Monday, October 29, 2012

Melihat Masa depan

Ceile banget judulnya :p

Bukan, ini mah bukan ngomongin kemampuan meramal atau aneka mesin waktu yang memungkinkan kita lompat ke masa depan.

Beberapa waktu lalu di watsap grup sempat ngomongin mengenai power of visualization.
 Maksudnya, ketika kita melihat gambaran diri kita di masa depan, maka suatu hari gambaran tersebut bisa terjadi.

Hasil googling (apalagi?) menyatakan bahwa tekhnik cukup berhasil dalam menentukan kehidupan seseorang. Misalnya si Mas Arnold sapa-itu-nama-belakangnya-yang-susah-banget-dieja, seleb yang juga politisi, mengakui bahwa dia melakukan hal tersebut. Saat mengikuti kejuaraan Mr. Universe (eh apa binaraga, ya? Ya itulah pokoknya), sebelum bertanding, dia akan datang ke lokasi dan dalam pikirannya seolah-olah dia sudah jadi pemenang. "It's all in mind", itu katanya, sih.

Begitu juga pas mulai syuting film pertama, dalam benaknya udah tertanam filmnya akan hits! Eh bener kan, ternyata? Jadi, visualization techniques akan berhasil jika kita benar-benar meresapi akan gambaran yang ada di kepala kita.

Konon, ini mind tricks. Karena, gimana mau bayangin jadi orang sukses, kalo kita juga malas-malasan kerja. Gimana mau langsing, kalo ga dibarengi dengan pola hidup sehat, olahraga, atau diet?

Om Arnold sukar-bener bisa berhasil karena kan doi punya body keren, makanya menang kejuaraan itu mulu. Si om berhasil maju politik kan karena, errr, karena apa ya? Hihihi, udah punya nama sebelumnya atau mungkin kredibilitasnya bagus.

Sejak SMP, cita-cita gue adalah jadi ibu yang baik. Gambaran gue mengenai ibu yang baik bukan yang jago masak atau hal-hal fisik lainnya. Gambaran gue saat itu adalah ibu yang bisa jadi tempat cerita si anak, yang bisa jadi sahabat anaknya. Apakah sudah terjadi? Well, masalah nggak bisa masaknya sih, udah pasti :p

Terus, seiring berjalan waktu, jalan hidup gue malah menjauhkan gue dari cita-cita yaitu menjadi ibu yang baik. Ahem, sebenarnya bukan masalah jadi ibu, tapi menjadi istri. Karena di lingkungan gue masih percaya, untuk menjadi ibu, maka harus menjadi istri dulu. Sementara kondisi gue saat itu (gila kerja, do not believe in love) bikin gue yang mikir, "emang ada cintaaa...???".

Bahkan gue sempat janjian sama salah satu sahabat laki-laki gue (eh, 2 malah), kalo kami sama-sama sudah stuck, kami kawin aja, produksi anak, tapi ya tanpa melibatkan perasaan. Blah banget ya?

Oiya, gegara itu juga, visualisasi akan masa depan gue adalah: gue si ibu bekerja, anak dan pengasuh. No husband, no man. Beberapa tahun sempat memvisualisasikan itu. Mungkin saat itu gue kaya si Summer *halah- ngarep* "...What I was never sure of with you." Sampai kemudian satu titik dimana gue hanya menjalani apa yang seharusnya gue jalani.


Lalu, apakah kehidupan gue saat ini sudah sesuai dengan visualisasi gue kemaren-kemaren? Beberapa iya, tapi beberapa tidak and i don't mind, selama masih hidup dan punya harapan akan masa depan, kenapa nggak dimanfaatkan?

Yang gue pelajari dari tekhnik ini adalah, berpikiran positif untuk diri sendiri. Membayangkan hal yang buruk terjadi, itu harus juga sih, to keep us stay on the ground, i think.

