Tuesday, October 29, 2019

Makin Susah Cari Blogger


Kemarin sempat tweet mengenai dunia blogging yang belakangan ini makin, ehm, apa ya? Jadi industri?

Dulu, duluuuu banget, blogging adalah salah satu cara seseorang untuk bertukar kabar, bercerita, menuangkan isi hati dan pikiran, serta mendokumentasikan perjalanan hidupnya. Tapi seiring berjalannya waktu, entah sejak tahun kapan persisnya, blogging kemudian jadi salah satu media beriklan. Brand berbondong-bondong untuk bekerja sama dengan para blogger.



Blogger menurut gue, adalah cikal bakal influencer marketing. Di zaman keemasannya ((KEEMASAN)), blog awalnya buat nulis tentang hobi atau preferensi minat masing-masing. Ada yang nulis beauty, fashion, parenting, travel, masak, dan seterusnya.

Sejak internet ada di tangan, kita terbiasa untuk mencari apapun lewat gadget. Baik masalah harga, reservasi, hingga review. Dari mana review bisa kita dapatkan? Honest review, mana lagi selain para blogger? Apalagi kalau hal yang kita cari itu belum digital friendly, alias belum punya website atau diliput di media-media mainstream.

Contoh, sekolah anak gue. Enam tahun yang lalu, nggak ada yang nulis tentang dia. Sementara sejak survei, gue udah beberapa kali nyebut nama Al Fajri sebagai sekolah yang gue pilih dengan berbagai kelebihannya. Alhasil, ketika lo browsing nama sekolah ini, blogpost gue bakal ada di halaman pertama. Well, tadinya malah peringkat pertama, sebelum media mainstream ‘terjebak’ untuk menulis mengenai berita salah paham yang ada di sekolah kami.

Dari sini, kemudian gue lumayan banyak dapet DM/ email/ japri yang nanya-nanyain tentang sekolah ini dan menguatkan keputusan seseorang untuk menyekolahkan anaknya di Al Fajri. Ya pastinya bukan karena tulisan gue semata, lah, banyak pertimbangan lain yang sesuai dengan anak dan ortu yang baca. Nggak mau klaim juga gue, haha!

Selain sekolah, iseng-iseng gue cek keyword review apa lagi yang nyangkut di blog gue? Ternyata, review Hada Labo Mild Peeling Lotion. Lumayan lah, masih di page pertama Google, walaupun gue bukan beauty blogger. Lalu yang lumayan tinggi juga adalah keyword perpanjang SIM di Gandaria City, serta fast track ke Dufan. Yah, begitulah.

Anyway, sudah cukup dimengerti lah, ya, kenapa blog gue sebut influencer marketing?

Blog gue ini, udah 10 tahun usianya. Sebelumnya udah punya blog sejak tahun 2004. Baru dapet duit dari nge-blog? Tahun 2013. Dan kalau lo lihat di tab ‘sponsored’ blog gue ini, dikit banget konten bersponsornya.

Kenapa? Mungkin karena gue memang nge-blog karena senang menulis dan berbagi hal yang kira-kira bermanfaat tapi juga personal. Makanya kalau ada ajakan ngeblog bersponsor pun, sebisa mungkin gue piliiiiih banget brand-nya. Gue pake nggak? Angle nulisnya gimana, ya? Story-nya mau diangkat dari mana? Dsb, dst. Buat gue, ini sama seriusnya dengan saat pitching kerjaan.

Mungkin juga karena platform lain yang formatnya pendek, seperti Instagram, mulai populer, ya? Mau nulis review atau apa, cuma tinggal upload foto, ketak ketik kalimat secukupnya, jadi deh. Sementara blog, kan, biasanya ditulis dengan segenap perasaan serta disertai riset, jadi tulisannya lebih komprehensif.

Di dunia yang serba digital sekarang, blogger malah jadi so last year. Beralih ke platform yang lebih simple atau ke video sekalian. Makanya banyak blogger yang beralih ke platform Instagram atau Youtube. ‘Profesi’ blogger kini berganti jadi selebgram atau Youtuber.

Suatu ketika, ada seorang influencer yang awalnya memang besar di blog tapi kemudian menjadi Youtuber dan Instagramnya juga besar followers-nya, gue tawarin kerjaan menulis blog. Kemudian dia bertanya, “Emang masih ada yang baca blog?”

Gue bisa dengan percaya diri bilang, masih. Dari sudut pandang creator (blogger, youtuber, selebgram, dkk), blogging memang cukup makan waktu: experience-tulis-foto-publikasi. Beda sama IG, misalnya, di mana kita bisa upload setiap saat tanpa harus mikirin angle penceritaan plus riset mendalam mengenai sebuah hal.

"Males gue nge-blog lagi, dari Instagram juga udah lumayan kok (penghasilannya)", kata seorang teman. Iya, bener juga sih. Dengan effort yang lebih kecil, dari Instagram seseorang juga bisa dapet duit yang (jauh) lebih banyak. Tanpa mengecilkan arti platform lain, ya. Tapi mari kita akui bersama bahwa blogging effort-nya lebih besar.

Dari sudut pandang praktisi digital (ceile praktisi.. Maksudnya orang yang kerja di dunia digital), blog masih kepake dan perlu banget buat meningkatkan SEO atau pencarian terkait brand kalian di Google.

