang mana?


Powered by Telkomsel BlackBerry®

nenglita

Aquarian, Realistic Mom, Random, Quick Thinker, a Shoulder to Cry On, Independent, Certified Ojek Consumer, Forever Skincare Newbie.

5 comments:

  1. Buat aku sih ya, seorang ibu apapun profesinya teteplah seorang ibu. *prinsip*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap, setuju bangetttt.... aku juga mandangnya begitu :)

      Delete
  2. Saya setuju banget, kadang menjadi seorang karyawan itu bukan pilihan kita tapi lebih karena tuntutan keadaan ekonom, etc. Memang tidak tega melihat anak kita diurus sama suster tapi apa daya. Betul ya mba ?

    Kalau ada waktu silahkan mampir ke blog saya di http://lynamichael.blogspot.com/

    Makasih ya mba :)

    ReplyDelete