Tapi, untuk karir, kehidupan atau anak, misalnya, berpikir positif sangat penting. Ini bisa membantu kita lebih fokus untuk menentukan tujuan hidup atau goal baik jangka panjang atau pendek. Nah, kebetulan gue bukan orang yang demen menebar keinginan, tujuan atau pencapaian. Karena memang prinsip hidup gue bener-bener let it flow, mengikuti arus aja. Jadi buat gue pribadi, bisa jadi 'reminder' kalo di tengah jalan melenceng dari tujuan tersebut.

Ada banyak lho penelitian atau referensi mengenai the power of visualization. Bahkan sampai ada cara-cara atau step-nya. Ini salah satunya: positiveliving

Silakan dicoba, dan rasakan khasiatnya *halah* 

Wednesday, October 24, 2012

Here Comes Your Man

Ada yang tau lagu ini?
Dinyanyiin sama Pixies, band asal Ameriki. Lagu ini dirilis tahun 1988, beuh, masih SD gue tuh! Tapi gue suka banget pas jaman SMA. Kebetulan SMA itu mainannya gue di Poster, ceileee... Sering acara britt pop gitu. Nah, lagu ini agak jarang sih dinyanyiin, tapi gue suka banget!

Lagunya sendiri pendek bener, cuma sekitar 3 menitan. Ini lirik lagunya:

Outside there's a box car waiting
Outside the family stew
Out by the fire breathing
Outside we wait 'til face turns blue
I know the nervous walking
I know the dirty beard hangs
Out by the box car waiting
Take me away to nowhere plains
There is a wait so long
Tere comes your man

Big shake on the box car moving
Big shake to the land that's falling down
Is a wind makes a palm stop blowing
Abig, big stone fall and break my crown
there is a wait so long
you'll never wait so long
here comes your man
there is a wait so long
you'll never wait so long
here comes your man

Eh ndilalah, lagu ini jadi soundtrack salah satu film favorit gue, (500) Days of Summer. Tentang film ini kenapa  jadi favorit gue, akan gue ceritakan di lain waktu ya (kalo nggak lupa, haha). Ini mah alasannya sendiri aja udah bisa jadi 1 novel sendiri, haha. Eh udah pernah deh, bikin novelnya, tapi entah dimana sekarang :D Novel private tapiiii....

Di film ini, Tom (main character) yang dimainkan dengan apik oleh Joseph Gordon Levitt, ceritanya lagi 'outing' kantor. Lalu Summer (main character, cewe yang ditaksir mati-matian sama Tom) diperankan oleh perempuan kece nan keren Zooey Deschanel (asli ni perempuan keren abis, kalo laki gue pasti naksir dia!), nantangin Tom untuk nyanyi.

Awalnya Tom nolak, eh lalu dia nyanyi karena mabuk :)) tapi aselik, keren abiiiiiis! Mari kita lihat bersama *siap-siap mimisan*



Terpana oleh aksinya *halah* yang ada gue malah googling tentang si Joseph ini. He can sing! Man with a taste of music, always sexy for me *wink*

Nah ini dia nyanyiin Lithium-nya Nirvana




KEREN BANGET YAAAAAAAAAA....
*brb pengsan*

Tuesday, October 16, 2012

Today's Outfit: Menuai Pujian Suami :p

Suami gue bukan tipe yang suka memuji. Cuek is his middle name, deh. Masalah baju, penampilan, gitu-gitu, jarang banget dia komentarin. Iya, ga usah memuji deh, komentarin aja jarang *sedih*. Eh tapi ada untungnya sih, jadi gue bisa cuek mau pakai baju apa aja atau berpenampilan seperti apa.

Kalo ada model baju baru, misalnya harem pants, gue biasanya nanya dulu, "kalo gue pake celana begitu aneh ga?". Kalo jawabannya, "Ih apaan sih begitu", nah mendingan kaga usah. Tapi kalo ga ada respon, masih boleh lah. Inget dong, dia pan ga suka komentarin orang :p

Tapi kemaren itu ada yang lumayan mengejutkan. Tiba-tiba dia bbm gue, nanya, "Itu profpic (bbm) foto kapan?". Gue bilang, "oh itu pas buka puasa bareng anak-anak Komando, emang kenapa?". Dia bilang, "Nggak kaya ABG aja, ga keliatan kaya ibu-ibu".