Setiap brand pasti punya objective masing-masing dalam mempromosikan brand-nya. Ada yang untuk awareness, product knowledge, SEO, dsb. Sesuai dengan 'sifat'-nya, media sosial seperti Instagram, menurut gue lebih efektif untuk awareness, untuk menyebarkan sebuah pesan/ campaign yang dilakukan di periode pendek. Sementara blog, cocok digunakan untuk pesan/ campaign jangka panjang atau penulisan berjenis review. Ini mah analisis sotoy gue aja ya, berdasarkan pengalaman.

Gue nulis ini karena keresahan sih. Ceile, resah. Resah karena makin ke sini makin sulit cari blogger yang tulisannya jujur, bukan semata-mata menulis sesuatu karena ada ‘tuntutan’ brand/ sponsor. Yah, ini mah curhatnya orang yang suka cari blogger buat diajak kerja sama aja, sih. Haha.

Saran gue buat para blogger, kalau bisa nih, tetap menulis walaupun tanpa sponsor, ya. Supaya apa? Supaya asik aja. LOL. Nggak ding, ya supaya hakikat bloggernya tetap ada, dong. Kalo isinya konten sponsored semua, udah gitu penulisannya juga plek-plekan sesuai rilis yang diterima, dengan angle yang serupa, apa bedanya dengan media mainstream?

Image result for meme qasidah berusaha
semangat, gaes!


Selamat Hari Blogger Nasional, 27 Oktober kemarin, ya!

Tuesday, September 3, 2019

Review Film Gundala, Hati-hati Spoiler!

Dulu tuh gue cukup sering nulis review film. Biasanya yang gue tulis, ya karena cukup memorable dan nyangkut di kepala gue. Beberapa hari belakangan, jagad media sosial lagi 'demam' Gundala. Review-nya bisa mudah didapat di mana-mana.

Gue termasuk beruntung, nonton di hari pertama, GRATIS pula. Sorry banget perlu nulis gratisnya. LOL. Sama Abimana pulak. Sorry lagi, nih, gengs. LOL.



Perlu diakui bahwa menulis review tanpa spoiler itu sulit. Gue mencoba untuk nulis sehalus mungkin, nih, ya. Kalo ternyata ada spoiler dan lo nggak suka spoiler, jangan baca.

Tapi, bukankah review -review apapun itu- memang akan ada spoiler?

Tapi diingetin sama Abimana, gimana dong!?

Alasan pertama gue nulis tentang film Gundala adalah gue merasa ikut bangga ada film superhero Indonesia yang standarnya bagus. Ada flaws, pastinya, misalnya ada yang bilang CGI masih kasar, atau teknis lainnya. Tapi gue sih, memaafkan. Bikin film tanpa CGI aja menurut gue cukup kompleks yang diurusin, apalagi ini?

Kemudian, ada banyak hal yang nempel dan bikin gue penasaran karena film ini memang dibuat untuk periode panjang alias bakal ada film-film di universe Bumi Langit selanjutnya.

Sebanyak ini! Nggak sabar banget, gue..

Pertama, kehadiran Awang. Jujur, gue belum baca komiknya. Tapi saat nonton filmnya, gue udah terkesan dengan kehadiran Awang. Nih anak w liat-liat berantemnya jago banget. Bukan yang pas mau syuting baru belajar bela diri. Beberapa hari setelah nonton, baru tahu bahwa Faris Fajar, pemeran Awang memang anak asuh [edit lagi: ternyata Faris adalah anak kandung Kang Cecep. Eh tapi walaupun paham kan, ya, maksud gue anak asuh ini adalah lebih ke anak didik. Anyway, buah jatuh tak jauh dari pohonnya kalo begini, mah!] Kang Cecep (sok akrab ya, gue), aktor laga dan juga koreografer adegan laga di film-film keren, sebut aja yang terakhir di John Wick 3 ngelatih Keanu Reeves!

Awang dan Sancaka kecil. Sancaka kecil juga kecil juga baguuuus aktingnya!
Nah, awal nonton, gue menyayangkan hadir Awang yang cuma sebentar. Sebagus itu laganya, kok cuma 15 menitan? Ternyata eh, ternyata, kehadiran Awang yang ngajarin Sancaka kecil bela diri, adalah planting buat tokoh di Bumi Langit Universe selanjutnya, Godam. Ah! Gue nggak sabar!!

Hal nempel berikutnya adalah kehadiran sepasang suami istri di salah satu adegan yang menyelamatkan Sancaka kecil dari kejaran preman tanggung. Di sana mereka bawa Sancaka ke mobil dan menawarkan Sancaka untuk ikut dan jadi anak mereka.

Kalo ini bukan film Joko Anwar dan bukan film yang universe-nya sebesar ini, mungkin akan gue lupakan. Tapi, karena tahu film Gundala adalah pembuka Bumi Langit Universe, maka gue yakin banyak hal yang di-planting di sini. Yah, kaya film-film superhero lainnya deh, misalnya di Iron Man 1 ternyata nyambung ke Avengers, dsb.

