Saturday, March 30, 2013

Menangislah.. #2

Pengen. Nangis. Banget.

Sampai kapan, ya, gue bisa dan harus bertahan?


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Thursday, March 28, 2013

Menangislah..

Pernah ngerasain tiba-tiba pengen nangis?

Nangis bahagia,
Nangis mengingat kesulitan orang lain,
Nangis karena rindu sama suatu hal,
Nangis bersyukur atas anugerah,
Nangis karena udah nggak bisa marah,
Nangis penyesalan,
Nangis sampe sesenggukan,
Nangis di mana air mata ngalir begitu aja,
Nangis saat baca berita anak kecil jadi korban kekerasan,
Nangis mikirin Indonesia mau dibawa ke mana #seriusbanget
Nangis lihat foto hewan-hewan yang disakiti oleh manusia,
Nangis hutan-hutan digunduli,
Nangis kehilangan seseorang,
Nangis karena luka di kaki belum sembuh, eh, keinjek orang,
Nangis saat nonton Desperate Housewives episode Mike Delfino ketembak dan mati,
Nangis baca Harry Potter saat pemakaman Dumbledore,
Nangis saat memeluk anak dan menyadari ribuan ibu di luar sana sudah nggak bisa peluk anak mereka lagi,
Nangis karena diperlakukan tidak adil,
Nangis karena teringat kehangatan pelukan ibu,
Nangis mengingat betapa manisnya momen-momen pacaran dulu,
Nangis kebayang wajah lelah bapak banting tulang cari nafkah,
Nangis membayangkan suatu hari ibu dan bapak kita akan pergi selamanya,
Nangis nggak bisa menemani anak sepanjang hari,
Nangis kesakitan saat melahirkan,
Nangis ketakutan nggak bisa provide anak akan kehidupan yang layak,
...
...
...

Terlalu banyak tangisan yang akan terjadi.
Maka, sebelum air mata mengalir, hiasi wajah kita dengan senyum. Konon, kalau di pagi hari kita mengawalinya dengan senyum, maka seharian hari dan mood kita akan bagus.

Mau coba?
Yuk, kita coba besok pagi.
Selamat malam!
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Wednesday, March 27, 2013

Back off!

Gue suka nulis. Dari SD, pelajaran favorit gue adalah mengarang. Kalo udah ngarang, bisa panjaaaang ceritanya *at least untuk ukuran anak SD, ya, haha*.

Gue menikmati saat-saat otak gue 'berbicara' dan jari menuangkannya dalam bentuk tulisan (atau jempol, kalo sekarang-sekarang ini, karena sering lewat BB). Sering banget gue berpikir bahwa otak gue lebih sinkron dengan jari dibanding sama mulut :D

Pas SMA, mata pelajaran jagoan gue adalah Bahasa Indonesia. Teman-teman gue yang kebetulan kebanyakan laki dan otaknya IPA banget, sangat bergantung kalo udah ulangan Bahasa Indonesia. Haha. Padahal dipikir-pikir, apa sulitnya, sih, berbahasa Indonesia?

Gue sempat dikirim ke sebuah, apa, ya, namanya? Workshop menulis selama 3 hari untuk siswa SMA se-Jakarta. Kebetulan, guru Bahasa Indonesia pas gue kelas 2 SMA, percaya sama gue. Tanpa 'mengaudisi' murid lain, beliau minta gue bikin karya tulis, kemudian dikirimkan ke Diknas. Alhamdulillah, kepilih dan bisa wakili sekolah gue, deh, di workshop tersebut. Bener apa nggak, ya, namanya workshop? Lupa, gue.

Sempat juga bersikukuh pengen masuk Kelas Bahasa (yang padahal nggak ada di sekolah gue pas angkatan itu). Kata guru Bahasa Indonesia, kalau peminatnya lebih dari 10, ada kemungkinan dibuka kelasnya. Langsung gue bak SPG ke teman-teman, yang spontan ditolak secara halus oleh mereka :))))

Lalu kuliah, pilihan gue hanya sastra dan komunikasi. Eh, nggak ada yang lolos UMPTN-nya. Dasar otak bebal. LOL.

Cari-cari kampus, akhirnya nemu IISIP karena ada jurusan Jurnalistiknya. Cus, ah. Mendukung banget, kan, sama kecintaan sama dunia tulis menulis.

Salah satu impian gue adalah punya buku sendiri. Dari kuliah udah coba, tapi kayanya gue bukan tipe yang bisa nulis panjang. Karena selalu stuck di tengah-tengah.

Kemudian, beberapa waktu lalu, gue dapet email dari LinkedIn yang menyatakan bahwa gue salah satu dari 1% (apa 5%, lupa, hehe) member LinkedIn yang di-endorse untuk Creative Writing.

