Kemarin sore gue dengar di radio
temanya tentang kekerasan terhadap perempuan. Si penyiar kemudian melempar
pertanyaan ke pemirsah, kira-kira gimana kalo pacaran sama orang yang melakukan
kekerasan?
Udah pasti jawabannya pada "PUTUSIN!"
Udah pasti jawabannya pada "PUTUSIN!"
Tapi, pernahkah mereka berada dalam
posisi demikian?
Trust me, it’s easier said than
done.
Gue cukup sering jadi 'tempat
sampah' beberapa teman. Mulai dari pekerjaan, anak, sampai pernikahan. Banyak
banget cerita yang bikin gemas.
"Kalo gue jadi dia sih, udah
cerai aja", kata seorang teman mengomentari seorang teman yang suaminya
kegap selingkuh.
"Udah sih cabut aja, mau nungguin apa di kantor nggak jelas gitu",
seorang teman mengomentari teman lain yang udah 2 bulan nggak digaji oleh
kantornya.
"Ih tahan banget sih anaknya kalo nangis sampe guling-gulingan gitu?
Dikasih tau dong, anaknya kan udah cukup besar", komentar teman lain saat
melihat anak temannya tantrum.
"Terus lo kerja tapi duitnya nggak buat lo sendiri? Suami lo emang nggak
pernah bayarin setidaknya uang sekolah gitu? Kasih ultimatum lah, enak aja duit
istri kan duit istri. Duit suami, ya duit keluarga", sergah seorang teman
saat temannya cerita mengenai kondisi finansial temannya.
Sebagai orang di luar lingkaran,
kita kadang emang kerap mudah memberikan nasihat ke orang lain. Tapi gimana
kalo kondisi tersebut kita yang mengalami?
"You never really understand a person until you consider things from his point of view -- until you climb into his skin and walk around in it.” - To Kill a Mockingbird - Atticus Finch
Pernah berkaca pada kondisi diri
sendiri nggak, apa yang mungkin dikomentari orang lain? Apa yang mungkin di
luar batas toleransi orang lain tapi masih kita tolerir? Ada nggak yang suka komentarin hidup kita yang intinya "Elo sih enak.. blablablabla".. Padahal kan, they never know what's behind the closed door.
Suami yang jarang di rumah..
Anak yang kecanduan gadget..
Atasan di kantor yang memperlakukan kita bak keset..
Rekan kerja yang tukang adu domba..
Dan seterusnya..
Anak yang kecanduan gadget..
Atasan di kantor yang memperlakukan kita bak keset..
Rekan kerja yang tukang adu domba..
Dan seterusnya..
Setiap orang punya batas toleransi
yang berbeda-beda. Apa yang bagi kita keterlaluan, buat mereka mungkin wajar.
Apa yang bagi kita nggak wajar, buat mereka mungkin biasa aja.
Pada akhirnya? It's easier said than
done, my friend..
Yup Mbak Lit, bener banget. Tulisan yang bagus. Makasih sudah diingatkan
ReplyDeleteMakasiiiih udah baca :)
DeleteAhhh, sukaakk mbak... bener banget itu, komentar emang selalu lebih gampang
ReplyDeleteIyaaa pekerjaan paling gampil, komentarin orang lain :p
DeleteMakanya gw selalu memilih teman untuk jadi tempat bercerita. Karena kadang kita gak bisa mengontrol apa komentar kita.
ReplyDeleteSekarang kalo temen curhat, palingan gw cuma pukpuk ato akan support apapun keputusan yang dia ambil.
Basi banget sih. Tapi daripada salah komen.
Gw kan anaknya lempeng :P
Iyaaa... Maunya lo gimana, kita bantu kasih pertimbangan, sisanya dia yang jalanin :D
DeleteIni uh oh banget ya.makanya, penting banget punya temen yang senasib sepenanggungan.jd ga cuma nambah2in aura negatif kan? ��
ReplyDeleteKita kan teman senasib sepenanggungan, teman menertawakan masalah bersama :)))) *hugs*
DeleteAkhir-akhir ini gue menyadari, kalo setiap orang punya standar perhitungan risiko yang beda-beda, Lit.. Makanya nggak bisa one solution fits all atau maksain seseorang pake "logika" orang lain..
ReplyDeleteBeneeeer! Aduh, suka kalimat lo :*
Deleteah, td pagi juga ngobrol ama suami: kenapa sih setiap orang ga bisa nerima orang lain dgn porsinya masing2?
ReplyDeletemakasih ya mbak lita udh sharing inii :)
Hooh, tapi ya karena itu, kita nggak bisa maksain logika kita ke orang lain kan? :D
Deleteyes banget mbak, persis kayak komennya mbak riska...
DeleteAnd sometimes, they don't need advice. Just some ears to listen and shoulders to lean on :)
ReplyDeleteAgree
DeleteSetuju bangeeeeet :)
Delete