Lalu ada penampilan ciamik Ario Bayu berdialog Bahasa Jawa Kuno dengan lawan mainnya menjelang akhir film. Sekeren itu. Lawan mainnya biarlah jadi kejutan, karena gue juga kaget, lho kok ada dia? Rasaan namanya nggak disebut-sebut main di sini? Atau gue yang kelewat infonya?


Setelah baca sana sini, konon Bahasa Jawa Kuno yang digunakan juga nggak sembarangan. Melainkan Bahasa Jawa Kuno yang kemunculannya setelah Bahasa Sansakerta. Kalo mau baca ulasan lengkap mengenai bahasa dan bahkan ilmu hitam yang terkait dengan scene antara Ario Bayu dan lawan mainnya di film Gundala, cek di sini deh!

Lewat adegan ini juga, buat gue yang nggak baca komiknya, jadi berusaha cari tahu universe-nya Gundala gimana. Gue kemudian tahu bahwa universe-nya ada 4 era. Mulai dari Legenda, Jawara, Patriot, dan Revolusi. Gundala sendiri masuk di fase Patriot bersama Godam, Aquanus, dkk. Tokohnya masih banyak banget, inget, kan waktu pengumuman pemain-pemain Bumi Langit Universe? Caem semua!

Dan ini konon belum semua diumumkan, lho!

Walaupun 'cuma' komik, tapi karena karya Indonesia, gue jadi belajar lagi mitologi dewa dewi Indonesia. Bahwa ternyata Sri Asih merupakan titisan Dewi Sri, Gundala diciptakan karena terinspirasi dari Ki Ageng Selo, dsb.

Btw, OOT dikit. Buat yang mengagungkan Wonder Woman atau jagoan perempuan bule lainnya, coba cari tahu tentang Sri Asih, deh. Malahan, Sri Asih ini diciptakan lebih dulu dibanding Gundala.

Di Twitter kemarin sempat ada yang share tentang Sri Asih, silakan cek di sini.

Hal yang nempel lainnya adalah tokoh Pak Agung, bos Sancaka dewasa. Mukanya lempeng, kalimatnya quote-able, nada suara datar, tapi berhasil mancing kelucuan-kelucuan lewat ceplosannya. Sayang, Pak Agung nggak dieksplor lebih jauh, malahan di akhir dia… ah, sudahlah!

Kemudian Pengkor, musuhnya Gundala di film ini. Sebagus itu sampe nyebelinnya dapet. Tapi pas diceritain latar belakang/ alasan Pengkor begitu menyebalkan malah bikin sedih, sih.

Pernah lihat image #diteleponbapak?



Nah, buat yang belum nonton, ini bakal spoiler. Jadi ada salah satu adegan di mana Pengkor, yang punya banyak anak asuh yang loyal, menelepon mereka semua gara-gara Gundala. Keren-keren sekali, serius! Walaupun tokoh-tokoh tersebut sayangnya nggak tereksplor banyak di film ini.

Kalau di atas adalah hal yang nempel dari sisi positif, maka ada pula beberapa hal yang gue sayangkan. Misalnya, di film ini begitu banyak tokoh yang ingin dikenalkan, sampai-sampai porsinya nggak dapat banyak dan nggak dalam. Paling panjang memang ya Pengkor dan Gundala sendiri. Ya wajar, sih, kan memang bagiannya mereka. Cuma sayang aja gitu sekelas Dony Alamsyah atau Tanta Ginting cuma dapet peran jadi preman pasar. Walaupun keren banget, sih, aktingnya.

yak, dipilih, dipilih...

Adegan laganya juga kurang dieksplor dengan baik. Bukan berarti gue doyan nonton film berantem, ya. Ngilu, saya tuh kalo lihat orang dibanting-banting. Cuma memang kalo dibanding sama The Raid, Headshoot, atau film laganya Iko, lah, masih jauh banget. Ini masih kelihatan desain koreografinya, gitu.

Kemudian ada pula yang komen CGI, udah gue sebut di atas sedikit, ya. Siapalah gue komentar tentang CGI? Ngerti aja nggak.

Terakhir yang menurut gue agak ganggu adalah dialognya ada yang baku dan ada yang enggak. Kalo memang mau baku, yaudah baku aja semua. Jadi nggak belang. Menurut gue lho, ya.

Satu lagi, deh, ceritanya memang agak patah dan ada konflik yang berulang. Gue sotoy, sih, mungkin. Tapi gue rasa hal ini terjadi karena durasi, deh. Mungkin kalo nggak perlu motong durasi, bakal lebih enak dan nggak patah.


Kesimpulan akhir: gue mau nonton lagi, kok, untuk melototin easter egg yang ditebarkan Joko Anwar di film ini.

Oh iya satu lagi, kemarin @adity_titania sempat watsap nanyain pendapat gue apakah anak-anak boleh nonton film ini? Jawaban gue:

Silakan baca keseluruhan artikel di sini, ya!
Terakhir nih..

Pernah gue share di stories, sih. Gue tuh nggak pernah menganggap Abimana ganteng, nggak masukin Abimana ke radar ganteng gue, dah (siap ditimpuk fans-nya, nih). Tapi sungguh lah, di film ini Abimana body-nya bagus sekali! Dan bukan subyektif ini, lho, terbukti ada yang nge-twit ini ke Joko Anwar:


Di sini tuh, body-nya Abimana nggak bulky layaknya superhero/ jagoan, biasa gitu, tapi ramping berotot dan... ah, sudahlah! Pokoknya..


