Zaman sekolah pas lulus-lulusan, sekolah gue nggak pernah
bikin prom atau pesta perpisahan lala lili. Pas jelang masa sekolah berakhir,
teman-teman seangkatan berisik mengeluh mengenai hal ini.
Terus gue, nyeletuk, "Ya kita bikin aja sendiri prom
night. Ngapain nunggu dari sekolah", kira-kira begitu kalimatnya. Gue
masih inget banget bahwa gue yang mengucapkan hal tersebut. Bahkan gue ngidein
isi acaranya ngapain aja, lalala, yeyeye. Perkara gue ini pelupa, tapi momen
tersebut gue inget banget.
Yang lagi barengan saat itu, banyak yang antusias akan ide
tersebut tapi ada juga yang pesimis. Pembicaraan pun berlanjut.
Long story short, prom night jadi. Salah satu teman yang
memang populer di sekolah jadi ketua panitia beserta beberapa teman lain yang
notabene lebih populer dan bersedia jadi timsibuk. Gue? Cukup jadi tamu.
Apakah gue mendapat credit atas terlaksananya prom night
tersebut? Tentu tidak. Yang disaluti hanya mereka yang terlibat. Bahkan sang
ketua panitia dapat banyak pujian karena itu 'prom night' pertama sekolah kami. Dan my dearly friend tersebut, nggak nyebut sedikitpun ide tersebut datangnya dari mana
Moving forward ke zaman sekarang.
Media sosial yang makin jadi bagian hidup bikin kita dapet
informasi sedemikian derasnya. Si A review produk X, si B merekomendasikan
hotel Y, si C pake produk Z. Atau bisa jadi si A dan D review produk yang sama
dalam jarak yang berdekatan. Demikian juga dengan si B dan E. Kemudian kita
mengambil kesimpulan bahwa yang posting duluan adalah yang memberikan influence
terhadap yang posting setelahnya.
Itu di media sosial. Tapi kita nggak tahu kan, kalau di
dunia nyata atau japrian ternyata si A menggunakan produk X atas rekomendasi
dari si J? Atau review si D mengenai sekolah anaknya ternyata sebelumnya dia
udah nanya-nanya ke si M?
Tapi sayangnya si J dan M bukan siapa-siapa di media sosial.
Bak receh kembalian Alfamart yang suka ditukar permen. Jadi nggak perlu disebut
lah. Nggak perlu kasih credit dari siapa si A atau si D yang kebetulan
selebgram, selebblog, youtuber or whatever itu tahu. Nggak ada gunanya.
Btw, huruf-huruf ini bikin ribet ya?
Nah, kira-kira jelas kan ya hubungannya dengan cerita zaman sekolah
gue?
Gue, sebagai si recehan, cukup sering ngalamin hal di
atas.
Contoh:
Seorang teman yang selebblog mau beli suatu barang. Ngeliat
gue beli, dia nanya secara langsung, bagus apa nggak. Gue jawab panjang lebar,
dong. Karena gue user. Akhirnya dia beli. Kemudian dipost di blog testimoninya
yang nggak jauh beda dengan apa yang gue katakan. Seolah ia memutuskan
pembelian dengan cara mendapatkan hidayah. Terus komen-komen berdatangan bilang
bahwa rekomendasi si teman ini oke berat.
Di lain waktu, ada seorang influencer nanya-nanya ke gue
tentang sekolah anak. Nanya detail dan panjang bolak balik sampe akhirnya dia
memilih sekolah tersebut. Kemudian dia menulis sekolah pilihannya itu lengkap
dengan alasan, di mana alasannya itu plek kalimat dari gue [yang sayangnya gue
sampaikan lewat japri dan secara langsung]. Sebel ya. Hehe. Padahal gue
zaman survei sekolah mendatangi satu per satu dan ngasih tau dia hal yang cukup
detail. Well, si influencer udah survei sih. Survei ke gue :D
Ada juga teman yang suka ceritain si G di sosmed sharing soal jalan-jalan ke mana, padahal dia lebih duluan ke lokasi tersebut dan si G pernah nanya-nanya sama dia mengenai lokasi tersebut. Terus jadi gosipin si G deh, karena si G taunya dari siapa tapi nama dia nggak disebut. Atau mengenai barang, coffee shop, skincare, scarf, dan seterusnya dan sebagainya.
Hidup di zaman media sosial, bikin kita berebut jadi yang pertama. Kemarin sempat ngobrol sama anak-anak kantor, memang benar, di Indonesia sekarang semua orang jadi kiasu. Mau jadi yang pertama. Es Kopi Susu, harus nyobain yang satu itu. Scarf kekinian, harus punya. Lokasi jalan-jalan terbaru, harus ke sana. Bahkan sampai buku, skincare, gaya parenting, yang seharusnya hal personal pun harus jadi yang pertama, upload ke media sosial sehingga nggak ketinggalan zaman.
Menjadi orang yang pertama atau berhasil memengaruhi orang lain dalam keputusan pembelian memang memiliki kepuasan tersendiri, sih, ya. Makanya kalau dikasih 'credit' oleh orang lain, pasti menyenangkan. At least buat gue.