Baru gue mikir, ya, mungkin inilah bidang gue. Creative Writing. Kalau dirunut ke belakang sejarah profesi/ bidang kerja: tabloid, PH, TV, situs 21, advertising agency, FDN. Kedengarannya random, ya? Padahal benang merahnya adalah menulis.

Ini tahun ke 11 gue kerja. Gue menulis naskah infotainment, review produk, wawancara public figure, advertorial, naskah talkshow televisi, copy packaging produk, naskah dokumenter, cue card event, copy TVC, hard news, dst dsb.

Jadi, hampir mirip sama pola makan yang mengonsumsi segala, gue menulis segala.

Tentu, hasil karya gue masih jauh untuk dibilang sempurna. But I know, I'm good *muji diri sendiri*.

Bekerja di dunia ini, bikin gue sering memikirkan angle lain dari sebuah tulisan kalo lagi baca. Sering juga jadi mengedit tulisan tersebut dalam hati. Ya, dalam hati aja. Karena nggak semua hal harus sesuai dengan keinginan kita.

Emang kita tau kalo emang penulisnya saking ingin menekankan sebuah kata, maka ditulis dengan huruf kapital semua atau dengan G.A.Y.A.S.E.P.E.R.T.I.I.N.I. Tentu gaya ini ga bisa diterima dalam hard news, tapi kalau untuk creative writing (feature article atau blogging, misalnya), kenapa nggak?

Begitupun saat mengedit (beneran) artikel orang lain. Gue sebisa mungkin tidak me-rewrite.

Pertama, gaya penuturan akan berubah (untuk media seperti kami), menurut gue menjaga nafas penulis asli sangat penting. Cara gue menulis review barang akan beda dengan cara si A/B/C, misalnya. Lain halnya dengan media 'serius' seperti Tempo atau Kompas. Mereka memang wajib menyeragamkan penulisan, karena yang 'keluar' adalah mereka sebagai brand.
Kedua, rewrite hanya berlaku untuk tulisan yang benar-benar parah. Gue pernah, sih, rewrite karena ide tulisannya bagus, tapi penuturannya kurang smooth. Lagian kalo penulis/ reporter/ kontributor tulisannya kudu di-rewrite, mendingan sekolah lagi, dah. Yang dapet mata kuliah Bahasa Indonesia Jurnalistik, lah, minimal. Ketiga, rewrite buang-buang waktu. Udah lah bacanya pegel, kemudian menyusun ulang lalu ditulis seperti apa seharusnya. Kalo nulis sendiri, udah jadi berapa artikel?

Insyaallah bukannya belagu, tapi ketika ada orang yang protes atau seenaknya mengubah tulisan gue, gue ngamuk, sih. Bukannya ga mau kompromi, maybe I'm not smart, but I know what I'm doing. So, back off.


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, March 25, 2013

Music Monday: Running

Bukan, bukan mau cerita tentang olahraga lari atau musik apa yang enak kalau lagi olahraga ini. Bukan juga mau cerita tentang my very 1st run race, yang ikutannya gegara Neng @deasynoviyanti hari Minggu 24 Maret kemaret (ini udah cerita namanya, malih).

Sesuai judul, ceritanya gue mau bikin postingan tentang musik setia hari Senin, ah. Tentu bukan analisa mendalam seperti halnyapara blogger andal, dong, ah.

Gue dan musik kayanya ga bisa dipisahin. Walaupun selera musiknya kadang berhenti di tahun 90-an (eh, nggak kadang, sih, tapi emang berhenti di era segitu, hihihi). Nah, ceritanya di setiap Senin, gue akan share lagu yang jadi song of the week, atau lagu-lagu yang sesuai dengan tema bulan ini *kebiasaan penulis, harus ada tema besar, haha*.

Lagu pertama yang akan gue share adalah Running yang dinyanyikan secara ciamik oleh Gwen Stefany Mari kita simak bersama-sama:



Liriknya:

Run
Running all the time
Running to the future
With you right by my side

Me
I'm the one you chose
Out of all the people
You wanted me the most
I'm so sorry that I've fallen
Help me up lets keep on running
Don't let me fall out of love

[Chorus:]
Running, running
As fast as we can
Do you think we'll make it?
(Do you think we'll make it?)
We're running
Keep holding my hand
It's so we don't get separated

Be
Be the one I need
Be the one I trust most
Don't stop inspiring me
Sometimes it's hard to keep on running
We work so much to keep it going
Don't make me want to give up


Yak, lagunya kalo berdasarkan pemahaman gue, sih, tentang perjalanan cinta, ya.
Dan entah kenapa, gue merasa ini lagu cocok banget sama kehidupan gue (terooos, akuin aja, terooos).