Thursday, July 18, 2019

Nikmati Sekarang, Rencanakan Masa Depan

Waktu usia 20-an, gue suka ngebayangin orang yang usianya 30-an itu udah tua. Eh, dewasa, deh. Kalo perempuan, pasti udah ibu-ibu banget, gitu.

Ngaku masih 20-an ya nggak mungkin, secara anaknya 11 tahun. Hitung mundur moso punya anak usia 19 tahun?

Seiring berjalannya waktu, here I am, di usia 30 something (teteub nggak mau menyebutkan secara gamblang usianya. Haha), punya anak usia 11 tahun, punya anak buah yang lahirnya pas gue lulus SD dan ada yang masih SMA di kala gue udah kerja di tempat pertama gue. Udah tua!

ah, masih kelihatan seumuran lah ya #denial
Karena kapok nggak mau lagi bilang "waktu cepat banget berlalu, ya", maka gue udah sering mikir dan merencanakan kalo usia 50-60 nanti gue mau kaya gimana.

Secara fisik dan penampilan, gue sih maunya kaya Gwen Stefani, Jennifer Anniston, atau Madonna, gitu ya, yang tetap bugar di usia 50 tahun ke atas.


Kaget kan, kalian, begitu tahu 3 cewek keren di atas usianya udah di atas 50?

Selama ini, gue percaya kalau urusan fisik nggak cuma perkara lo rajin olahraga, makan sehat, dan istirahat cukup doang. Ternyata, kalau mau diurut ke belakang, masih ada urusan kesehatan mental, yang seringkali berkaitan dengan kesehatan finansial.

Sebelum jauh ngomongin kesehatan finansial, gue kemarin ini baca bahwa ada beberapa penyakit tidak menular yang justru menjadi penyebab kematian tertinggi. Sebut saja cancer, penyakit kardiovaskular, atau diabetes. Tiga penyakit ini, di tahun 2018 termasuk dalam 4 penyebab kematian tertinggi di dunia. Satunya lagi penyakit yang terkait dengan pernafasan.

Tiga penyakit ini bisa dibilang sumbernya dari dalam diri sendiri, kan, bukan yang ditularkan oleh orang lain. Bisa dari gaya hidup, pola makan, atau pikiran.

Contoh paling gampang, bokap gue. Alhamdulillah sih, bukan terkena 3 penyakit di atas. Tapi gue mau cerita gimana pikiran bisa jadi sumber penyakit. Beberapa tahun lalu, bokap gue pensiun. Seumur hidupnya, bokap gue kalo sakit tuh palingan cuma demam, batuk pilek, padahal beliau orang lapangan. Kerjanya banyak di luar ruangan, gitu. Setelah pensiun harusnya kan enak, ya, bisa istirahat. Nah, buat orang yang tadinya luar biasa aktif, punya banyak waktu luang rupanya malah bikin hal-hal yang tadinya nggak kepikiran jadi dipikirin. Dua atau 3 bulan setelah pensiun, doi masuk RS, dong. Dirawat sekitar seminggu, kalo nggak salah inget karena demamnya tinggi nggak turun-turun tapi bukan DBD atau tifus.

Atau cerita gue sendiri, deh. Gue tuh bukan orang yang bisa meluapkan perasaan gue ke orang lain. Seringnya emosi gue pendam, dan pura-pura bahagia. Sekitar 3 tahun yang lalu, saat kondisi pikiran gue ternyata lagi kacau-kacaunya, tau-tau sekujur badan gue muncul bilur alergi. Puncaknya, jam 3 pagi pingsan depan kamar, nggak ada yang dengar, dan gue bangun sendiri. Kesian amat ya, dari pingsan jatoh ke lantai kepala ngejeledak lantai, sendirian, sadar dari pingsannya juga sendirian. LOL. Pernah juga tiba-tiba vertigo menggila. Keringet dingin sampe menggigil, nggak bisa bangun, bahkan kepala berubah lokasi aja gue muntah.

Dalam psikologi, hal ini dinamakan psikosomatik. Psikosomatik adalah suatu kondisi atau gangguan ketika pikiran memengaruhi tubuh hingga memicu munculnya keluhan fisik. Psikosomatik berasal dari dua kata, pikiran (psyche) dan tubuh (soma). Gangguan psikosomatik tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tapi juga anak-anak.

Iya, bok, anak-anak juga bisa. Inget nggak, Langit pernah dirawat di RS karena leukosit tinggi padahal nggak ada infeksi? Setelah gue baca dan tanya sama yang tahu (alias dokter), leukosit tinggi juga bisa terjadi jika seseorang dalam kondisi stres/ banyak pikiran.

Anak-anak apa sih, yang dipikirin? BANYAK! Pelajaran, masalah dengan teman, keluarga, dsb.

Gue rasa lo juga pernah dengar/ punya cerita yang mirip kaya gini, deh. Ada yang kalo stres asam lambung naik, bolak balik pipis, dsb.