HAH!

Gue anggap ini compliment, dong :)) 

Ini fotonya, pernah mejeng juga di Fashionesedaily :)


Terus di lain waktu, pas dia syuting ke Papua, gue pake kemejanya buat outerwear. Pas suami lihat (lagi-lagi di profpic BBM), katanya, "itu kemeja buat kamu aja deh, kayanya pas buat kamu"

Uhuy!

Jadi gue pikir-pikir, suami gue memang lebih suka gue  tampil ala ABG *halah* *minta digaplok* dan gue juga sebenarnya lebih nyaman seperti ini dibandingkan make sepatu tinggi atau sepatu jinjit (kalo kata Langit).

Paling susahnya kalo nganter Langit dan udah telat itu kan harus copot sepatu ke dalam sekolahnya, pake ankle boot begini rempong juga ye :p

Friday, October 5, 2012

Menanam atau Memetik?

Banyak orang yang pengen kerja di multinational company, yang udah establish, sistem sudah berjalan, kenaikan posisi jelas, dan semacam itu.
Sementara di sisi lain, banyak juga yang malah memilih bekerja di perusahaan kecil yang baru merintis bisnisnya.

Nah, kebetulan gue pernah di dua jenis perusahaan ini.

Pertama kerja tetap, gue di PH yang baru beberapa bulan berdiri. Sistem, ya masih belum jelas. Wong gue yang baru mahasiswi tingkat 3 aja udah keterima kerja. Gue masih bisa bolak balik kampus-kantor setiap hari (dan semakin hari frekuensinya lebih banyak di kantor dibanding ke kampus).

Pekerjaan tetap kedua di AKV. Perusahaan baru berdiri juga, tapi isi, sistem dan semua karyawannya udah establish. Pola promosi jabatan, masa kontrak (3 bulan kontrak, langsung tetap, cyin!), cuti, hingga bonus dan kenaikan gaji sangat jelas skemanya.

Setelah itu di IT company. Perusahaan kecil walaupun sudah berdiri cukup lama. Karena karyawannya juga ga banyak, jadi hangat satu sama lain (selain juga karena kantornya yang cilik tenan dan AC gedung suka mati. LOL), malahan sampe pernah bisa milih, gaji mau barengan sama THR atau nggak :p

Lalu ke perusahaan kosmetik yang udah puluhan tahun. Ini benar-benar gue hanya mengisi kekosongan posisi doang, menurut gue. Karena sistem mereka udah jalan, segalanya udah ada, jadi ya gue tinggal ikut arus.

Saat ini di Female Daily Network. Bisa dibilang sebuah start up, dan sedang berkembang. Merasa mirip dengan perusahaan pertama. Dari yang sistemnya belum terbangun sempurna, hingga kemudian ada penyesuaian sana sini.

Tentu ada kekurangan dan kelebihan dari masing-masing, ya. Perusahaan yang sedang merintis, nggak bisa dikatakan lebih baik daripada perusahaan yang sudah establish. Demikian sebaliknya.

