Hayoo, siapa yang baca ini karena kepo. Eaaaa, sok iye.
Berita perceraian belakangan ini memang entah kenapa banyak banget berputar di sekitar gue. Baik yang kenal baik, sampai yang nggak kenal sama sekali. Salah satu yang hangat dibicarakan adalah berita tentang perceraian Gading dan
Gisela bergulir. Kaget, ikut sedih, bahkan sampe tagar #SaveGempi trending di
Twitter. Wahai Netijen Yang Budiman, apa yang ada di benak kalian?
Gue sebagai netijen juga kepo, sebenernya. Walaupun paham
banget bahwa apa yang tampak di dunia maya tak selalu berbanding lurus dengan
dunia nyata, tapi pasangan ini emang adem ayem jauh dari jangkauan Lamtur. Apalagi kalo throwback lihat momen Gading nembak Gisel yang dilihat sama jutaan pasang mata ini:
Anyway, proses perceraian pasangan GG ini baru di tahap
pengajuan gugatan. Tapi di hari yang sama, berita udah beredar. Kecanggihan
awak berita atau kekepoan tak terkira?
Gue nggak mau bahas penyebab perceraian mereka sih. Karena
seperti pernah gue tulis di sini, kita nggak pernah tahu apa yang ada di balik
pintu. Artinya, di depan publik semua orang bisa tampak bahagia, tapi dalamnya
hati siapa yang tahu?
Sesedih-sedihnya gue atas berita perceraian mereka
[#TimMewek mah gitu, yang cerai siapa yang mellow siapa], ada hal lain yang
bikin gue sedih:
Postingan mereka berdua yang mengumumkan kondisi pernikahan
mereka.
Gue sedih, kenapa mereka harus posting begitu sih? Untuk
memenuhi kekepoan warganet? Untuk meredam spekulasi-spekulasi orang lain? Atau
apa? Toh ketika mereka posting itu, berita miring penyebab perceraian mereka
nggak berhenti juga.
Perceraian menurut gue bukan berita bahagia yang perlu
disebarkan.
Walaupun, ya, di beberapa kasus di mana satu pihak dirugikan
[korban kdrt, misalnya] itu adalah hal yang menggembirakan. Atau nggak
seekstrem KDRT, perceraian bisa jadi melegakan salah satu atau malah kedua
belah pihak.
Terus kenapa nggak boleh disebarkan? Eh, bukan nggak boleh,
cumaaaa kalo gue nih, sebaiknya nggak lah. Ada beberapa alasan:
Pertama, perceraian merupakan hal yang kompleks. Ada
konsekuensi di balik itu. Ya pengasuhan anak, harta, keluarga, dan seterusnya.
Kebayang nggak sih, lo, pusing kan ngejalanin itu semua?
Bagus kalo pusing doang, kalo badan juga ikutan drop dan memengaruhi aktivitas
harian gimana? Bolak balik ke pengadilan serta beban pikiran, pasti ngaruh ke
kesehatan lho.
Belum lagi kalo ngomongin anak. Gimana cara ngasih taunya?
Belum lagi kalo drama sama mantan pasangan (dan keluarganya). Belum lagi urusan
harta. Deeuuu.. Lelah, pasti!
Kebayang nggak kalo masih proses aja udah diumumin ke banyak
orang? Berapa banyak yang bakal nanyain elo segala hal terkait perceraian lo?
Ya kalo sekelas kita mah, paling masih bisa dihitung jari. Kalo sekelas GG?
Netijen yang GG tau juga enggak dia hidup, bisa icam alias ikut campur, kak.
Kedua, yang disebut di atas adalah keribetan ke luar.
Bagaimana dengan diri sendiri?
Hmmm… lo pikir gampang memutuskan bercerai? Kalo pacaran
sih, tinggal putus kalo masih mau ya tinggal balik. Kalo nikah? Seklise apapun,
kayanya semua orang niatnya nikah sekali seumur hidup. Kecuali kalian
hamba-hamba pendukung poligami. Hehe.
Intinya mana ada yang menikah untuk berpisah? Pasti
mengambil keputusan bercerai nggak semudah itu dan nggak dalam 1-2 hari aja.
Ada kontemplasi panjang di baliknya. Kalau yang muslim, gue yakin banyak yang
salat istikharah sebelum memutuskan.
Apalagi bagi perempuan, menyandang status JANDA itu sangat
berat. Dianggap perempuan egois aja masih bagus, kalo dicap sebagai perempuan
nggak bener dan nggak bisa ngurus keluarga? Kan sedih.
Mengutip kata seorang teman, perempuan minta cerai itu
berarti masalahnya udah segini (menunjuk leher) atau diartikan batas
kesabarannya udah habis. Dan ya, gue salah satu yang percaya itu sih.
Belum lagi urusan finansial (kalau yang selama ini
bergantung pada suami). Pasti bakal ada perubahan kan?
Nah kan, kalo dalam diri sendiri aja udah dihantui berbagai
macam masalah, terus diganggu pula dengan banyak orang yang tahu proses/ status
pernikahan, apa nggak tambah puyeng idup lo?
Berikan sedikit waktu untuk diri sendiri menerima,
menyembuhkan, dan bangkit kembali. Ya, dukungan orang lain perlu. Tapi apa
orang lain yang tahu itu bisa dipercaya?
Ketiga, sudah cukup banyak cerita para single mom yang malah
difitnah karena statusnya. And it's heartbreaking.
Dengan tidak mengumumkan status, malah aman toh? Nggak ada
yang iseng ganggu, you know lah pandangan kalo janda itu ‘gampang’ dan aneka
sebutan yang bikin kuping panas. Dengan nggak mengumumkan status, kan
orang-orang tahunya lo masih menikah. Kalo ada yang berani ganjen sama
perempuan menikah mah, jitak aja… .pake pacul!
Palingan, ya jadi susah cari pacar baru. Lol.
Lagian ya, putus pacaran aja pasti butuh waktu buat move on.
Masa ini putus nikah mau buru-buru move on? Semua pasti indah pada waktunya,
kok. Sabar, ikhlas.
#tausiyahmamahlita
Mengakomodir kekepoan netijen, nggak akan ada habisnya. Ketika lo kasih info kehidupan pribadi lo di level 1, maka mereka akan cari level 2, 3,4, dsb.
Biarlah media sosial jadi etalase semu kehidupan kita. Kalimat dari NH Dini berikut, somehow, menampar dan menguatkan.
No comments:
Post a Comment