Bukan, bukan perlu diwaro atau diakui, tapi hanya karena lagi gemas [dan ga ada bahan pembicaraan aja, sih]. Menurut gue, pemberian credit sekecil apapun itu bikin seseorang merasa dihargai aja. Kutipan obrolan gue sama teman, pasti gue taro nama mereka. Atau 'Lensed by' itu bukan gegayaan lho, gue. Tapi memang mau menghargai aja. Emang gue siape, Dian Sastro, yang kalo nama lo gue mention kemudian follower nambah? Haha.
Ada juga teman yang suka ceritain si G di sosmed sharing soal jalan-jalan ke mana, padahal dia lebih duluan ke lokasi tersebut dan si G pernah nanya-nanya sama dia mengenai lokasi tersebut. Terus jadi gosipin si G deh, karena si G taunya dari siapa tapi nama dia nggak disebut. Atau mengenai barang, coffee shop, skincare, scarf, dan seterusnya dan sebagainya.
Hidup di zaman media sosial, bikin kita berebut jadi yang pertama. Kemarin sempat ngobrol sama anak-anak kantor, memang benar, di Indonesia sekarang semua orang jadi kiasu. Mau jadi yang pertama. Es Kopi Susu, harus nyobain yang satu itu. Scarf kekinian, harus punya. Lokasi jalan-jalan terbaru, harus ke sana. Bahkan sampai buku, skincare, gaya parenting, yang seharusnya hal personal pun harus jadi yang pertama, upload ke media sosial sehingga nggak ketinggalan zaman.
Menjadi orang yang pertama atau berhasil memengaruhi orang lain dalam keputusan pembelian memang memiliki kepuasan tersendiri, sih, ya. Makanya kalau dikasih 'credit' oleh orang lain, pasti menyenangkan. At least buat gue.
Bukan, bukan perlu diwaro atau diakui, tapi hanya karena lagi gemas [dan ga ada bahan pembicaraan aja, sih]. Menurut gue, pemberian credit sekecil apapun itu bikin seseorang merasa dihargai aja. Kutipan obrolan gue sama teman, pasti gue taro nama mereka. Atau 'Lensed by' itu bukan gegayaan lho, gue. Tapi memang mau menghargai aja. Emang gue siape, Dian Sastro, yang kalo nama lo gue mention kemudian follower nambah? Haha.
Mungkin juga karena di zaman sekolah gue udah pernah
ngalamin hal nggak enak perkara 'credit', ya, jadi kayanya sekarang kebawa-bawa
sebelnya kalo ada hal sejenis terjadi? Bukan juga mau dianggap sebagai Si Keren
yang berhasil ngasih tau atau bikin ide-ide ciamik. Tapi murni sebagai
penghargaan atau sedangkal-dangkalnya sebagai basa basi aja.
Atau juga karena gue kerja di bidang kreatif, ya. Jadi masalah
ide rawan sekali diakui oleh orang lain. Memang, di dunia ini apa sih yang
orisinal? Nggak ada. Bahkan brand aja bikin produk dengan menyontek produk
brand lain, kok. Yah, paling modifikasi dikit sana sini sehingga jadi produk
yang baru.
Mengalami hal di atas, gue sih gemes-gemes dalam hati aja. Eh, sekarang dituangkan ke dalam blogpost. Haha. Pelajarannya sih, kalau kasih informasi ke influencer kudu pake hitam di atas putih bahwa dia tahu sesuatu dari gue kali ye. YAKALIK! Hahaha.
Eh, menurut kalian, penting nggak sih pemberian credit ini? Apa gue doang yang baper?
menurut aku pentiiing..hehehe karena aku beberapa kali ngalamin, baik sama temen main, temen kerja, bahkan atasan. gemes emang rasanya ya mbak? (lah, malah curhat)
ReplyDeleteBerarti bukan baper yaaaa.. *cari temen* :)))
DeleteEnggak Baper samsek Mba Lita, yang ngeselin emang kita yang lelah lelah berpikir, cari ide, survei, tapi ketika dia review serasa itu ilhamnya dari pikiran dia sendiri. And ofkorse dia ga kasi credit. Aku pernah dan cuma ktawa aja, gak kreatip banget sik!!! *maappppcucol*
ReplyDeleteTapi sebel banget pasti kaaaaan, rasanya ingin teriak *tsahelah* WOY, IDE GUE TUUUH :D
DeleteMba Litaa, salam kenal.
ReplyDeleteSetuju banget mbaa. Karna ide itu mahal harganya. Bisa jadi yang punya ide udah semedi berhari2 kaan. Kejadian dong mba di aku pas jaman foto prewed, aku sama fotografer udah cari ide + tempat, eh taunya temenku foto duluan disana. Perih. Langsung kutegor 😂.
Soal credit ini, at least tag di IG kali yaa plus bilang thanks mbaa biar orgnya ngerasa dihargai hihi ❤