Gue pernah
mengalami sih, jadi yang namanya Bos Karbit. Gimana enggak, umur 24 tahun gue
udah menyandang status Head of Creative Division! Canggih kan?
Tapi
Alhamdulillah, gue punya atasan dan tim kerja yang bisa bikin gue belajar.
Belajar bahwa mengepalai sebuah tim itu punya tanggungjawab yang besar
alih-alih privilege yang besar. Di usia 24, gue belajar dari sekitar bahwa saat
itu gue hanya ‘besar’ di dalam kandang. Di luar kandang mah, nothing.
Di usia 25,
gue keluar dari comfort zone. Kalo orang lain pindah kerja dengan meneruskan
strata alias cari yang posisi lebih tinggi, gue malah jadi tim kreatif saja.
Banyak yang menyayangkan keputusan gue. Pikir gue saat itu, what the hell, dah.
Mumpung masih muda, dan entah kenapa gue haqqul yaqin bahwa ilmu gue masih
cetek banget.
Bener aja,
di tempat baru gue ketemu teman sesama tim yang skill-nya CANGGIH! Gue mah
sungguh hanya remah-remah rempeyek! Gue pernah cerita di blog juga, tapi lupa yang mana. HAHA.
Fast
forward ke masa kini.
Gue banyak
bekerja dengan anak-anak yang, yaaah, mirip gue 10 tahun yang lalu. Yang baru
1-2 tahun kerja, dengan skill yang sebenarnya mumpuni, kemudian bisa menyandang
posisi tertentu.
Salah?
Enggak.
Tapi kerja sama mereka, gue jadi banyak mikir. “Apa gue dulu begini amat ya?”
Sungguh,
gue banyak menerima cerita nggak enak tentang generasi millennial. Walaupun kalau
millennial itu diukur dari tahun kelahiran, gue masih termasuk generasi millennial.
Hamdalah, daku masih muda.
Millennials (also known as Generation Y) are the generational demographic cohort following Generation X. There are no precise dates for when this cohort starts or ends; demographers and researchers typically use the early 1980s as starting birth years and the mid-1990s to early 2000s as ending birth years. – Wikipedia
Dengan pernah
bekerja di 10 perusahaan selama karier gue, mulai dari gue sebagai yang
termasuk usia dewasa, sampai jadi paling yang termuda pernah gue rasain. Eh,
disclaimer dulu, 10 perusahaan itu bukan berarti gue tua banget, lho, ya. Tapi
karena emang gue start kerjanya lebih dulu. Sekitar semester 3 gue udah mulai
kerja.
Balik lagi.
Dengan pengalaman
itu, gue nggak mau menggeneralisir millennial itu begini begitu dst dsb
pokoknya hal-hal buruk yang sering dikeluhkan angkatan generasi kerja gue. Tapi
ternyata, pada akhirnya mau nggak mau, gua jadi harus mengiyakan beberapa hal
buruk yang diidentikan dengan kaum millennial.
Nggak bisa
dipegang omongannya
Alhamdulillah,
pernah beberapa kali kerja sama generasi muda, ya begitu adanya. Ditanya kapan
bisa kelar, dia yang janji kapan, eh dia yang ngeluh waktunya terlalu pendek
ketika kerjaan tersebut belum kelar. Beberapa kali juga mengalami, dia yang mengidekan
suatu hal, eh dia juga yang bilang hal tersebut terlalu sulit untuk dijalankan.
Lah gimana
dah, dek?
Merasa pintar
Gue percaya
dengan gizi dan kualitas pendidikan yang semakin canggih, bocah-bocah zaman
sekarang emang pinter-pinter. Apalagi dengan arus informasi yang kian mudah
didapat, ide-ide kreatif mereka memang patut diacungi jempol. Tapi sayangnya,
kadang jadi keminter. Agak sulit menerima pendapat orang lain dan diarahkan.
Ofkors ini
nggak semua, tapi kebetulan pernah aja ketemu yang model begini dan ndilalah
dengar beberapa teman dapat pengalaman sejenis.
Mau buru-buru
jadi bos
Nah ini,
nih. Banyak banget nemu anak-anak berusia muda sudah menduduki posisi tertentu.
Ya tentu nggak salah. Sah-sah aja selama skill dan kemampuan mereka memang
mumpuni untuk duduk di posisi yang cukup tinggi.
Tapi percayalah,
jam terbang akan menjawab semuanya. Bukan masalah tanggungjawab kerja atau
kualitas hasil kerja, ya. Tapi banyak hal-hal lain yang secara emosi butuh jam
terbang tinggi. Misalnya yang paling gampang, deh: memimpin tim. Mereka yang
berjam terbang tinggi, kebanyakan sudah punya pengalaman yang cukup menjadi
anak buah dan bekerja dalam tim. Dengan ini empati mereka terhadap anak buah
cukup tinggi. Mereka yang berjam terbang tinggi biasanya akan lebih hands on
dengan tugas yang seharusnya dikerjakan oleh tim. Istilah kerennya, leader
bukan bossy.
Masih banyak
contoh lain yang bisa kita ambil dari sisi butuhnya jam terbang tinggi untuk
menduduki posisi tinggi. Itu sih, hanya yang kepikiran saat ini.
Lagian ya, buru-buru jadi bos itu nggak enak, lho. Stempel bos karbitan bisa banget tertuju pada diri kita. Kalo dulu, sempat ada teman gue yang mengeluarkan stempel Manajer Kardus buat salah satu bos yang memang kemampuan dan jam terbangnya belum mumpuni buat memimpin sebuah tim. Pengalaman kerja 3-4 tahun aja, menurut gue sih belum cukup untuk seseorang duduk di posisi pimpinan.
Tapi satu
yang bisa gue banggain, gue selalu berusaha melakukan yang terbaik buat kerjaan
gue karena gue butuh track record yang baik. Itu doang yang gue punya, sis. Otak
ya nggak pinter-pinter amat. Sekolah juga bukan lulusan luar negeri.So...
aq ngalamin juga nih mbak kerja sama anak-anak yang baru lulus kuliah, aq juga ngerasa mereka emang banyak ide tapi yah itu jadi keminter trs yang nyebelin yg aq temuin mereka nggak mau banget di kasih kerjaan tambahan dan pengennya cpt selesai kerja dan abis itu internetan aja,,
ReplyDeletenah iya, samaaaa masalahnya euy! Hahaha...
DeleteKalo internetan aku mah nggak masalah, secara ku juga doyan. Haha, tapi menolaknya itu lho. Gemas!
Mudah2an seiring bertambahnya jam terbang mereka, nggak kebawa-bawa deh, ya, habitnya ini.
Setuju banget soal jam terbang. Terasa banget perbedaannya. Hehehe, tapi kadang juga yang jam terbang tinggi jadi batu mbak, susah terima masukan. Hahahaha..
ReplyDeleteNah, yang terakhir bener juga sih, mbak. Ujungnya? Balik lagi ke diri masingm2 yaaa.. hahaha!
Delete