10 Questions to: Kristof Bagas, Setelah Jadi Single Father, Rajin Beli Asuransi

Bulan Maret 2015, gue masuk ke kantor baru. Gue berkenalan dengan banyak orang baru dari dunia yang berbeda waktu gue di Mommies Daily, yang pernah gue jalani sejak tahun 2001 sampai 2009, yaitu dunia televisi.

Salah satu orang yang gue kenal adalah Mas Bagas. Setelah tau di mana sebelumnya gue bekerja, kami jadi sering berdiskusi mengenai dunia parenting. Dia bapak-bapak yang keibuan. Halah, maksudnya he has passion to parenting world.


Nggak lama kami kenal, hanya sekitar 2 minggu, sebuah berita datang. Istri Mas Bagas meninggal. Gue pribadi, yang notabene baru kenal rasanya nggak percaya. Karena sehari sebelumnya, baru aja kenalan dengan istri beliau, Mbak Diana.

Beberapa bulan belakangan ini, kami makin sering ngobrol mengenai parenting. Banyak sekali cerita-cerita lucu tapi kadang bikin gue mo mewek karena ngebayangin gimana ya kalo suami-suami kita yang menjadi single father seperti Mas Bagas?

Dari situ, gue beride untuk menampilkan obral obrol kami di sini. Silakan disimak ya!

Fyi, postingan ini lumayan panjang. Silakan di-skip kalau nggak suka. Tapi silakan dibaca dengan saksama untuk tau sudut pandang lain dengan menjadi seorang single father.

-----

Mas Bagas, gimana sih menjalani keseharian saat ini?

Saat ini aku sangat terbantu karena aku tinggal sama adikku, ibuku, kemudian memutuskan untuk menetap bersama kami. Jadi sebenarnya kalau misalnya ditanya keseharian gimana, ga ada perubahan yang signifikan. Karena banyak tugas-tugas yang di-juggle, dibagi-bagi antara saya, ibu saya dan adik saya. Ya kadang-kadang anakku maem nggak mau sama ibuku atau mbaknya, ya aku yang nyuapin. Tapi ya emang dari dulu gitu juga. Atau mandi “Mau sama bapak..” ya udah, sama aku.  Atau kadang-kadang bobo juga gitu.

Ya sampe saat ini tidak ada kesulitan yang sangat berarti. Karena memang terbiasa dari dulu ganti-gantian kalau misalnya  nggak mau sama ibunya.. ya gitu sih, karena intinya saya nggak pernah membatasi itu kerjaan kamu, ini kerjaan saya. Siapapun yang bisa ngerjain, ya kerjain. Do what you have to do aja..

Cukup membantu pola pikir itu. Aku sendiri nggak percaya maskulinitas atau feminimitas yang sangat rigid dalam keluarga. Jadi ya, perlu ada perubahan, cuma ternyata nggak seberat yang dibayangkan..

Hal yang paling sulit sehari-hari menjadi seorang single father apa sih?

Paling sulit? Paling sulit buatku masih seputar nyebokin, haha!

Sejak Tara lahir, aku selalu berusaha bisa berhadapan dengan telek dan baunya itu. Cuma emang keliatannya aku punya kelemahan di situ, yang emang susah.. aku kalau berhadapan dengan bentuk, bau yang tak beraturan gitu aku harus ada gag-reflux yang cepat dan lebih-lebih lagi memang Tara lagi potty training, jadi memang harus aku yang turun tangan. Jadi menurutku yang paling berat di situ, karena aku harus berhadapan dengan ketakutan terbesarku, telek.. hahaha


Menghadapinya gimana?

Nggak tau ya, tapi.. apa ya. Aku selalu punya pola pikir, berat sih, memang. Tapi sewaktu aku paksa, when I push myself beyond the limit, batasku akan melebar. Jadi sebenarnya kalau aku bandingkan antara aku 6 bulan yang lalu sama aku dengan kemarin, aku jauh lebih bisa bertoleransi dengan telek itu, hahaha!

Jadi ya gitu sih, apa ya? Keyakinanku dari dulu gitu. Manusia tuh sebenernya kaya makhluk sayan (bener nggak nih, nulisnya, Mas Bagas? Haha) kalo baca Dragon Ball, sewaktu dia mau mati, dihajar abis-abisan, abis gitu kalo dia nggak mati, sembuh, jadi lebih kuat. Abis itu berantem lagi, dihajar lagi, tapi sembuh lagi, pasti jadi lebih kuat lagi, terus gitu.. terakhirnya jadi Super Sayan.