Yang namanya kehidupan percintaan, atau dalam tahap saat ini, pernikahan, pasti ada pasang surutnya. Hal yang wajar, tapi bisa jadi nggak wajar, sih, tergantung seberapa besar surutnya atau bagaimana kita menghadapi ketika momen surut terjadi.


Ceritain bagaimana surutnya pernikahan gue? O, trust me, gue alhamdulillah pernah mengalami saat surut yang sesurut-surutnya. Kenapa alhamdulillah? Ya, setidaknya sampai saat ini kami berhasil melewati masa itu. Ga berani bilang, surutnya udah lewat, karena seperti halnya air laut, pasti ada masa pasang surutnya.

Makanya, bagi gue, lagu ini pas banget. Kadang kalo ada yang merasa 'nyerah' atau surut, gue percaya, pernikahan harus dijalani berdua. Makanya "keep holding my hand, it's so we don't get separated..".

Jadi inget juga sama tweet-nya Indra @noveldy yang bilang bahwa pernikahan bukan lari sprint,  yang jarak pendek, cepet selesai dan harus speed tinggi. Pernikahan lebih mirip sama marathon, lari jarak jauh, yang sebelum dimulai kita harus stretching, atur strategi bagaimana supaya bisa selama lari jarak 42km itu bisa kuat. Ada jalannya, nggak lari terus, ya nggak apa-apa. Asalkan sama-sama berusaha untuk mencapai garis finish :)

Makanya, gue lagi ngerayu Igun banget supaya mau ikut ke Seminar Keys to Happy Marriage tanggal 30 Maret besok yang pembicaranya adalah Indra Noveldy itu. Semoga bisa membuka mata kami berdua selebar-lebarnya. Yang mau ikutan seminar ini, bisa akses detailnya di: http://mommiesdaily.com/keystohappymarriage/

Yuk, ah, supaya ga capek 'running' sendirian (atau merasa sendirian) :)

Thursday, March 21, 2013

Today's Outfit: Lazy Day

Kemarin pas mau berangkat gue udah pake dress biru, terus tiba-tiba inget bahwa Sabtu besok Langit akan lomba nyanyi dan baju yang udah gue siapin warnanya biru. Demi azas ke-matching-an ibu dan anak, gue pun ganti baju.

Karena waktunya mepet udah mau anter Langit sekolah, di depan lemari gue nggak sempat mikir apa-apa. Akhirnya pake jeans aja, terus langsung tarik satu kemeja. Nah, kemeja ini, nih, warnanya agak nyebelin. Ungu, pink, biru, nggak jelas. Pas mau pake kerudung, tadinya udah tarik warna hitam (lagi), eh lihat si kerudung tye dye, entah matchiing apa kagak, langsung aja pake dan ga usah ngaca 2 kali. Karena kalo ngaca 2 kali ujung-ujungnya bakal ragu-ragu dan ribet gonta ganti baju plus perintilan lainnya lagi.

So here I am:


Top: Uniqlo
Jeans: Something from Primark (lupa bok namanya)
Shoes: Shoeka Shoes
Shawl: unbranded

It was a lazy day for me..


Naksir-naksiran

Perkara naksir, gue agak payah, deh. Selalu nggak mainstream. Maksudnya, di kala teman-teman naksir sama seseorang yang ganteng, jago basket, populer, dst, gue malah biasanya naksir sama yang nggak populer, bandel, bertampang oon atau sekalinya populer, maka terkenalnya sebagai bad boy.

Nggak heran, zaman SMA sampe kuliah, kalo ada cowok dengan wajah agak oon, teman-teman gue langsung klaim bahwa gue naksir dia -___-

Terus, ga heran juga, entah kenapa gue selalu terjebak sama para bad boy. Yang anak punk lah, doyan minum (eh, ini sehat, ya?), atau player (ah, kalo player mah sejenis aja, haha). Seinget gue, gue cuma sekali pacaran sama anak baik-baik banget, sampe gue-nya yang kemudian nggak tega pacaran sama dia. Hehe. Payah, ya? *toyor*

Btw, kenapa jadi cerita itu, ya? Padahal bikin ini mau ceritain hal yang kebetulan ada di kepala sembari macet-macet duduk manis di angkot kepanasan. Mana ga bawa kipas, terus sebelah gue mepet bener duduknya. Tapi mendingan, sih, daripada kemarin, sebelah gue mbak-mbak dengan rambut digerai yang colok-colok ke mata ketiup angin. #salahfokusterus

Beberapa tahun yang lalu, gue pernah naksir seorang pria. Alasan naksirnya hanya karena, sekilas dia mirip adik kelas yang pernah gue naksir. O, ya, gue suka random, sih, naksir orang. Naksir si adik kelas ini juga hanya karena inisial namanya sama kaya cowok yang gue taksir zaman SMP. Ga jelas bener, ya? Haha.

