Sandang, Pangan, Papan


Tadi siang baru mengunjungi rumah sepupu gue yang selamatan rumah barunya. I’m so proud of him! Alhamdulillah, satu persatu teman, sahabat, kerabat angkatan gue punya rumah. Mungkin ini hal yang standar, ya, tapi dalam keluarga dan inner circle gue yang menganut asas sandang pangan papan, hal ini merupakan kebanggaan.

Mengikuti pelajaran jaman sekolah, sesuai urutannya adalah sandang yaitu pakaian. Entahlah, dibesarkan di keluarga yang sederhana, bikin gue merasa 'yang penting ada baju'. Mengikuti trend nggak jadi kebutuhan (padahal kemaren baru aja bikin blogpost tentang pengen sepatu baru, haha). Sejauh ingatan gue, gue dan kakak gue sangat jarang dibelikan pakaian bermerk tertentu yang harganya ratusan ribu rupiah. Dan sepanjang ingatan gue (yang sayangnya suka pendek ini), nyokap ga kaya gue sekarang, bisa sesuka-sukanya beliin baju kalo lagi jalan-jalan ke mal atau ke pasar. Jaman kecil, kalau lebaran tiba, baru saatnya kami diizinkan beli baju lebih dari satu.

Pas udah kerja dan punya duit sendiri, gue sama kakak gue baru deh bisa jor—joran beli baju sendiri. Itu pun, karena memang belajar dari nyokap yang smart shopper, alias seringan beli baju unbranded yang penting kualitas, jadi teteub sih, sayang kalo beli baju yang agak mahal. Pengakuan nih, gue kalo beli baju, sepatu, tas bermerk, selalu pas lagi sale. Bahkan jika itu ‘cuma’ Mango atau Zara, atau bahkan baju-baju di depstore macam Metro, Sogo dan kawan-kawan. Designer items? Jangan harap, deh! Sayang bener, ngeluarin diatas 1 juta untuk barang yang butuh buat sehari-hari gitu. Apalagi gue sadar diri, orangnya cukup jorok dalam memakai barang. 


Pun untuk anak, merk-merk macam Gap, Zara, Mothercare, Crocs, itu selalu gue belinya pas sale. Ya sih, memang kaya sepatu, ada yang gue beli dengan diskonnya hanya 20%, tapi yang penting diskon, neik! Ogah bayar full price :D Yah selain alasan diatas, anak-anak kan cepet besar, ya… sayang aja kalau kepake cuma beberapa bulan (meratapi jumper Mothercare).

Pelit?  Mungkin bakal ada yang bilang gitu. Alibi gue, gue bukan orang yang ngikutin trend dan memang tidak dibesarkan di lingkungan yang mementingkan brand dalam penampilan. Walaupun juga Alhamdulillah cukup well informed untuk tidak menggunakan barang KW atau sejenisnya. Pokoknya, modis-lah = MOdal DISkon!

Pangan yaitu makan. Kebetulan gue dilahirkan dengan taste makan yang biasa-biasa aja. Nggak ada referensi tertentu untuk makan. Jadi, apa yang ada bakal gue makan. Nggak pake ribet, nggak pake banyak request, buat gue (mungkin) makan hanyalah salah satu kewajiban memenuhi perut supaya nggak lapar.

Papan, tempat tinggal. Nah ini agak crucial, baru bisa diwujudkan ternyata pas udah nikah dan punya anak. Pokoknya, entah dari siapa yang membentuk pola pemikiran ini. Bagi gue, setelah menikah, punya rumah sendiri itu wajib. Alhamdulillah juga, dikasih jodohnya yang sepemikiran.

Tahun 2007 nikah, tepat setahun udah bisa beli rumah. Beli rumah, bisa dibilang tingkat kesulitannya mirip-mirip sama nyari jodoh dan asisten rumah tangga. Cocok-cocokan. Perjalanan mencari rumah gue udah kaya sinetron, berliku dan penuh drama. Ada kali 10 rumah dilihat, tapi nggak juga jadi. Ada yang sertifikat hilang, rumah warisan, keduluan bayar DP sama orang lain, rumahnya bekas melihara banyak binatang, dst dsb. Oh iya, fyi, gue cari rumahnya yang 2nd, soalnya biar bayar DP-nya bisa nego sama si yang punya rumah.

Minggu lalu ada Mbak Prita Gozhie dating kekantor, kasih sharing session tentang perempuan dan belanja. Salah satu pertanyaannya, “barang apa yang bisa bikin lo spend banyak uang?” (kira-kira demikian). Namapun cewek semua, jawabannya berkisar antara baju, sepatu, tas, make up, dsb. Pas giliran gue, gue bingung mau jawab apa. Lalu gue jawab, buku.

Eh, bukannya sok pinter atau sok iye, gitu ye, tapi memang beneran. Gue nggak birahi-birahi amat sama sepatu, tas, baju (tentu senang belanja, tapi gue browsing pakaian tergantung dari harga sih, bukan model/ brand, jadi batasan budget selalu jadi yang pertama). Cuma buku yang gue beli nggak berdasarkan harga. Walaupun nggak menutup kemungkinan, belanja buku banyakannya di pul pas book fair atau pas ada pameran-pameran buku.

Alasan ekonomi-kah ini? Ah nggak juga ya, dari single atau pas jadi millionaire (lebay) pasca lay off AKV, gue tetap belanja tas, baju, sepatu berdasarkan budget. Mungkin karena memang nggak terlalu nafsu amat terhadap satu barang tertentu, ya.

Mbak Prita sempat share cara berpikirnya kalau mau belanja “Mendingan gue beli…… daripada uangnya gue beliin….”.

Jadi misalnya, “mendingan gue beli reksadana daripada uangnya gue beliin tas” #pencitraan, hihihi…

Gue mah nggak mau nyalahin atau judge siapa-siapa yang seneng belanja. When you like it, just go with it. Yang penting nggak merugikan orang lain. Maksudnya, jangan sampe kaya cerita salah satu teman gue yang pernah nggak bayaran sekolah gegara uang sekolahnya dibuat belanja tas sama emaknya x_x 

Selama masih ada budgetnya, nggak bikin anak lo nggak sekolah, nggak bikin suami makan indomie setiap hari, nggak bikin tunggakan KPR, masih punya dana darurat, nggak bikin lo mikir “kalo beli ini nggak bisa beli itu”, yah belanja lah! Uang kan alat pembayaran yang sah, kalo disimpen nggak beranak (kecuali kalo diinvestasikan, ya, ini mah lain cerita), dan kalo mati juga nggak dibawa mati :D

Mau urusan belanja lo ntar di cap social climber kek, copy cat selebriti kek, buang-buang duit kek, ya terserah dong. Kan duit-duit elo, asalkaaaaaaaan…. Kembali ke paragraph diatas. Paham kan, ya, maksud gue? :D

Eh gue baru sadar, dari sandang, pangan, papan, terus biaya pendidikan masuknya kemana ya?
 

nenglita

Aquarian, Realistic Mom, Random, Quick Thinker, a Shoulder to Cry On, Independent, Certified Ojek Consumer, Forever Skincare Newbie.

No comments:

Post a Comment