Nah, Sun Life baru saja meluncurkan campaign terbarunya yaitu #livehealthierlives. Sebuah kampanye yang mengingatkan masyarakat untuk memprioritaskan kesehatan mereka sejak dini. Dari campaign ini, gue baru tahu bahwa masalah finansial merupakan salah satu penyebab stres yang kronis. Maksudnya, secara kasat mata gue tahu, bahwa nggak punya duit itu bikin orang musuhan sampe bisa membunuh, tapi kalo masalah finansial ternyata sumber stres kronis, aku baru tahu!



Sebagai gambaran, pada pernikahan, nih. Di Indonesia sendiri, kalo gue baca-baca, faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab perceraian yang tertinggi. Gue pribadi menganggap dalam pernikahan, masalah ekonomi harusnya bisa didiskusikan dan dicari jalan keluarnya bersama. Tapi sayangnya, kalo dari beberapa data yang gue baca, faktor ekonomi ini sering berujung pada tindak kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT. Nah, bisa ditarik kesimpulan, kan, ya, bagaimana masalah keuangan bisa bikin pikiran seseorang kacau?


Sementara di produktivitas kerja, sebuah penelitian bilang bahwa, ⅓ pekerja yang punya masalah keuangan, performa kerja terganggu.

Lalu, apa hubungannya dengan cerita pembuka tentang bagaimana gue membayangkan diri sendiri di usia senja nanti?

Sebuah studi berjudul Healthy, Wealthy and Wise: Retirement Planning Predicts Employee Health
Improvements menemukan bahwa orang-orang yang memiliki perencanaan keuangan dan
mempersiapkan masa tua, cenderung mengambil langkah hidup sehat untuk menjaga kesehatan fisik mereka.


Artinya, ketika seseorang memiliki kesadaran akan pentingnya memiliki masa depan yang baik, ia akan mempersiapkan kebutuhan dasar berupa kesehatan fisik serta finansial, dengan lebih matang.

Kalo kata Mbak Roslina Verauli, “Manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk mencapai aktualisasi diri dan kebahagiaan. Kesehatan fisik dan keamanan finansial menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, agar seseorang dapat memenuhi kebutuhan selanjutnya, yaitu relasi positif dan meraih performa terbaik mereka. Sehingga, ketika seseorang telah memenuhi kebutuhan dasar berupa sehat fisik dan finansial, peluang mereka untuk mendapatkan hubungan keluarga dan relasi yang baik akan semakin tinggi, begitu pula dengan kesempatan mereka untuk mencapai potensi terbaik diri mereka”.



Nah, ini alasan kenapa kampanye kesehatan yang diinisiasi Sun Life menjadi sangat relevan, dengan pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yang sayangnya saat ini mulai kerap diabaikan.

Gue pribadi, sejauh ini masih terus belajar buat menyiapkan masa depan.

  • Olahraga rutin, alhamdulillah dijalani. Walaupun kadang ada aja malesnya, tapi seminggu 3-4x masih dijalanin, deh.
  • Pola makan sehat pelan-pelan tapi menuju ke arah yang lebih baik, insyaallah. Salah satu yang paling dibanggakan adalah, gue udah 5-6 tahun nggak makan mi instan. Terus gue juga sebisa mungkin nggak minum minuman manis dalam kemasan/ teh dan kopi tanpa gula, camilan 'kosong' (itu lho, camilan kemasan yang ringan-ringan), dsb dst.
  • Istirahat yang cukup. Oh sungguh ini sulit sekali. Apalagi kemarin sempat ngobrol sama ex bos gue, beliau mendengar di Ted Talk, yang bilang bahwa dari semua penyakit PTM (penyakit tidak menular) obat/ antisipasinya itu cuma 1: tidur cukup, 8 hours straight. Bukan tidur balas dendam di akhir pekan, bukan tidur pecah-pecah tiap 2 jam, dsb. Gue belum baca-baca lebih jauh tentang ini. Tapi menurut gue masuk akal, sih. Karena istirahat yang cukup itu sulit banget buat sebagian orang, salah satunya aku, yang sering masih ketak ketik sampai tengah malam kemudian besok paginya udah bangun buat kerja lagi.
  • Finansial. Duit nggak ada cukupnya. Menurut gue, kemampuan mengatur keuangan itu nggak kalah penting dibanding kemampuan mencari uang. Gue pribadi, masih belajar terus ngatur uang dan menyiapkannya buat masa depan. Gue nggak mau menjadikan Langit generasi sandwich yang harus nanggung kehidupan gue, makanya gue rajin investasi. Dan gue nggak mau Langit nggak jelas pendidikannya/ kehidupannya kalo gue sampe kenapa-kenapa, makanya gue punya asuransi jiwa. Satu lagi, biaya rumah sakit mahal, bok, makanya gue punya asuransi kesehatan (well BPJS juga ada, tapi alhamdulillah dikasih privillege untuk bisa punya asuransi swasta, kenapa enggak?)

Foto credit Mbak @nuniektirta

Apakah dengan semua persiapan gue itu udah cukup bikin gue PD menyongsong masa depan? So far, gue merasakan memang hidup gue alhamdulillah lebih enteng, lebih tenang. Tapi di luar dari hal-hal di atas, ada satu sih, yang nggak juga dilakukan: mendekatkan diri sama Yang Di Atas.