Tentang bekerja menjadi salah 1 tim perintis:
- Kerja lebih berat. Pasti! Secara masih berkembang, job description biasanya belum jelas dan juga belum lengkap orang2nya,, jadi semua dikerjakan sendiri. Di PH dulu, selain reporter, gue ngedit juga, nulis script, sampai minjem baju untuk syuting host.
- Keuntungan dari poin di atas, jadi menguasai (atau setidaknya mengerti) pekerjaan, bukan hanya yang seharusnya dikerjakan saja. Kalo gue sih, bilangnya, nggak neneng. Kebiasaan saat syuting waktu di tempat pertama, gue angkat-angkat bangku, begadang ngerjain props, ya kebawa aja. Ga keberatan melakukan pekerjaan lain selain job desc (tapi kalo ada orang ngacak-ngacak job desc gue, sini aku mamam!)
- Konsekuensi dari poin pertama adalah, waktu akan banyak tersita ke pekerjaan. Siapa yang saking sering tidur di kantor sampe punya lemari baju sendiriiiii? *ngacung pelan-pelan*. Untung belum kawin, dulu.
- Ketika meraih sesuatu yang kita 'make from the scratch' itu bahagianya luebiiiih banget! Rekor buat gue adalah tahun 2003, PH kehilangan banyak karyawan, lalu gue liputan, nulis dan ngedit sendiri. Liputan ya sama kameramen, ngedit juga ditemenin. Tapi ini untuk 3 tayangan yang berbeda. Editor cuma 1 orang, gue berdua dia selama seminggu tidurnya gantian. Alhamdulillah, kami masih hidup.
- Kita bisa kasih masukan atau pandangan mengenai hal-hal yang sekiranya sesuai dengan nilai/ konsep diri kita. Agak egois mungkin, tapi nggak deh, kalau di perusahaan besar, segala kebijakan kan antara HRD sama empunya/ direktur/ CEO (kali ye). Nah, di perusahaan kecil, bisa ikut sumbang saran dan didengarkan, sukur-sukur diaplikasikan juga.
- Bikin nggak cengeng sama masalah yang dihadapi. Setelah apa yang dilalui, masa syuting di kolong jembatan aja gue nggak mau? Setelah apa yang pernah gue kerjakan, masa liputan tiap weekend aja nggak mau? Ya memang, posisinya saat ini beda. Udah kawin dan berkeluarga, itu jadi pertimbangan. Tapi kalau nggak harus mikirin status, ya semua itu nggak masalah.
- Bikin gue (yang kebetulan sedikit ignorant ini) nggak peduli sama office politic. Atasan langsung gue pernah ngomong gini ke empunya PH, "pilih saya atau Lita yang keluar dari sini". Sebulan kemudian, dia yang dipecat.

Sementara kerja di perusahaan yang sudah establish:
- Sistem sudah jelas! Dari pertama menginjakkan kaki di ruang kantor si perusahaan kosmetik, gue udah tau bakal ngapain aja dan nggak usah ngapain aja. Masalah cuti, libur, lembur juga udah jelas. Alhasil kalo anak sakit, dan belum 1 tahun, ya ga bisa cuti :'(
- Nah karena sistem sudah jelas, tentu kita nggak bisa seenaknya mengubah yang udah ada, dong. Nggak mungkin lah gue yg baru sebulan kerja sekonyong-konyong ngomong sama Ibu MT, "Bu, untuk pegawai yang udah punya anak, kasih kelonggaran waktu dong, masa pulang jam 2 pagi besoknya jam 9 kudu ada di kantor lagi?". Yakaleeeee.
- Adanya appraisal berkala. Pertama kali terima form appraisal, gue bengong. Ini diapaiiiiin? Ada kali 10 lembar sendiri. Tapi dari situ gue belajar menilai pekerjaan dan diri gue sendiri. Appraisal pertama, kata bos gue, gue menganggap diri gue rendah. Kurang self esteem dalam menilai kerja gue. Ya kan aku belum pernah, bos, ntar kepedean lagi. Nah, dari sini, akan ada angka-angka yang keluar dan ada formulanya sehingga menentukan jumlah persen kenaikan gaji. Canggih!
- Job description jelas. Kreatif ya membuat konsep program, script sampai nentuin look and feel host, warna, gimmick, dst. Nggak usah pusing lagi gue urusan lokasi syuting, kan udah ada UPM. Nggak usah pusing mikirin ngedit, kan ada PA dan produser. Syenang!

Kayanya segitu dulu perbandingannya. Kalo dilihat-lihat, keciri nggak sih, gue lebih senang dimana? :D

Tapi gue senang kok pernah merasakan dua-duanya. Poin utama yang gue ambil banget adalah, gue nggak cengeng tapi juga gue (insyaallah) mengerti flow kerja.

