Di awal tahun ajaran baru kemarin, Langit galau. Galaunya
karena dia bimbang mau ikut ekskul apa di sekolahnya. Kebetulan sekolahnya
hanya menyediakan ekskul tari, gambar, futsal dan taekwondo. Sejak kelas 1 sih,
Langit ikutnya ekskul gambar. Pernah di kelas 2 dia ikut ekskul tari. Tapi
katanya, boring. Haha. Sotoy.
Di kelas 4 ini, ekskul gambar yang sesuai sama hobinya nggak
ada. Kayanya sih karena sulit cari guru yang tepat. Ada yang mau ngelamar?
Hihi.
Nah, out of the blue, dia bilang, "Aku mau ikut futsal,
sepak bola. Boleh nggak, bu?".
Gue sempat kaget sih. Karena anak gue walau nggak
princess-princess amat, tapi juga nggak tomboi banget. Dia suka kegiatan
outdoor, sih.
"Kalau sama ibu sih, boleh aja. Tapi di sekolah ada
perempuan yang ikut futsal nggak?", tanya gue. Terus katanya nggak ada.
Nah, supaya nggak mematikan semangat, gue sarankan dia untuk bertanya ke pihak
sekolah. Boleh nggak anak perempuan ikut futsal di sekolahnya?
Selang beberapa hari, Langit lapor bahwa nggak ada anak
perempuan yang ikut futsal. Tapi kata gurunya, boleh kalau Langit mau ikut
untuk nyobain dulu.
Btw, lo jahat amat, Lit, nggak bantu nanyain atau
konsultasi? Hemm, menurut gue, hal ini harus disampaikan oleh Langit sendiri.
Kan Langit yang mau ikut futsal. Lagian, kalau orangtua yang bertanya, nanti
malah berkesan hal ini didorong oleh orangtua, bukan kemauan anak. My two
cents.
Singkat kata, tibalah hari di mana Langit akan ikut futsal.
Sehari sebelumnya, gue ngobrol sama Guru BP di sekolah mengenai hal ini.
Menurutnya, Langit udah konsultasi sama beliau. Dan beliau bilang nggak
masalah, cuma diingatkan juga bahwa yang ikut futsal semuanya laki-laki.
Takutnya Langit nggak nyaman. But my daughter said, it's okay. So,
berangkat!
Oiya, beberapa hari sebelumnya juga gue udah bekali dengan
berbagai kemungkinan. Misal, diejek teman karena hal ini nggak biasa di
sekolahnya. Atau ketika main sama anak laki-laki akan diremehkan, mereka kan
udah akrab dengan main sepak bola sejak kecil karena permainan ini dianggap
mainan laki-laki.
Padahal ya, Indonesia juga punya tim sepak bola perempuan
lho. Jadi, harusnya nggak aneh dong.
Gue juga tambahin, kalau Langit nggak nyaman atau nggak
cocok nantinya, nggak apa-apa. Dicoba aja dulu. "Iya bu, kan aku nggak
tahu suka apa nggak kalo nggak nyoba". Aish, gaya amat sih anak gue.
Komentar yang lain:
Bapaknya yang doyan bola dari orok sih, oke-oke aja. Mungkin
malah berharap jadi punya sekutu dalam mencintai sepak bola, ya? Haha.
Eninnya, "Kenapa nggak ikut nari aja sih, kaya Nadira?", yang dijawab oleh Langit, "Everyone is different, Nin" :D
Atau Engkungnya, "Kamu item banget sih sekarang gara-gara main bola melulu, pasti". Padahal main bola di sekolah itu di rooftop sekolah, yang ada atapnya :D
Di hari futsal, pas lagi di jalan gue terima whatsapp dari
salah satu dari teman sekolah Langit yang ikut futsal juga. Isinya memuji
keberanian dan semangat Langit yang ikut futsal. Gue terharu! Apalagi Si Mbak
ini juga dapet cerita dari anaknya gimana Langit semangat latihan dan
"Pak Hari [guru sekolah dan pelatih futsal] kasih jempul bu, buat Langit".
Aaah, rasanya pengin buru-buru sampai rumah dengar cerita langsung dari
Langit.
Memang, katanya sih ada anak-anak yang [justru nggak ikut
ekskul itu] yang ngejek Langit. Atau anak-anak perempuan yang sibuk
mempertanyakan keputusan Langit ikut futsal. Tapi rupanya, hal itu nggak jadi
isu buat Langit. Dia cuma sempat bertanya, kenapa perempuan pantesnya ikut
ekskul tari? Kenapa perempuan dianggap suka nangis? Dan hal-hal semacam itu.
Gue malah senang Langit bertanya. Dengan gitu, justru gue bisa masukin nilai-nilai
kesetaraan gender sejak dini. Ya kan? Hehe.
Tapi namanya ibu, pasti ada rasa khawatir. Khawatir dia
nggak bisa mengatasi omongan di sekitarnya. Makanya, PR besar buat gue untuk
terus menyemangati dia. Bukan, bukan perkara main bolanya. Ini sih, sama anak
tetangga yang laki semua juga tiap sore main bola. Tapi lebih ke kepercayaan
diri dia dalam melakukan hal positif yang dia sukai kendati nggak sesuai sama
norma yang diciptakan oleh budaya patriarkis.
Mohon doanya ya buibu, semoga Langit tetap semangat!
Anyway, tentang kekhawatiran anak perempuan main sama
laki-laki atau melakukan hobi kelaki-lakian akan mengganggu pertumbuhan
emosinya so far nggak terbukti sih. Lah gue ini contoh nyata. Dari kecil sampe
umur segini mainnya sama laki mulu. Naik sepeda panas-panasan, manjat genteng,
pohon, nonton bola, dan sebagainya. Alhamdulillah tetap cita-citanya jadi ibu
yang baik, kok :)
Semangat ya Langit...💪💪💪
ReplyDeleteMakasih tanteeeee :*
DeleteIh gak masalah banget kok anak cewe ikut ekskur anything termasuk karate. Dan ga masalah juga anak cowo ikut ekskur nari. Rasanya di Indonesia sih yang soal gender ini lebih terasa. Di pelajaran aja biasanya pekerjaan ibu memasak, menjahit. Lupa kalau acara Masterchef dan Project Runway yang menang banyak cowoknya. Memang tugas orang tua makin berat sih, untuk member kepercayaan diri ke anak. Tapi kita "sadar" aja soal kalau persepsi itu salah udah bagus.
ReplyDeleteIya betuuuul... PR banget deh ini :D
DeleteMakasih yaaa :)