Ini adalah review film yang sangat telat. Tapi buat gue,
bicara mengenai kekerasan dalam hubungan baik itu hubungan percintaan ataupun
keluarga, nggak pernah ada kata telat.
Berangkat dari film dulu, ya. Sejak film ini pertama kali
seliweran promonya, gue pengin nonton. Bukan karena pemerannya atau tema
cerita. Tapi sejujurnya (ini perlu di-highlight), kebetulan gue kenal Gina,
sang penulis naskah. Gue cukup tahu bagaimana Gina memandang sebuah isu.
Apalagi film ini memgangkat isu yang bisa dibilang kerap terjadi dalam kisah
cinta remaja. Kalo nggak pinter ngeramunya, bakal jadi kaya film FTV. Nah,
karena gue (mudah-mudahan) cukup tahu Gina, gue yakin ceritanya nggak akan
receh. Pasti bakal dikemas sedemikian rupa sehingga ada pesan yang membekas di
hati dan pikiran pemirsanya.
Itu alasan pertama. Alasan ke dua adalah karena skripsi gue
dulu tentang feminisme dan kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu pokok
bahasan. Sehingga gue merasa related dengan topik ini.
Sayangnya, gue nggak sempat nonton film ini ketika masih
tayang di bioskop. Padahal banyak acara nobarnya yang kerja sama dengan
lembaga/komunitas yang peduli pada perempuan. Yah, ini mah guenya aja yang sok
sibuk. Too bad, lah.
Pas ada di iFlix, cus langsung nonton. Dan hasil akhir
setelah nonton, ternyata memang terkait
dengan niat awal gue kenapa pengin nonton film ini:
Gue pernah berada dalam sebuah hubungan yang tingkat
keposesifannya mirip seperti Yudhis ke Lala. Setelah nonton filmnya, gue mikir,
"Kalo ada yang ngomong kejadian ini cuma di film aja, bego sih".
Cerita keposesifan seseorang terhadap pasangannya itu kalo
kita perhatikan baik-baik di sekitar kita, banyak banget. Mungkin kadar
keposesifannya beda-beda.
Ada yang cukup dengan memantau jadwal kegiatan harian
pasangannya (kabarin tiap jam sekali, pindah lokasi, ketemu siapa, di mana,
ngapain, dst),
Ada pula yang sampai follow semua akun media sosial teman
pasangan (mau kenal ataupun enggak), pulang pergi sekolah/ kuliah/ kerja harus
bareng,
Ada yang pergi ke mana-mana wajib sepaket,
Ada yang boro-boro punya sahabat cowok wong hang out dengan
teman cewek aja dibatasi, diikuti, kerja ditungguin,
Ada yang kalo watsap/ chat ga dibalas ditelepon bisa ribuan
kali,
Ada yang kalau cemburu bisa sampai menyakiti baik itu dengan
ucapan atau bahkan fisik,
Ada yang setelah menyakiti, lalu mengucap seribu sayang, mohon
maaf bahkan sampai berlutut, atau ngebalikin seolah kita turut berperan serta
atas tindakannya.
Paham banget, sis? Haha.
Iya, I've been there. Gue pernah jadi Lala. Padahal udah
nggak SMA. Bodoh? Bagian mana bodohnya, jika saat itu cinta yang bicara. Di
mana bodohnya, jika setelah umpatan/ cacian dilontarkan, manisnya datang?
Memohon beribu maaf, bunga, hadiah, berbagai kemanisan lainnya. Belum lagi
kepandaian merangkai kata yang membuat posisi gue serba salah, merasa
bertanggungjawab atas apa yang telah terjadi, dan menjadi orang yang bisa
'menyelamatkan' dia dari 'sakit'-nya itu.
Semua orang punya inner-superhero-wannabe. Pengin berjasa
untuk orang yang dia kira dia cintai. "Cuma gue yang bisa bikin Yudhis
bener, Ga", kira-kira itu yang diucapkan Lala ke sahabatnya ketika
sahabatnya tahu kelakuan Yudhis. Padahal, ternyata sikap Yudhis diwarisi oleh
mamanya (perlu dicatat, akting Adipati dan Cut Mini sebagai anak dan ibu,
ciamik banget! Gue deg-degan njir, ngeliat adegan Yudhis disiksa ibunya. Mana
si Lala ngeliat, makinan dong merasa bertanggungjawab dan bisa membahagiakan
Yudhis).
Gue nggak mau panjang lebar tentang film, sih. Karena udah
banyak yang ngomongin film ini dan semuanya bilang bagus. Dari segala
keterkaitan atau subyektifnya gue terhadap film ini, menurut gue film ini layak
banget diacungi semua jempol yang gue punya. Jalinan ceritanya nggak ada yang
hilang. Semuanya fasenya persis dengan apa yang terjadi di dunia nyata.
Well ada sih komentar, proses pacarannya cepat banget sampe
tau-tau Lala Yudhis pacaran dan senempel itu. Men kalo mau digambarin secara
detail semua, bisa 6 jam dong. Lagian film ini, walaupun diperankan remaja,
tapi memang nggak ngejual romantisme ala film remaja. Justru yang ditekankan
adalah sisi edukasi, gimana supaya para remaja nggak terjebak dalam hubungan
yang 'beracun'.
Bagaimana melepaskan diri dari hubungan beracun ini?
Sederhana saja. Kalimat yang pernah gue temukan di Google ini menjadi tamparan besar buat gue:
Bahkan untuk kalian yang belum menikah, hal ini perlu dan patut banget kalian
jadikan pegangan. Percayalah.
Btw, balik lagi ke masalah filmnya. Tata kamera apik, jalinan cerita menarik, dan para pemeran yang aktingnya ciamik. Nggak salah kalau film ini dapet 10 nominasi FFI 2017. Keren banget, sih, emang!
asik ada di iflix yaa? lsg pengen nonton krn kmr ga sempeet :( secarapernah juga jd korban prosesif berat jaman dulu ehhehe
ReplyDeleteAdaaa....baru aja di-launch sama iFlix!
DeleteAaah, kebodohan masa lalu, yaaa..
gils banget mbak ini film, awalnya aku maju mundur mau ntn. krn pernah jd korban sekaligus posesif sm orang juga. Akhrnya beraniin nonton setelah ini film jd nominasi di FFI. keren bangeeett! manis banget sih ending-nya....juara banget!
ReplyDeleteKalo lihat ending-nya, merasa bersyukur ya pada akhirnya logika yang menang :)
DeleteJadi inget belom nonton. Langsung ke iFlix ahh.
ReplyDeleteAku inget pas ini masih di bioskop semua pada bilang bagus. Cuma aku sudah males nonton di bioskop hehehe.
Cuuus! Bagus iniiii
Delete