Alkisah, sama si cowo yang mirip adik kelas (ternyata setelah ditelaah ga mirip sama sekali, haha) itu nggak terjadi apa-apa. Paling cuma suka liat-liatan (pret), ngobrol pun ga pernah. Gue udah sibuk pacaran sama orang lain. Tiba-tiba suatu hari, beberapa tahun setelah hal taksir-taksiran itu, sahabat gue bilang, "Ta, si X nelp gue nanyain elu masih sama si Y apa enggak". Weits, kebetulan saat itu udah nggak, gue bilang, ya kalo mau dia suruh telpon gue aja (jual murah, LOL). Diokein sama sahabat gue, tapi ternyata dia nggak pernah telpon.

Kecewa kah? Ya enggak lah. Wong cuma naksir begitu doang. Apalagi sekarang si cowo itu juga udah nikah dan punya anak. Kebetulan gue berteman baik sama istrinya juga. Istrinya, sepertinya nggak tau, sih. Dan kayanya sampe sekarang yang tau bahwa si X pernah nanyain gue hanya sahabat gue doang, deh. Biarin lah, biar jadi cerita aja. Haha.

Perihal kerandoman naksir gue juga pernah terjadi saat SMP. Jadi gue sering datang kepagian pas kelas 2. Nah, kalo datang kepagian, gue sering nontonin kakak-kakak kelas yang lagi basket. Lalu ada 1 sosok yang catchy gitu di mata gue.

Kebetulan, teman sekelas gue ada yang kakaknya di sekolah yang sama. Tanya-tanya dong, gue, tentang sosok tersebut. Gue sebutin ciri-cirinya doang, tuh. Besoknya, teman gue bilang, ada 2 anak kelas 3 yang cocok dengan ciri-ciri yang gue sebutkan. "Yang suka lo lihat yang mana?". Pas banget pertanyaan itu dilontarkan, ada rombongan kakak kelas melewati kami, teman gue nunjuk salah satu dari mereka, "Yang itu bukan?".

"Enggg, kayanya itu, benar deh". Langsung teman gue nyamperin kakaknya yang barengan sama rombongan tersebut.

Jeda berapa detik, ada sosok ke dua yang lewat. Lah, yang ini malah lebih mirip sama yang gue lihat tiap pagi, deh! Tapi karena telanjur teman gue ngenalin sama si cowok pertama, jadi lah gue menganggap gue naksirnya sama dia. LOL. Bedon, yak?

Tentang cerita ini, sebenarnya berkelanjutan, sih. Kaya 10 years after that, baru terkuak misteri siapakah yang sebenarnya gue lihat setiap pagi. Haha. Ntar gue ceritain di blogpost terpisah, deh.

Cerita kerandoman naksir gue kayanya masih banyak, deh. Pernah naksir sama seseorang karena temannya dia jadian sama teman gue #aposeh. LOL. Atau naksir karena tindikannya keren. Naksir karena tinggi badannya -___- serba random, haha.

Yak, sekian sesi membuka aib tentang naksir-naksiran. Udah mau sampe, nih, angkotnya :D


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Wednesday, March 20, 2013

Anak Kampung

Ho oh.
Selalu ada jiwa anak kampung dalam diri gue.

Gue lebih merasa kenyang pol kalo makan sayur asem dibandingin makan steak
Gue seneng belanja di Pasar Senen daripada di so-called-high-end-mall
Menurut gue liburan yang asik itu penuh dengan petualangan. Naik kendaraan umum, road trip, mandi di sungai, naik sampan, tidur di stasiun..

Eh, ga tau, ya itu di atas sebenarnya karena jiwa anak kampung atau emang kepribadiannya begitu. Haha.

Seperti cerita di Rumah Masa Kecil, masa kecil gue di lingkungan perkampungan yang kampung banget. Percaya ga kalo di daerah itu dulu masih ada orang tua yang namain anak-anaknya dengan Cabe, Tomat, Pacul, bahkan Tokek. Semua itu nama asli. Bukan nama panggilan atau julukan. Kampung kan?

Pas SD, walaupun di komplek, tapi gue sekolah di SD Negeri. Banyakan anak-anak sekitar SD itu, yang ternyata nggak jauh beda dengan lingkungan gue sebelumnya. Ada teman gue yang ibunya kerja sebagai PRT di sebuah rumah di komplek gue, ada yang tukang sayur, dan banyak lagi. Dan gue berteman dengan mereka semua.

Ke SMP, amazingly, gue 'terlempar' ke sebuah sekolah Negeri yang ga jauh beda dengan lingkungan sebelumnya. Salah satu sahabat gue ada yang rumahnya di pinggir kali Cipinang belakang Penas, yang kalo banjir sampe serumah tingginya. Ada yang jadi penjual koran kalo pulang sekolah, tentu ada juga yang anak orang 'berada', tapi anak Betawi asli, jadi nggak sama dengan ABG sekarang yang mungkin bisa makan siang di PI setiap hari.