Jadi buat adik-adik yang masih muda *ngunyah sirih*, kerja di mana aja, silakan! Mumpung masih muda. Banyak-banyakin pengalaman, karena pepatah 'Pengalaman adalah guru yang terbaik' itu sangat benar adanya.
*ya menurut ngana, pepatah kan ada karena sudah ada yang mengalaminya*

Jadi kamu mau ikut menanam, merawat lalu memetik atau hanya mau memetik saja?

*buat orang yang (katanya) kerja di bidang kreatif, proses itu lebih penting daripada hasil*
sent from my Telkomsel Rockin'Berry®

Thursday, October 4, 2012

Meributkan Keyakinan

Baru-baru ini lagi pada rame twitwar mengenai susu. Tokoh A bilang susu penuh dengan mudharat (halah) ya maksudnya, nggak bermanfaat gitu buat tubuh. Sementara dokter B bilangnya, susu tetap ada manfaatnya.

Masing-masing pendapat diperkuat dengan jurnal ilmiah, penelitian, survey dan testimoni segala. Pemirsa pun bingung dibuatnya. Percaya sama siapa?

#KaloKataGue....

Meributkan hal ini seperti ngeributin lebih jago mana Manchester United sama Liverpool. Nah, nah, ABU alias Asal Bukan United pasti bilang Liverpool. Sementara Red Army alias fans-nya MU pasti bilangnya MU the best.

Sayang gue bukan penggila sepak bola, jadi nggak bisa kasih analisa mendalam mengenai kekuatan masing-masing klub sepak bola ini. Suami gue sih, Liverpudlian sejati. Sementara gue dulu jaman SMA ngefans-nya sama Solskjaer si no 26 dari MU :D

Analogi lain, hal ini seperti meributkan iPhone (apa apple?) versus Samsung. Yang satu klaim memiki segalanya, yang satu dituduh mengekor, yang satu klaim lebih baik, yang lain klaim tercepat, dst dsb.
Sampe keluar iklannya yang kaya gini:


*kalo berdasarkan etika periklanan, harusnya yang menjatuhkan kompetitor secara langsung dilarang lho, cmiiw*

Kebetulan kalo mengenai gadget, mamah ini nggak terlalu mendewakan, ya. Semampunya ajah :p

Hal-hal seperti gue katakan diatas, rasanya nggak perlu bikin sampe ribut ya? Berbeda pendapat, nggak usah sama orang-orang di dunia maya, sama kakak sendiri juga sah-sah aja. Malah keren, namanya punya prinsip. Kalo semuanya harus sama, kok seperti nggak punya pendirian. Nggak ada salahnya kok, beda.

Kalau hal seperti itu saja bikin ribut, nggak heran lah anak-anak sekolah pada tawuran. Hubungannya apa? Mungkin salah satunya perbedaan pendapat atau merasa pendapatnya lebih keren dari yang lain.

Atau, nggak heran jualan SARA masih laku. Beda agama, dibilang nggak kompeten sebagai pemimpin. Kalau bagi yang muslim harus memilih sesama muslim, lah yang muslim nggak mikirin non muslim selama ini dipimpin sama muslim? (eh, bingung nggak bacanya? Hihihi)

Memilih pemimpin berdasarkan agama atau suk masing-masing. Lah, buat apa ada Bhinneka Tunggal Ika? Ada Pancasila? Itu kan dibuat untuk memadukan keragaman yang ada di Indonesia. Untuk urusan memilih pemimpin ibadah, ya lihat dari agamanya. Kalau memilih pemimpin negara, ya berdasarkan kompetensi, dong. Memang yang seagama atau sesuku, sudah pasti mendengarkan aspirasi? Sudah pasti nggak korupsi? *telat marah-marah*

Nah, balik lagi. Kalau dari dunia maya aja (yang notabene nggak kenal kali ye) masih bisa bikin berantem, apa kabar di dunia nyata? Kalau masalah susu aje bikin ribut, kapan Indonesia mau jadi negara maju?