Aku kebanyakan baca komik, haha..

Ada nggak sih momen tertentu yang bikin nyadar “Oh iya, sekarang gue single father”?

Di momen, sebenernya, waktu mau pergi! Misalnya mau jalan-jalan, sewaktu aku harus menyiapkan sendirian tidak ada siapa-siapa yang menyiapkan kemudian aku harus nyiapin sendiri mulai dari Pampers, minyak telon, losion, baju, segalanya. Itu berasa banget, kalo bukan gue yang ngerjain, nggak ada lagi… ya emang mesti gue yang ngerjain. Itu, di situ sih..

Tapi lagi-lagi, aku selalu berusaha menghajar diriku sendiri, bahwa oke hari ini pergi ngajak nin (nenek)nya, coba hari lain aku ajak pergi berdua doang. Semua aku beresin sendiri. Memang belum sampe tahap terbiasa, tapi mulai paham lah.. kemarin aku beli sisir lho buat Tara! Sebelumnya selalu lupa bawa sisir.. jadi kemarin aku beli deh, gambar Frozen! Haha

Jadi aku harus berhadapan dengan barang-barang pink..haha



*sekedar info, Mas Bagas ini bertahun-tahun dikenal dengan kepalanya yang plontos licin. Jadi wajar ya, kalo sisir selalu jadi barang yang kelupaan dibawa :p

Ada nggak sih hal yang menyenangkan menjadi single father?

Sebenernya sewaktu sendiri, setiap momen berdua selalu menjadi momen yang sangat aku syukuri bahwa ya, memang sudah tidak ada ibunya. Tapi keberadaan malaikat kecil ini tuh kaya… apa ya, melipatgandakan energiku setiap saat. Jadi bukannya seneng cuma berdua ya, tapi seperti rasa syukurnya berlipatganda, bukan hanya 2 kali tapi lebih.

Aku juga nggak tau sih, tapi 5 menit lagi aja aku nggak tau akan terjadi apa. Apalagi beberapa tahun lagi, di mana Tara harus sekolah, bisa main kuteks sendiri, atau jeggotku dikepang, aku itu terserahlah.. paling tidak aku jadi bisa lebih menghargai momen-momen itu, sih.

Ketakutan terbesar menjalani saat ini?

Wah ketakutan terbesarku tuh.. aku jarang-jaranng takut, tapi aku takut sama dimutilasi. Aku nggak takut sama anjing, kecoak,…

Lho sama kucing?

Aku benci sama kucing, bukan takut!

*toss dong!

Aku jarang-jarang takut, cuma dimutilasi aku takut! Bener deh! Takut tangan, kaki, putus.. satu lagi kehilangan orang yang saya sayangin.

Apalagi aku mengalami 2 kali hal kaya gitu dengan proses yang sangat sekejap. Tau-tau bapakku nggak ada, lalu sekejap lagi tau-tau istriku nggak ada. Jadi ketakutan terbesarku adalah kehilangan orang yang disayangi. Yang aku sayangi siapa, ya.. pertama-tama Tara, ada ibuku, ada adekku, ya orang-orang yang ada di sekitarku lah..

Mas Bagas biasa hands on sama anak sejak dulu,jadinya sekarang ini lebih smooth lah adaptasinya. Yang bisa diambil pelajaran dari situ buat bapak-bapak yang lain?

Oooh.. wahai bapak-bapak, jangan takut sama telek! Haha!

Jadi kalau aku sih sekarang zamannya kayak gini. Dulu waktu kita kecil, zamannya bapak kita nyari pembantu gampang. Zaman sekarang? Kalau misalnya bapak-bapak ini memegang terlalu rigid aturan feminine dan maskulin dalam rumah tangga pada akhirnya akan menjadi potensi konflik yang terpendam, kalau memang benar-benar tidak membiasakan diri untuk hands on sama anak-anaknya sendiri.

Tarolah gini, istrinya kerja, bapaknya kerja. Nggak ada pembantu. Terus bapaknya yang “aku adalah juragan rumah tangga ini dan kamu yang tugas ngurus keluarga”. Padahal istrinya juga punya karir, kan? “Pokoknya anak-anak adalah tanggungjawabmu!” Waduh, nggak kepake zaman sekarang.. waktu nggak ada siapa-siapa di rumah dan yang memang available secara waktu, energi adalah bapaknya, seharusnya bapaknya mengambil alih peran itu. Lebih fleksibel aja..