Pas SMA, baru, deh, gue mengalami yang namanya lompatan pergaulan. Jauh berbeda dengan lingkungan sebelumnya.

Mungkin karena dari kecil sudah biasa dengan lingkungan yang menengah ke bawah, hal ini bikin gue merasa nyaman-nyaman aja berada dalam lingkungan seperti itu. Gue bisa dengan gampang ngobrol sama sopir angkot, abang-abang penjual gorengan atau mbak-mbak pedagang makanan di terminal.

Mengenai yang terakhir, baru-baru ini gue berteman baik dengan mbak-mbak pedagang ketupat sayur Padang di terminal Cililitan. Setiap gue lewat pasti dia akan menyapa, kalo gue beli, kami sering ngobrol. Mbak ini ternyata punya banyak keinginan untuk hidupnya sendiri. Dan cita-citanya dia, "mau punya usaha sendiri", karena dagangan dia saat ini adalah punya 'majikan'nya. Ya, sebagai orang yang juga biasa-biasa aja, satu hal yang gue bisa bantu cuma rajin-rajin beli dagangannya, toh?

Atau dulu pas masih di PH, gue cukup akrab sama pedagang rokok depan kantor. Namanya Rudi. Rudi punya anak istri. Anaknya 2 saat itu, dia sering cerita betapa bangganya dia sama anak pertamanya, yang selalu bisa masuk ke sekolah favorit, tapi sekaligus deg-degan karena pergaulannya. O, ya, sama istrinya Rudi gue juga cukup dekat. Waktu gue nikah, mereka berdua menyempatkan diri datang ke resepsi gue, lho. Padahal Tari lagi hamil dan udah bulannya melahirkan. Gue terharu, deh, mereka mau menyempatkan diri datang. Sampai sekarang, kalo gue lewat kantor lama, pasti gue sempetin mampir ke warung rokoknya, ngobrol ngalor ngidul atau simply, hanya membunyikan klakson kalo bawa mobil, atau berteriak manggil kalo gue naik ojek :D

Pasti ada alasan kenapa gue sering 'terdampar' di lingkungan itu. Mungkin kalo gue dari kecil berada di lingkungan homogen, gue bakal jadi orang yang kurang empatinya, ya?
Eh, bukan berarti yang tumbuh dan besar di lingkungan homogen ga punya empati, lho. Tapi ini lebih ke diri gue sendiri. Mungkin GUE yang akan menjadi begitu. Seperti saat gue bilang, kalo gue kawin sama orang kaya banget, mungkin gue akan jadi sombong ga ketulungan. Paham kan, ya, maksudnya. Jangan tersungging dulu, ah *colek dagu*

But then again, rasanya kalo pun ga pernah berada di lingkungan heterogen, gue bakal tetap jadi anak kampung, sih. Emang ada yang menandingi sayur asem dan sambal terasi?

*gpp anak kampung yang penting nggak kampungan, yaaaaa :D

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, March 18, 2013

Rumah Masa Kecil

Rumah masa kecil yang pertama gue inget adalah rumah di Pondok Gede waktu gue usia 4-7 tahun. Ini rumah pertama yang dibeli sama bokap, setelah sebelumnya ngontrak.

Rumah-rumah sebelumnya, gue nggak inget sama sekali, samar-samar aja. Rumah Pondok Gede ini kecil, tapi berhalaman besar. Jangan ditanya berapa besarnya, tapi yang pasti, di halaman tersebut kami punya 2 pohon durian, 3 pohon rambutan (yang kalau berbuah, luar biasa limpah ruahnya), plus bokap punya sepetak pohon jagung, pohon singkong, pohon pare, dan lain sebagainya.

Rumah ini bisa dibilang selalu muncul setiap gue bayangin rumah idaman. Mungkin karena begitu banyak hal menyenangkan yang gue inget tentang rumah ini, ya.

Rumahnya sendiri ada di sebuah perkampungan. Di tahun kami pindah (sekitar 85an), daerah itu belum ada listrik! Can you imagine? Selain itu jalan masuk ke dalamnya, boro-boro diaspal! Jadi kalau hujan tiba, bak genangan lumpur. Kalau berangkat sekolah pas musim hujan, gue sama kakak gue harus pake plastik di masing-masing kaki supaya sepatu kami nggak 'belok-belok' amat :D

Dibandingkan keluarga yang lain, rumah kami 'kampung' abis!