#tausiyahmamahlita

Btw, sebelum tausiyah jadi panjang, Sun Life sedang mengadakan vlog competition bertema Live Healthier Lives di mana lo bisa menceritakan alasan lo hidup sehat dan bagaimana lo melakukannya. Sun Life Vlog Competition ini berlangsung dari 10 Juli sampai 11 Agustus. Lumayan lama kan, tuh, cukup lah waktu buat bikin script, syuting, dan editing-nya. Berminat ikut? Cek detailnya di http://bit.ly/SunLifeID.



Waktu awal tahu campaign ini, gue langsung kebayang omongan gue adalah: “Alasan gue hidup sehat adalah gue pengin menyaksikan dan menemani Langit tumbuh dewasa dalam keadaan sehat”. Eh, nggak tahunya udah dipake sama Ibnu Jamil di video berikut ini:



Tapi gue rasa, semua orang ketika jadi orangtua, maka akan menjadikan anak sebagai alasan utama mereka hidup sehat. Benar nggak? Kalau kalian gimana? Apa alasan kalian menjalani hidup sehat?

*kalimat di judul terinspirasi dari kalimatnya Ibnu Jamil ketika dia dan Kelly Tandyono diresmikan menjadi brand ambassador Sun Life hari Kamis, 11 Juli 2019 yang lalu. Ku sukak!




Thursday, July 11, 2019

Dari Mencari Kunang-Kunang, Sampai Tubing di Tanakita Camping Ground

Setelah FAQ mengenai Tanakita Camping Ground di blogpost sebelumnya, di sini akan bahas kegiatan apa aja yang bisa dilakukan di Tanakita. Gue bahas satu per satu sesuai dengan aktivitas kami sejak tiba, ya.


Danau Situgunung

Jaraknya sekitar 1 km dari Tanakita. Dekat ya? Iya, kalo jalanan rata. Karena letak danau di lembah, jadi jalanannya turunan curam? Lumayan, shay! Tapi enak, sekarang udah dibeton. Satu atau 2 tahun yang lalu masih bebatuan.

Anak-anak rewel nggak? Nah, ini dia dimulainya kecintaan anak-anak ke Om Ali Sang Penyelamat kami. Selama perjalanan Om Ali sangat sabar menjawab aneka pertanyaan anak-anak. "Ada harimau nggak?", "Hewan apa aja?", "Ini pohon apa?", sampai pertanyaan standar yang diulang 2756x, "Masih jauh nggak?". LOL.



Danau Situgunung ini konon kalo sunrise bagus banget. Tapi tentunya kami nggak ke sana pas sunrise, melainkan siang menjelang sore. Danau ini sering dijadikan lokasi piknik warga sekitar, kemarin banyak yang gelar tikar, piknik sama keluarga, atau pacaran.




Di sana kami naik getek keliling danau sekitar 30 menit-1 jam. Biaya per orang 15ribu. Ini simpel banget, sih. Tapi buat anak kota, bisa jadi cerita. Gimana deg-degannya anak-anak pas getek miring kalo mau belok, atau stresnya buibu karena nggak ada sinyal mau update stories. LOL.



Tadi kan berangkatnya turunan, ya. Baliknya? Ya nanjak, dong. Buat yang doyan treadmill pake mode turunan tanjakan, saatnya membuktikan latihan kalian di sini!

nanjak dimulaiii
Kalo nggak sanggup nanjak? Tenang, ada ojek di sekitar danau. Emang orang Indonesia, paling pinter segalanya jadi duit.

Flying Fox

Area ini punya Tanakita, jadi kita boleh main sepuasnya. Mau 500x bolak balik juga boleh. Safety-nya lengkap, posisinya lumayan tinggi juga kalo w liat-liat. Tapi Langit dan teman-temannya nggak ngaruh sih, tetap bolak-balik naik ini.

kalo gue bilang Langit dan teman-teman, tentu saja exclude ibu-ibu di ujung kiri yang pake baju ijo, ya :p
Alexa, yang sepanjang jembatan ini untuk hilangkan rasa takutnya dengan teriakin nama-nama artis K-Pop :))
Ilona, anak bawang mau ikut flying fox tapi harus digendong Om Ali. See, gimana nggak jatuh cinta tuh anak-anak?
Mencari kunang-kunang

Selepas makan malam, kami kumpul lagi untuk cari kunang-kunang. Jangan dikira kegiatan ini buat anak-anak doang. Coba lo inget, kapan terakhir lihat kunang-kunang? Jangan-jangan lo salah satu yang mengira bahwa kunang-kunang udah punah, lagi? (lirik @biancafebriani25 yang bilang ke anak-anaknya kalo kunang-kunang udah punah. LOL)

Kami jalan mengelilingi area hutan sekitar Tanakita dalam kondisi gelap. Lah, ribet dong jalannya? Ngeliatnya gimana? Nah, ciri-ciri anak kota banget dah, nih. Kan kalo ada cahaya, kunang-kunangnya kan nggak kelihatan, Bambang!

Kita boleh bawa senter, tapi cuma boleh dinyalakan di area-area tertentu aja. Lagian ya, kalo situasi gelap, lama-lama mata kita bisa menyesuaikan, kok. Nggak percaya? Hmmh, kaga pernah mati lampu di rumah?