Belajar dari pengalaman saya sendiri, nggak ada yang tau, istrimu bakal hidup cuma 5 menit lagi, nggak ada yang tau! Atau kamu hidup 5 menit lagi , nggak ada yang tau!

Ya kalo sekarang bisa diprediksi, nanti matinya 2 tahun lagi.. ya bisa disiap-siapin. Cuma kalau misalnya kaya kasusku hanya berjarak 15 menit, istriku udah nggak ada. Padahal 15 menit sebelumnya masih telepon-teleponan, mau apa coba?  Kalau misalnya memang tidak membiasakan diri dari awal hands on ke anak, bakalan jadi susah sekali! Harus tergantung sama suster, sama ibu, aku pribadi, ya saat ini ada ibuku yang bantu ngurus. Cuma ibuku sampai kapan sih? Wong istriku aja aku nggak tau sampe kapan.. aku sendiri aku nggak tau sampe kapan!

Kemudian selain itu sih, aku jadi agak parno. Makanya dalam waktu 2 bulan ini aku register 3 asuransi! Haha.. tau-tau, iya-iya aja..

Karena apa ya? Aku pengin sewaktu misalnya, ya itu kita kan nggak tau ya apa yang akan terjadi pada kita ya. Sewaktu aku nggak ada, aku nggak mau anakku itu…

*maap keselak sama bunyi telepon masuk di ponsel saya, yang ternyata adalah Gojek! :p

Mungkin pada saat ini masih bisa diberi kesempatan untuk bekerja. Tapi nggak tau kan 5 menit lagi, 15 menit lagi atau sebulan lagi.. makanya aku pengin, at least kalau aku nggak ada, karena aku misalnya harus pergi meninggalkan Tara entah dengan alasan apapun, aku mau Tara tetap bisa sekolah, makan yang baik. 
Walaupun aku tau bahwa, aku jadi berhitung, sekarang Tara nggak punya ibu, aku juga bisa mati bisa 3 hari lagi..



Kalau aku mati, Tara sama siapa? Aku mikir, ada adikku. Adikku masih sanggup, adikku 2 orang cukup bisa ngerawat Tara. Tapi masa iya, adikku harus membiayai Tara dari A sampai Z? Jujur-jujuran, ini adalah duit. Kalau memang ada duit yang cukup untuk meng-cover Tara kaya Harry Potter punya uang banyak di Gringotts gitu, kan enak? Jadi ya, walaupun aku nggak bisa nyimpen uang di Gringotts, jadi ya aku beli asuransi ajalah! Haha..

Ini pertanyaan ditanyain ke single mom atau ibu bekerja, tapi jarang ke bapak-bapak. Gimana cara mengatur waktu antara anak dan pekerjaan?

Kalau membagi waktu, Puji Tuhan sampai sekarang ada ibuku. Jadi aku istilahnya peran ibu yang dalam teori psikologi itu harus ada dalam kehidupan seseorang itu, dengan segera digantikan oleh ibuku dan kadang-kadang adikku. Karena ibuku adalah ibu rumah tangga paling berpengalaman di seluruh dunia, menurutku. Membesarkan 3  orang anak sampai lulus semuanya dan ngurus dirinya sendiri, jadi aku nggak punya keraguan sedikitpun bahwa ibuku bisa jadi sosok ibu sempurna untuk anakku.

Memang, saya tak punya banyak waktu untuk Tara. Tapi sebisa mungkin aku punya quality time, waktu-waktu yang saya punya dengan Tara sebisa mungkin aku manfaatkan semaksimal mungkin. Sehingga tidak ada rasa penyesalan. Kalau aku baca-baca,yang mengganggu ibu bekerja adalah penyesalan, rasa penyesalan “kok aku nggak punya banyak waktu ya, sama anakku”. Perasaan ini kemudian manifestasinya adalah menjadi tidak mendidik, anak apa-apa dituruti. Kalau pernah liat aku sama Tara, aku galak sama Tara. Puji  Tuhan juga, Tara cukup cerdas untuk menangkap saya saat bercanda dan saat saya serius. Sewaktu aku bilang, “Tara, benda itu jangan dilempar, ambil lalu kembalikan”, dia pasti akan menuruti, karena dia tau itu tidak baik.