Tapi, buat gue, rumah itu menyenangkan sekali! Bantuin bokap nanam rumput di halaman, belajar naik sepeda kemudian nabrak pohon gede yang bawahnya tempat buang beling, nyemplung ke empang, makan bakwan di teras terus bakwannya dicaplok ayam, nginjek paku gede pas lagi main rumah-rumahan di halaman, main di kebon, cerita anak tetangga ketiban buah durian, nonton TVRI rame-rame di rumah karena rumah kami satu-satunya yang pake genset, nonton layar tancep di lapangan dekat rumah, main bentengan, galasin, dsb dst..

Kemudian kami pindah ke Masnaga. Sebuah komplek perumahan yang nggak kalah serunya. Tetap aja beda, ya, karena di komplek ini (walaupun ukuran tanahnya jauh lebih besar daripada rumah gue saat ini) tapi tetap aja ada keterbatasan lahan bermain. Ya gimana enggak, rumah Pondok Gede kami lahan 'lari-larian'nya luar biasa luas!

Rumah Masnaga, rumah gue tumbuh berkembang jadi remaja. Dari usia 7 tahun sampe 17tahun. Setelah itu, kami pindah ke Condet. Nah, kalau rumah Condet, memang dari kecil sudah ada. Di rumah ini gue jadi dewasa, dari usia 17- 27. Lulus SMA sampe kemudian menikah dan punya anak, lalu ke luar dari rumah itu.

Dari ke tiga rumah yang gue tinggali, entah kenapa yang paling bikin gue terkesan adalah rumah Pondok Gede. Waktu acara Jotun di Bandung, Mas Ary Indra, arsitek yang jadi narasumber bilang, "setiap anak harus punya kenangan atau hal yang diingat dari rumahnya".

Nah, seperti yang gue bilang di atas, Rumah Pondok Gede, walaupun paling sebentar ditinggali, tapi ternyata meninggalkan kesan mendalam untuk diri gue. Rumah itu selalu jadi bayangan rumah idaman dalam imajinasi gue.

Sekarang, gue jadi mikir, akankah rumah yang kami tinggali saat ini akan meninggalkan kesan yang mendalam untuk Langit saat ia dewasa nanti? Kira-kira sisi mananya, ya? Kamar mungilnya kah? Balkon di atas ruang TV? Dapur? Atau malah tangga melingkar ala sinetron yang nggak matching untuk berada di rumah kecil kami?

Apapun itu, semoga ia selalu mengingat bahwa 'Home is wherever your heart is'. Rumah adalah di mana pun hatimu berada. Mau rumah kecil, megah, pinggir kali, gang sempit, tapi ketika di sana orang-orang yang kita cintai berada, tempat itulah yang kita sebut rumah.

Ah, jadi pengen nyanyi lagunya God Bless
"Lebih baik di sini, rumah kita sendiri.."

*Tulisan ini untuk mama dan papa yang selalu menyediakan rumah bagi hati dan jiwa kami. I love you both, to the bone :*
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tuesday, March 12, 2013

If I Die Tomorrow..

Kira-kira siapa aja yang akan datang ke rumah duka gue, ya?

Katanya, nih, untuk membuktikan siapa teman yang beneran teman dari seseorang, maka lo harus lihat, apa dia datang ke pemakamannya atau nggak. Kalo kata nyokap gue dulu, yang paling bener dari orang itu adalah mereka yang datang ke rumah duka. Karena nggak pake undangan, nggak pake ajak-ajakan, datang aja.

Nggak heran, konon untuk tau apakah semasa hidup seseorang berbuat baik/ nggak juga bisa dilihat dari suasana rumah duka/ pemakamannya, rame atau nggak.

Pernah berpikir nggak, siapa aja yang kira-kira akan datang ke pemakaman kita?

Gue sering lho, mikirin ini. Kenapa, karena selama ini (kesannya) teman gue banyak, tapi hanya sedikit yang gue rasa akan merelakan waktunya menghampiri rumah duka yang kemungkinan besar akan berada di rumah gue. Secara, ya, rumah gue kecil dan jauh gitu.

Terus kalau pada datang dan melihat gue terbujur kaku, kira-kira apa ya, yang mereka (pelayat) pikirkan?
Bagaimana mereka memandang gue semasa hidup, ya?
Bagaimana mereka memandang orang-orang yang gue tinggalkan? Langit, misalnya...
Bagaimana nasib kerjaan yang belum gue selesaikan?
Bagaimana email-email yang belum kejawab?
Bagaimana barang-barang yang belum puas dipakai?
Gue ga sempat lihat Langit SD, dong..
Ga sempat ajari dia mengenai pubertas. Tar dia taunya dari mana? Tanya ke siapa? Tar kalo salah sumber gimana?
*haduh kalo udah bayanginnya ke Langit, langsung mewek*
Banyak lagi, gimana-gimana lainnya..

Duniawi, banget, ya, pemikirannya..

Coba, ada yang pernah mikirin ini ga? Gimana hasilnya?