Kunang-kunang pertama yang ditemukan itu jaraknya nggak sampai 500m dari camp. Yang megang pertama kunang-kunangnya? Ya siapa lagi kalo bukan Lita Si Akamsi ini? Haha.

Duh, fyi ya, gue ini dari kecil emang anak kampung banget. Main di kebon, nyabut singkong, nyebur kali atau got buat cari ikan kecil-kecil, manjat pohon, genteng, dsb. Jadi bukannya sok anak alam nih, ya, cuma emang nalurinya anak kampung aja.

Sepanjang jalan, ternyata kunang-kunang masih banyak, gaes! Nggak hanya anak-anak yang terpesona, tapi orang-orang dewasa juga. Beberapa sempat pegang kunang-kunangnya, tapi memang dilepas lagi, sih. Kan kasihan, dibawa-bawa juga buat apa?

Mencari kunang-kunang kaga ada fotonya, secara gelap gulita :))

cuma foto ini doang sebelum kami berangkat cari kunang-kunang

Api unggun

Setelah balik dari cari kunang-kunang, api unggun udah siap lengkap dengan akustikan. Wah, akustikannya mantap punya. Semua lagi yang di-request, bisa dinyanyiin! Kalo ada yang lihat stories gue kemarin pas di sana, itu lagu mulai dari 90's Kahitna, So7, MLTR, sampai Queen, Via Vallen, Metallica, dsb dia bisa. Bisa lah saingan sama home band-nya cafe-cafe di Jaksel. Kemarin sayangnya nggak ada lagu "Izinkan akuuu untuk terakhir kalinyaaa…" aja, sih. Haha.

Sambil api unggun dan nyanyi-nyanyi (oh percayalah, rombongan kami paling vokal dan mendominasi playlist, ditambah lagi nyanyi kenceng-kenceng nggak sadar diri suara pas-pasan), ada juga bandrek (apa wedang jahe? Kok lupa saya) plus jagung bakar. Sedap!!

Pas api unggun anak-anak mulai mundur teratur satu per satu. Anak tidur, nggak usah diceritain ya, emaknya ngapain. Hehe.

Suspension Bridge Situgunung


Pagi-pagi sekali setelah sarapan, kami udah jalan ke Suspension Bridge Situgunung. Tahu nggak, kalo jembatan ini merupakan suspension bridge terpanjang se-Asia Tenggara. Canggih, kan? 


Jembatan yang baru diresmikan tahun 2018 yang lalu ini, panjang 243 meter dan lebar 18 meter yang melintang di atas ketinggian jurang mencapai 161 meter di atas permukaan tanah. Nggak heran kalo ini lagi hangat-hangatnya jadi tujuan wisata nggak hanya warga Sukabumi, tapi juga kota lain. Konon di minggu sebelum kami ke sini, parkirannya itu mencapai 1,5km dari lokasi. Gokil.



Masuk ke area wisata ini harga tiketnya 50ribu untuk dewasa dan 25ribu anak-anak. Harga tiket ini kita dapet welcome drink dan camilan, lho! Kopinya enaaaak, kopi kampung gitu dengan camilan kampung yang kukus-kukusan. Sedap, lah!


Seperti udah gue sebut di atas, Suspension Bridge Situgunung ini lagi hot banget jadi area wisata, nggak heran antreannya luar biasa. Belum lagi si jembatan ini maksimal hanya boleh ada 90 orang di atasnya di waktu yang bersamaan. 


Di ujung jembatan ini kita menuju ke Curug Sawer, air terjun kece yang perjalanannya juga kece. Turun tangga sekitar 15 menitan, dan baliknya bisa 1,5 jam karena pegel! LOL.




Saat naik papasan sama orang-orang yang turun dengan wajah ceria, rasanya pengin gue ngomong, “Ngocehlah kau sepuasnya, ntar pas nanjak, inget napas aja udah bagus”

Di beberapa  titik ada tempat duduk buat istirahat yang nanjak :D
Kiat ke Suspension Bridge Situgunung:
  • Datang pagi, sebelum jam 9 kalo bisa. Siangan dikit, penuh, sis!
  • Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman mengingat perjalanan ke Curug Sawer cukup challenging. Eh tapi kalo mau ada photoshoot atau #demikonten kece sih, nggak apa-apa juga, ya :D
  • Nggak usah ribet bawa makanan/ minum, di dekat curug ada foodcourt yang jual aneka makanan, camilan, dan minuman. Kalo gue sih karena #ibubijak jadi selalu bawa sebotol minum, memang.
  • Kasih tau anak-anak jangan lompat/ menggoyang-goyangkan jembatan. Buat mereka seru, mungkin. Tapi buat orang lain? [iya, kemarin gue abis membentak satu anak yang goyang-goyangin pegangan jembatan, padahal larangan ini sudah jelas terpampang di depan]

Setelah selesai ngos-ngosan ke Curug Sawer, kami mampir ke coffee shop De Balconie yang letaknya masih di dalam area situ. 


Kopinya banyak banget, dan KOPI JAWA BARAT GALORE. My laff!!


Main di sungai
Setelah dari suspension bridge, kami makan siang. Habis makan siang, terus main di sungai deh! 