Gitu sih. Memang ini benefit-ku karena aku punya ibu, aku single dad, tapi nggak 100% karena masih ada ibuku, mbak-mbaknya di rumah, ya.. sekali lagi karena sebelum istriku nggak ada, kita menemukan sosok-sosok mbak yang cukup qualified dan sayang sama Tara. Cuma aku juga asadar, suatu hari nanti dia bakal kawin, atau apalah.. never ending story kalau bicara mbak-mbak!

Kalau hari itu datang, harus ada keputusan-keputusan yang harus dibuat.aku sadar bahwa akan berat pada awalnya, nantinya juga biasa lagi..

Masalah manajemen waktu berarti quality time. Nah quality time sama Tara ngapain sih?

Pagi biasanya, karena di sini bisa datang jam 10-aa, berarti aku bisa berangkat jam 9-10. Ini juga satu keputusan yang bagus yang kami buat, aku nggak beli rumah jauh dari kantor, sehingga aku nggak menghabiskan waktu banyak di perjalanan. Sehingga aku punya waktu panjang sama anakku. Di rumah pagi hari, Tara senengnya naik sepeda. Sembari bapaknya olahraga, sembari nyenengin anaknya. Atau kalo lagi keluar manjanya, mandi, semuanya sama bapaknya…

Kadang gambar atau main rusuh-rusuhan. Kamar dibikin tenda-tendaan, terus ntar dia berkhayal, nurutin aja sih apa maunya dia..

Tara pernah melontarkan pertanyaan tentang ibunya?

Terus terang nggak. Tara nggak pernah bertanya atau menyebut ibunya kalau nggak ada yang tanya. Kalau ditanya, “Tara ibunya namanya siapa?”,  “Ibu namanya Ibu Diana”. “Ibu di mana?”,  “Ibu bobok, nggak bisa gendong Mbak Tara lagi”. Persis kalimat yang sama ketika dia saya perlihatkan jenazah ibunya. Dan itu bener-bener, mungkin hapalan. Mungkin dia belum ngerti konsep meninggal itu apa. Cuma kalau nanyain itu nggak pernah.

Nanyain nggak pernah, tapi mengekspresikan bahwa dia menginginkan sosok ibu itu beberapa kali. Tapi bukan ibunya. Yang dicari ibu saya. Ini karena aku belajar psikologi, ada penggantian peran dari ibunya ke ninnya, jadi yang dicari adalah ninnya. Misalnya Tara tidur, bangun tengah malam mau sama nin, sama nin. Kalau kaya gitu ya udah, kan ibuku tidurnya kadang sama aku, sama adikku, kalau misalnya nyariin nin, ya tiinggal aku kasih ke nin, selesai. Tapi memang sepertinya Tara ngerti apa yang dia inginkan, kalau butuh sama nin, yaudah dia mau sama ninnya. Kalau malam bangun mau sama bapak, ya udah sama aku, aku peluk ya tidur lagi..

-----

Meskipun blog ini banyak dibaca sama ibu-ibu, coba silakan buibu kasih ke suaminya, deh. Banyak sekali yang bisa para ayah ambil pelajaran dari cerita Mas Bagas ini. Ya lucunya, ya efek keselek biji kedondongnya, kalau kalian mau mewek beneran, silakan kunjungi blog Mas Bagas di biarkanbergulir.wordpress.com dijamin, tau-tau air mata ngalir aja.. well, at least itu yang selalu kejadian di gue sih!


Terima kasih Mas Bagas sudah berbagi ceritanya, semoga semuanya berjalan lancar buatmu dan Mbak Tara :)

nenglita

Aquarian, Realistic Mom, Random, Quick Thinker, a Shoulder to Cry On, Independent, Certified Ojek Consumer, Forever Skincare Newbie.

7 comments:

  1. Aku berkaca-kaca baca ini, Mba Lita :')

    May God always protect him and his beautiful daughter..

    ReplyDelete
  2. duh duh duuuh...berkaca-laca deeh :"")

    ReplyDelete
  3. Terima kasih banyak lho mbak Lita...I'm honored to be the first subject of your "A Chat With"... :)

    ReplyDelete
  4. Aku baca blognya bbrp minggu lalu dan nangis mewek2. Salam kenal buat Bagas, semoga terus jadi bapak teladan.

    ReplyDelete
  5. critanya santeeee,tp bikin pengen nangis :(

    ReplyDelete
  6. Smeoga mas Kristofbagas selalu sabar ya mendidik anaknya. salut deh aku

    ReplyDelete