*postingan random dibuat oleh orang yang kebosanan 4 hari diisolasi di kamar*


sent from my Telkomsel Rockin'Berry®

Saturday, March 9, 2013

Tumbang Juga..

Februari lalu Langit sakit yang panas sampe 39-40an gitu hampir seminggu, disambung kepergian gue ke Bali selama 3 hari. Nah, selama itu, jam tidur gue kacau banget. Palingan cuma 2-4 jam per harinya. Ga percaya? Coba tanya toko sebelah, hehe. Maksudnya, tanya sama teman-teman trip, Peggy teman sekamar, deh, tau bener pas malam terakhir gue masuk kamar jam 3.30, kami tidur 1 jam setelahnya, terus jam 6.30 gue udah bangun lagi.

Kalau pas Langit sakit, sutra lah, ya, semua ibu pasti ngerasain. Anak sakit= kurang tidur. Setuju?

Nah, kelar segala keriuhan itu, gue tetap beraktivitas seperti biasa. Ga pake break/ cuti dulu. Mungkin salah gue juga ga dengerin alarm tubuh, ya. Tapi emang kebiasaan aja, pusing-pusing dikit, pegel-pegel dikit, ya ga gue rasain lah.

Puncaknya Rabu kemarin, gue masih datang ke event-nya Acer sama Ipong di jam makan siang. Pulang dari event hujan deras banget. Terus di kantor, gue ngerasa mata gue panas, nafas juga. Wah, ga beres, nih. Langsung, deh, gue izin pulang duluan ke Nopai. Di perjalanan yang naik ojek itu, gue menggigil kedinginan.

Sampe rumah, sekitar maghrib, langsung tiduran di depan tv, lengkap pake sweater segala. Terus jam 8an naik ke kamar sama Langit, ga pake ganti baju/ cuci muka. Badannya panas, tapi ga ukur suhu tubuh, udah lemas juga mau ngapa-ngapain. Plek, tidur sampe besoknya jam 6 bangun. Gue langsung aja izin ga masuk hari itu.

Kamis, di rumah aja, ga panas lagi tapi kok ga batuk/ pilek, ya. Ya sudah, gue pikir emang drop aja badannya. Cuma emang kepala gue berat banget, akhirnya standar, minum panadol.

Jumat, ngantor seperti biasa. Ada event STB bareng Ipong lagi. Balik event, lagi-lagi hujan. sebelum balik, sempet ke toilet, wah jerawatan. Pasti karena lagi datang bulan plus efek kemarin malam ga bersihin muka, nih, pikir gue.

Sampai kantor, ke toilet lalu gue ngaca, "lah, bentol merahnya makin banyak". Alamak, ini alergi! Gue inget-inget, siang tadi makan udang. Gue ga alergian, tapi kalo badan lagi drop, emang suka muncul, sih, bentol-bentol merah.

Akhirnya gue balik duluan. Sampe rumah, gue raba tengkuk, udah ada bentol merah melenting. Lemas, deh. Cacar air, ini, mah. Marti bantuin lihat bagian punggung, ternyata benar, udah banyak muncul *sigh*.

Cacar air umumnya terjadi sama anak-anak, tapi orang dewasa juga bisa kena. Apalagi kalo belum pernah sama sekali. Nah, kebetulan, seinget gue, gue emang belum pernah kena. Sudah gitu, kan memang seseorang akan kena cacar air sekali seumur hidup. Kalau sudah pernah kena, apa ga akan kena lagi? Mungkin bisa, tapi virusnya bermutasi jadi herpes.

Malamnya gue tidur misah sama Langit. Awalnya enggak, sih, pikir gue kalo dia ketularan, ya biarlah kenanya sekarang, pas regenerasi kulit dan daya tahan tubuhnya masih bagus. Eh, gue pikir-pikir, gue aja ga tahan kegatelan pengen garuk, apa kabar anak-anak? Kasihan :D

Sekarang kondisinya, muka gue 3/4 dipenuhi lesi *tutup muka*. Sisanya nyebar di badan dan anggota gerak. Yang nyebelin selain gatal adalah, saluran nafas ikut terganggu, yang mana gue dan hidung tersumbat itu musuhan banget. Alhasil semalam tidur ga ajeg, karena bentar-bentar kebangun.

Konon dari mulai muncul sampai mengering sekitar 2 minggu. Let's see..

Dan, sebelum lesi pertama muncul, 2-3 minggu sebelumnya gue udah ketularan. Pertanyaannya adalah: OLEH SIAPA? *sigh*


sent from my Telkomsel Rockin'Berry®

Friday, March 8, 2013

Ai Lop Yu

Kapan lagi kau puji diriku
Seperti saat engkau mengejarku
Kapan lagi kau bilang I love you
I love you yang seperti dulu
Yang dari hatimu

Ceile banget, ya. Neneng gitu lah. Tapi serius, deh, menurut gue lagu itu sedih banget. Bukan berarti kita pengennya di-i love u-i love u-in melulu, ya.

