Anak Kampung

Ho oh.
Selalu ada jiwa anak kampung dalam diri gue.

Gue lebih merasa kenyang pol kalo makan sayur asem dibandingin makan steak
Gue seneng belanja di Pasar Senen daripada di so-called-high-end-mall
Menurut gue liburan yang asik itu penuh dengan petualangan. Naik kendaraan umum, road trip, mandi di sungai, naik sampan, tidur di stasiun..

Eh, ga tau, ya itu di atas sebenarnya karena jiwa anak kampung atau emang kepribadiannya begitu. Haha.

Seperti cerita di Rumah Masa Kecil, masa kecil gue di lingkungan perkampungan yang kampung banget. Percaya ga kalo di daerah itu dulu masih ada orang tua yang namain anak-anaknya dengan Cabe, Tomat, Pacul, bahkan Tokek. Semua itu nama asli. Bukan nama panggilan atau julukan. Kampung kan?

Pas SD, walaupun di komplek, tapi gue sekolah di SD Negeri. Banyakan anak-anak sekitar SD itu, yang ternyata nggak jauh beda dengan lingkungan gue sebelumnya. Ada teman gue yang ibunya kerja sebagai PRT di sebuah rumah di komplek gue, ada yang tukang sayur, dan banyak lagi. Dan gue berteman dengan mereka semua.

Ke SMP, amazingly, gue 'terlempar' ke sebuah sekolah Negeri yang ga jauh beda dengan lingkungan sebelumnya. Salah satu sahabat gue ada yang rumahnya di pinggir kali Cipinang belakang Penas, yang kalo banjir sampe serumah tingginya. Ada yang jadi penjual koran kalo pulang sekolah, tentu ada juga yang anak orang 'berada', tapi anak Betawi asli, jadi nggak sama dengan ABG sekarang yang mungkin bisa makan siang di PI setiap hari.

Pas SMA, baru, deh, gue mengalami yang namanya lompatan pergaulan. Jauh berbeda dengan lingkungan sebelumnya.

Mungkin karena dari kecil sudah biasa dengan lingkungan yang menengah ke bawah, hal ini bikin gue merasa nyaman-nyaman aja berada dalam lingkungan seperti itu. Gue bisa dengan gampang ngobrol sama sopir angkot, abang-abang penjual gorengan atau mbak-mbak pedagang makanan di terminal.

Mengenai yang terakhir, baru-baru ini gue berteman baik dengan mbak-mbak pedagang ketupat sayur Padang di terminal Cililitan. Setiap gue lewat pasti dia akan menyapa, kalo gue beli, kami sering ngobrol. Mbak ini ternyata punya banyak keinginan untuk hidupnya sendiri. Dan cita-citanya dia, "mau punya usaha sendiri", karena dagangan dia saat ini adalah punya 'majikan'nya. Ya, sebagai orang yang juga biasa-biasa aja, satu hal yang gue bisa bantu cuma rajin-rajin beli dagangannya, toh?

Atau dulu pas masih di PH, gue cukup akrab sama pedagang rokok depan kantor. Namanya Rudi. Rudi punya anak istri. Anaknya 2 saat itu, dia sering cerita betapa bangganya dia sama anak pertamanya, yang selalu bisa masuk ke sekolah favorit, tapi sekaligus deg-degan karena pergaulannya. O, ya, sama istrinya Rudi gue juga cukup dekat. Waktu gue nikah, mereka berdua menyempatkan diri datang ke resepsi gue, lho. Padahal Tari lagi hamil dan udah bulannya melahirkan. Gue terharu, deh, mereka mau menyempatkan diri datang. Sampai sekarang, kalo gue lewat kantor lama, pasti gue sempetin mampir ke warung rokoknya, ngobrol ngalor ngidul atau simply, hanya membunyikan klakson kalo bawa mobil, atau berteriak manggil kalo gue naik ojek :D

Pasti ada alasan kenapa gue sering 'terdampar' di lingkungan itu. Mungkin kalo gue dari kecil berada di lingkungan homogen, gue bakal jadi orang yang kurang empatinya, ya?
Eh, bukan berarti yang tumbuh dan besar di lingkungan homogen ga punya empati, lho. Tapi ini lebih ke diri gue sendiri. Mungkin GUE yang akan menjadi begitu. Seperti saat gue bilang, kalo gue kawin sama orang kaya banget, mungkin gue akan jadi sombong ga ketulungan. Paham kan, ya, maksudnya. Jangan tersungging dulu, ah *colek dagu*

But then again, rasanya kalo pun ga pernah berada di lingkungan heterogen, gue bakal tetap jadi anak kampung, sih. Emang ada yang menandingi sayur asem dan sambal terasi?

*gpp anak kampung yang penting nggak kampungan, yaaaaa :D

Powered by Telkomsel BlackBerry®

nenglita

Aquarian, Realistic Mom, Random, Quick Thinker, a Shoulder to Cry On, Independent, Certified Ojek Consumer, Forever Skincare Newbie.

6 comments:

  1. Sukasukasukasuka deh Mba Lita. :)
    Sebagai anak yang juga tumbuh di kampung jadi bisa relate banget sama tulisannya.

    ReplyDelete
  2. setujuuuuhhhh.. walau anak kampung yang penting ngga kampungan..
    satu lagi, ga ada yg menandingi nikmatnya sayur asem pake sambel terasi plus ikan asiin.. nyaammmiiihhh :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha..
      Apalah artinya makan pake garpu dan pisau kalau pake tangan itu lebih nikmaaaaat :))

      Delete
  3. Hihihi aku juga anak kampung loh mbak, yang senengnya makan pake tangan, lauknya ikan asin dan sayur asem. Gak ada tandingannya deh makanan seperti itu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Luar biasa! Sayur asem banyak yang ngefans ternyata, haha.. Hidup makan pake tangan!!

      Delete