Ya nggak sih?

*iya dong :p *

Tuesday, October 2, 2012

WIB, WIT, WITA

Tanggal 30 September kemarin, suami gue ulangtahun. Seperti ultah-ultah kami sebelumnya, ya biasa saja. Saling mengucapkan pas jam 12 malam.

Kalau 2 tahun lalu, pas gue ulang tahun dia di KL lalu mengucapkannya kecepatan, maka tahun ini dia lagi di Papua. Weks, jauh bener. Iya ya, rasaan Papua lebih jauh daripada KL.

Jadwalnya dia berangkat Senin 24 September ( eh, apa 17 Sep? Payah betul ingatan gue). Pesawat jam 9 malam. Pesawatnya transit di Surabaya, lalu transit di Makassar, baru menuju Papua. Beberapa saat setelah take off ke Papua, eh balik lagi ke Makassar karena... mesinnya rusak *sigh* serem amat.

Alhasil nunggu 12 jam sampai mesinnya bener, lalu baru terbang ke Papua. Tiba di Timika, nggak langsung syuting. Karena lokasi syutingnya sendiri letaknya 2 jam dari Timika, kalau naik helikopter. Berhubung cuaca buruk, akhirnya diputuskan lewat jalan darat. Sedap bener perjalanan suami sayah :D

Tapi alhamdulillah sih, lokasi syutingnya kali ini nggak terpencil-terpencil amat. Sinyal kenceng (cuma telkomsel doang) jadi bisa kontak-kontakan terus. Sebelumnya dong, ke pedalaman Papua bener. Boro-boro ada tv, sinyal handphone segala. Mandi aja susah.

Bicara soal kontak-kontakan selama pergi tugas ke luar kota/ negeri, gue sama suami memang nggak terlalu rempong. Contoh pas dia ke Jepang selama sebulan beberapa tahun yang lalu, kebetulan handphone-nya dia belum pake yang canggih-canggihan. Jadi gue baru terima kabar bahwa dia udah sampe sana dan syuting segala macam dimana-dimananya itu sekitar 2-3 hari setelah dia tiba dan ada kesempatan buka laptop untuk konek ke internet.

Terus pas lagi gue ke Nias akhir tahun lalu, komunikasi ya sebatas gue sampe disana, nanyain kabar Langit, gitu2 ajalah. Nggak yang harus setiap hari kabar-kabaran. Pas kepulangan dari Nias delay pun, ya sudah. Nggak ada kecewa atau marah atau gimana. Nikmati aja, toh gue kesana untuk kerja. Demikian pun kalau dia kemana-mana, untuk kerja.

Mungkin juga karena gue tau, dia kan kerjanya fisik, ya, jadi kalo direcokin cerita remeh temeh seperti misalnya, sakit kepala, anak nggak mau makan, dst dsb, yang ada udah capek fisik, masih ditambah dengan mikirin gituan. Ga tega aja, gue-nya.

Balik lagi ke masalah ulang tahun, berhubung Pulau Jawa masuknya WIB, sementara Papua WIT, beda 2 jam dong. Maka gue ngucapin selamat ulang tahun tanggal 29 Sept jam 10 malam WIB. Eh, bukannya terimakasih, malah dibilang, "Lah, baru jam 10 kan disana? Bukannya zona waktu mau disamain sekarang?". Ih, menegetehe :p

Btw, barusan dikirimi foto Tembagapura, katanya seharian ini hujan plus turun butiran salju. Iiiih, aku iri!


Pengen banget kesana, atau ke Morotai kaya kakak gue, atau ke Nias lagi, ke daerah2 yang nggak biasa deh, gitu.

Eh satu lagi deh, tgl 29 kemaren juga pengumuman salah satu festival film dokumenter, jadi dokumenter Setengah Gerobak yang dia bikin sama teman-temannya, alhamdulillah peringkat ketiga. Lumayaaaan :D