Nah, sebagai pasangan yang jarang sekali mengucapkan kalimat ini, gue kemudian tergoda untuk meniru apa yang diceritakan di blog kakak gue, yang judulnya Mendadak I Love You (susah masukin link-nya, haha, tapi rasanya yang baca blog gue pasti udah baca blog dia juga ye :p).

Akhirnya, semalam sebelum tidur, kebetulan Igun belum balik lagi syuting, gue meng-sms suami:

I love you, Gunari Utama...

- kenapa sms? Karena dulu jaman pacaran juga kami sms-an, belum bbm atau watsap
- kenapa pake nama lengkap? Untuk mengantisipasi dibalas dengan "salah kirim, ya?" LOL.

1 menit, 2 menit, 3 menit...
Nyaris gue bbm marah-marah bilang "gue sms lo ituuuuh, dibaca dan bales boleh looooh", hahaha *istri ga sabaran*. Pas banget mata gue mau merem, tiba sms bunyi, Igun balas, jawabannya adalah:


Entah karena efek lagi bertamu bulanan atau memang karena udah lama aja nggak saling mengucapkan ini, gue terharu. Hahaha. Bisa juga, ya?

Agak bingung kali ya, kenapa suami istri malah jarang ngomong seperti ini?
Nah, ini lah kelemahannya dunia rumah tangga, adik-adik *ngunyah sirih*. Kadang-kadang kami terlalu take it for granted satu sama lain. Padahal perlu disadari, yang namanya perasaan seseorang itu (entah cinta, sayang. benci, dsb) mudah sekali berubah. Dalam pernikahan, harusnya selalu ada cinta. Gue ga tau juga, sih, yang namanya perasaan cinta itu seperti apa. Yang gue tau, gue bisa hidup tanpa suami gue, tapi kayanya gue belum mau untuk itu :)

Kenapa gue bilang belum mau, bukannya nggak mau?
Lidah tidak bertulang, eym. Kami pernah berada dalam kondisi terburuk pernikahan kami. Sejauh ini,  kami (eh, at least gue) gak mau hal itu terulang lagi.
Makanya pas annual meeting kemarin, gue mengajukan yang namanya Seminar Pernikahan. Kenapa? Karena gue ngerasain sendiri, deh. Yang namanya setelah punya anak, fokus kita biasanya bergeser ke anak. Bukan hal yang salah, tapi harus disadari bahwa kita punya anak dari mana asalnya? Bukannya karena pernikahan? Istilahnya, anak adalah buah cinta, kenapa hanya buahnya aja yang diurus, sementara akarnya enggak? *ceila, lagi lempeng*

Setelah di-approve, jadi, deh, seminar Keys to Happy Marriage tanggal 30 Maret besok. Gue pribadi nggak sabar menunggunya. Mudah-mudahan Igun juga mau ikut *ini sih bener-bener crossing my finger, haha*. Yang mau tau detailnya, silakan ke: mommiesdaily.com/keystohappymarriagehttp://mommiesdaily.com/keystohappymarriage/ yaaaa....



Monday, March 4, 2013

Today's Outfit: Brown Boots

Humm, I'm a big fan of boots :D

Tapi ya, herannya, setelah posting tentang pencarian ankle boots, ndilalah seperti dapat 'hidayah' banyak bener godaan untuk beli boots.

Yang terakhir boots-nya Forver 21. Jadi suatu hari meeting lah sama Merry ke Grand Indonesia. Baliknya mampir ke f21, terus lihat boots ini. Wih, gue banget! Haha. Tapi, ya, belum gajian *korek-korek dompet*. Jadi, abaikan!

Beberapa hari kemudian, diundang luncheon oleh sebuah grup retail. Berangkat dan balik janjian bareng sama Adis, yang emang ada undangan di lokasi yang berdekatan. Pas udah selesai, Adis bbm bahwa dia nunggu di f21. Nah, memang pas berangkat, gue bilang bahwa naksir boots di sana. BBM Adis berikutnya, mengejutkan.

"Lit, kayanya boots yang lo taksir lagi diskon, deh!"

Gue membatin, macam tau aja, Adis, mana yang gue taksir.
Pas nyamperin ke f21, langsung Adis nunjukin boots dan bilang, "ini bukan yang lo taksir?". Hwarakadah! Benar sekaliiii....

So, this is my recent favorite shoes:

kaya anak punk, ya :D

Gimana, gimana, kece nggak? *ditoyor rame-rame*

Eh, kan nanyanya kece sepatunya atau nggak? Bukan orangnyaaaa :p