Kemaren gue naik omprengan sendirian! Eh tentunya sama sang sopir dong ya, mosok beneran sendiri sih. Biasa deh, agak telat sedikit, mobil di pangkalan tinggal 1. Sudah nunggu sekian lama, nggak ada penumpang yang datang lagi. Sang sopir memutuskan untuk berangkat.
Ini bukan pertama kali gue sendirian naik omprengan, kalo kata Komar sang timer di pangkalan omprengan, "abis gajian melulu ya, borong omprengan?" :))
Biasanya kalo pas sendirian, gue jarang banget ngobrol sama sopir. Ngobrol sih, tapi pasti akan ada #kemudianhening moment.
Berbeda dengan kemaren. Kebetulan kayanya gue belum pernah naik omprengan Pak Diman (sang sopir sekaligus empunya mobil), jadi agak seru ngobrol di awal. Perkenalan, gitu-gitu deh. Emang kudu gitu bok, kalau nggak terancam membisu selama perjalanan Galaxy- Kuningan, emang enak?!
Pak Diman kayanya memang tipe pencerita, pas deh, gue tipe pendengar dan rajin bertanya (ciri-ciri wartawan yang baik, hihihi). Untungnya cerita beliau menarik sih. Mengalirlah berbagai cerita, mulai dari istrinya yang baru saja meninggal, ia sempat stress ga beraktifitas sebulanan dan ia mengaku sampai saat ini ia kadang masih menganggap istrinya ada, nungguin dia dirumah saat ia pulang kerja :'(
Wakwaow-nya adalah saat ia bilang, "nah, meninggalnya aja di dalam mobil ini, mbak, tuh di kursi belakang pas mau dibawa ke dokter" katanya sambil menunjuk kursi tengah (kalau dia bilang di kursi yang lagi gue dudukin, mungkin gue melipir turun mobilnya).
Ada juga ceritanya saat kerja sebagai sopir bus malam, sopir PPD, berbagai random facts di dunia omprengan sampai masalah polisi dan tilang. Yang bikin gue tertarik sama ceritanya adalah, kadang-kadang kita pasti bisa ngerasain mana yang cerita beneran mana yang bluffing semata. Si Bapak sih, gue ngerasanya beneran ya. Misalnya, "saya 35 tahun di PPD, ditawari untuk lanjut setelah pensiun, nggak mau ah. Sekarang masih banyak kawan saya yang narik". Nggak berapa lama ada bus patas lewat, klakson-klakson, pas buka kaca, ternyata sopir patas-nya melambaikan tangan ke dese.
Atau, "saya sempat ditawari bawa Trans Jakarta, tapi nggak mau, saya kasihan sama ribuan perut yang dihidupi sama sopir bus PPD waktu trayeknya dihilangkan. Jadi saya masukin aja ada 1 sopir omprengan, pengen katanya". Eh nggak lama, beneran lho ada sopir Trans Jakarta ngedim lampu dan klakson ke dese. Cangcing!
Diantara sekian banyak ceritanya (2 jam perjalanan, cyin, semacam Jakarta- Bandung kan?), yang paling menarik adalah tentang rejeki.
"Rejeki udah ada yang ngatur, mbak. Allah nggak akan salah ngaturnya, apa ke siapa dengan jumlah berapa". Omongan ini saat ia cerita tentang jumlah penumpang di satu omprengan. Saat jam pulang kerja, mobilnya biasanya hanya 'narik' 8 orang, kok suatu hari bisa sampe 11 orang. Antara bersyukur dan bingung, bener aja, nggak jauh dari situ omprengannya ditilang. Si penilang dikasih uang damai persis sejumlah bayaran 3 penumpang yang lebih itu.
"Nah kan, emang mungkin rejeki saya ya 8 penumpang itu, sisanya itu rejeki pak polisinya, tapi disampaikan lewat saya".
Deg! Gue jadi berpikir, bener juga sih, rejeki sudah diatur oleh Yang Di Atas. Kalo kata-Nya nggak, ya nggak. Kalaupun dikasih, pasti akan ada sesuatu dibelakangnya. Bukan berarti pasrah ya, kan di Quran juga dibilang, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika ia tidak mengubahnya (mohon maaf jika salah menuliskannya).
Sudah banyak banget gue dengar omongan tentang rejeki sih. Misalnya @syita, anak kecil ini aja bilang, "kerja kalo ikhlas, walaupun uangnya diatas kertas seperti mustahil, tapi pasti cukup kak". Suami gue juga bilang gitu, "kerja harus sesuai sama kata hati, ikhlas dan nggak boleh bohongin orang (baca korupsi, mark up, dst dsb), berapapun yang didapat, ya itu memang rejekinya".
Lagian ya kalau dpikir-pikir, manusia kan memang nggak pernah puas. Jaman gaji masih sejutaan, pengen gaji 3 juta supaya bisa nabung, dst dsb. Pas gaji udah 3 juta, pengen 5 juta, karena sudah mulai bisa lirik barang-barang bagus, pas gaji 5 juta, pengen gaji sekian juta.
Padahal sapa tau di sekian yang kita terima itu ada 'jatah' rejeki orang lain yang disampaikan lewat kita (selain 2,5% jangan lupa, ya..)?
Blogpost ini nggak ada intinya sih, cuma sekedar mengingatkan aja bahwa kebaikan atau pembelajaran itu bisa datang dari manapun, dari siapapun. Sopir kek, tukang becak, tukang koran, semuanya deh. Jadiiiiii, jangan memandang rendah siapapun, karena kita belum tentu lebih baik dari mereka.
sent from my Telkomsel Rockin'Berry®
aku suka postingan yang ini...
ReplyDeletedan makna yang terkandung dalam postingan ini..
great job mak.. :)
Thank you, Mak..
DeleteKadang2 kita suka sadar hal2 penting itu dari orang yang nggak kita sangka2 lho :)