Sungai yang kami kunjungi merupakan garis finish sungai yang akan jadi jalur kami tubing besoknya. Airnya bersih, nggak terlalu deras arusnya tapi nggak santai-santai amat juga.

Awalnya anak-anak ragu buat turun. Lalu, siapa lagi kalo bukan akamsi alias gue yang turun duluan? Ngelihat gue cuek ke air, langsung deh pada turun juga. Yang kemudian berujung nggak mau diajak naik.


Oiya, di area ini juga nanti Tanakita bakal buka area baru, yang disebut riverside. Kebayang sih, enaknya camping persis di depan sungai gini.

Nah nanti dibuka area campingnya di sini juga



















Selain main air, di sini anak-anak juga sempat simulasi tubing. Lumayan gelosoran 1 turunan. Lumayan pegal bolak balik angkut bannya, maksudnya.

Itu adalah kegiatan kami terakhir di day 2. Malamnya istirahat aja karena besok mau tubing.

Hmm, nggak istirahat juga sih, karena anak-anak malah pada main kartu di common room sampe jam 12 malam. Liburan mah, bebaaaaas..


Tubing

Big day! Aduh, ini teh kegiatan terseru. Tubing tuh intinya kita duduk di ban kemudian membiarkan kita kebawa arus sungai.

Perjalanan menuju lokasi start tubing yang bikin kami kaya Ninja Hattori
Aman nggak?
Insyaallah, karena staf Tanakita banyak banget ngawasin dan ada di setiap belokan serta riam sungai. Sebelum tubing juga ada briefing gimana-gimana yang aman kalo tubing. Selain itu, kita juga wajib pakai safety vest (pelampung vest itu lho), helm, decker siku dan lutut, dan sarung tangan. Sungainya juga cetek, kok, sebenarnya.

Yang tubing cuma ber-6, Irna dan anak-anak nggak ikut plus Alexa yang lagi sakit perut

Jarak tempuh tubing ini sekitar 1,5-2 km atau sekitar 45-1 jam. Lama? Nggak sama sekali! Nggak kerasa. Di tengah perjalanan, ada rest area -ceile, tempat peserta bisa ngeteh untuk menghangatkan tubuh karena.. Airnya dingin banget cuuuy!!! Dan basahnya nggak ecek-ecek, kuyup lah, pokoknya.




Kiat untuk yang mau tubing:
  • Pakai sunblock
  • Gue menyarankan pakai celana panjang, sih, untuk meminimalisir kebaret batu atau tanaman. Pakai legging oke aja, kalo gue kemarin pakai celana cargo berbahan parasut yang memang jadi andalan gue kalo camping/ jalan-jalan yang backpackingan, soalnya cepet kering.
  • Pakai sepatu/ sendal yang nggak mudah copot. Sepatu tali atau sandal gunung pilihan paling aman. Pakai kaos kaki boleh, enggak juga nggak apa-apa.
Cerita soal sepatu dikit ah. Jadi, gue tuh kemarin pake sepatu trail gue yang memang udah lama nggak dipake. Nggak gue cek lagi sebelum berangkat, tau-tau pas di kereta menuju Sukabumi, gue baru nyadar kalo ada bagian yang kondisinya nggak ok alias hampir copot. Makanya pas di stasiun gue langsung ganti pake sandal jepit dan buru-buru beli lem buat perekat sementara. Tapi, berhubung nggak bawa alas kaki selain sepatu itu dan sandal jepit, ya mau nggak mau tubing gue pake sepatu tersebut.

Selama 30 menit perjalanan dari camp ke lokasi start tubing yang lewat hutan, gue udah watir sama kondisi sepatu. Tapi gue pikir, ya kalo jebol, sudahlah. Memang itu sepatu usianya udah tua juga. Tinggal beli lagi. Tapi cari diskonan.

Bener dong, pas di salah satu riam yang cukup deras, gue bertolak ke salah satu batu pake kaki biar posisi ban gue enak. Eh, solnya copot! Whoaaaa.. Walaupun udah diprediksi, tapi aku tetap sedih. Biasa lah, orangnya sentimental sama barang.

tuh perhatikan, sol sepatu gue udah kandas sebelah :))
Alhasil balik dari tubing ke camp gue nyeker. Dasar anak kampung.
 
Reality versus Expectation
Anyway, tubing ini salah satu kegiatan kami selama di Tanakita yang biayanya lumayan tinggi dibanding yang lain, yaitu Rp150.000 per orang. Menurut gue segitu worth every penny, sih. Serunya luar biasa!!

Selain kegiatan di atas, kita juga bisa ikut kegiatan bercocok tanam. Menanam tanaman di sekitar Tanakita atau panen sayuran untuk dimakan. Nah, sayuran yang dikonsumsi di Tanakita, hampir semuanya dipetik dari kebun mereka. Seru ya?

Kegiatan kami selama 3 hari 2 malam itu aja sih. Paling tambahannya adalah ngajarin anak-anak main kartu. Sebagai bekal hidup pas kuliah nanti udah pada jago.


Overall, kami hepi sekali kemarin. Bahagia banget gue dengar Langit sejak malam pertama di sana udah ngomong, "Thanks mommy for taking me to this trip". 

Balik lagi? Insyaallah, soalnya kegiatan ini..


:*