Tuesday, September 25, 2012

Baca!

Kemarin Mommies Daily nge-hits banget baik di twitter atau pun di artikel, gara-gara artikel tentang MSG. Judulnya memang cukup mengundang rasa penasaran, sih. Jelas aja, yang nulis mantan wartawati handal *lirik amel*

Yang bikin kesal adalah, banyak banget yang RT dengan nada sinis. Gue rasa belum baca artikelnya kali, ya. Atau ada juga yang sudah baca, tapi mengomentari dengan sini. Atau malah ada yang RT dan mention tokoh-tokoh kesehatan tertentu.

Ya ga apa-apa juga sih, itu kan hak mereka.

Yang ingin gue tegaskan adalah, kita sebagai orangtua jangan telan mentah-mentah informasi yang didapatkan. Harus kritis, itu pasti. Jangan lupa, sesuaikan juga dengan nilai yang sudah kita tanamkan di keluarga juga kali, ya.

Misalnya gini, masalah reward and punishment. Mungkin sudah banyak penelitian yang mengakui bahwa sistem ini bagus untuk anak. Tapi tunggu dulu, penelitian itu kalau tidak salah untuk penganut paham behaviorisme. Sementara bagi penganut paham humanisme, sistem ini tentu tidak sesuai. Malah ada yang mengatakan, sistem reward and punishment membuat anak seperti hewan peliharaan.

Nah, dalam hal ini, gue merasa cocok dengan paham humanisme. Makanya gue nggak bisa menerapkan sistem reward and punishment sama anak gue.

Atau masalah ASI dan kandungan zat besi. Menurut WHO, cmiiw, setelah 4 bulan, anak boleh atau bisa ditambahkan zat besi.

Tapi lagi-lagi, gue merasa nggak cocok dengan ini. Gue percaya bahwa ASI (saja) bisa memenuhi kandungan gizi anak  hingga usia 6 bulan. Nggak lebih nggak kurang.

Kalaupun ternyata zat besi anak dinyatakan kurang, kalau gue sih, harus melalui berbagai tes yang nyata hasilnya. Aheum, terserah deh, mau ngomong apa. Tapi ini yang gue percaya.

Atau lagi nih, masalah khitan anak perempuan. Ternyata menurut dr. Piprim dalam wawancara gue sama beliau, sudah ada dalam kaidah medis. Tapi menurut gue, khitan perempuan nggak ada manfaatnya, maka gue sih tetap dalam pendirian, bahwa perempuan nggak butuh dikhitan.

Kembali ke masalah artikel MSG diatas.
Walaupun artikel tersebut berdasarkan wawancara dengan narasumber yang terpercaya (dokter bo), tapi gue pribadi memang nggak jor-joran menikmati makanan dengan MSG. Beberapa waktu lalu, gue pernah ngobrol dengan salah satu orang yang bisa gue percaya kadar keilmuannya, menurut dia juga MSG tidak berbahaya. Bahkan lebih bahaya penambahan gulgar dalam makanan. Nah, setelah membaca artikel tersebut, apakah gue jadi mengizinkan Langit makan indomie setiap hari? Menikmati Chitato atau Chiki sebungkus penuh tiap hari?

Het, maap. Ini nggak sesuai dengan nilai yang ada dalam diri gue sendiri.

Langit tentu pernah gue izinkan makan snack-snack demikian rupa. Tentu pernah gue izinkan icip indomie satu atau dua sendok, kalau gue lagi makan. Atau makan aneka ayam-ayam KFC dan sejenisnya, sesekali. Tapi nggak lebih dari itu.

Bukannya mau sok idealis. Tapi ya, begitulah adanya.

Intinya, jangan telan sebuah informasi bulat-bulat. Riset lagi kalau memang tidak yakin. Tanyakan lagi sama sumber terpercaya kalau informasi ini nggak dipercaya. Setelahnya? Ikhtiar (ceile).

Maksudnya, kalau memang tidak sesuai, ya jangan diterapkan, dong. Kan setiap manusia hidup punya nilai yang dipercaya. Jangan jadinya ikut-ikutan apa yang dikatakan si A, lalu ikut. Si B bilang begini, lalu ikut. Kalau nggak punya nilai hidup, apalah artinya? *halah, mulai ngaco*

Artikel tersebut dimuat tak lebih karena ingin berbagi informasi. Ingat, informasinya juga dari yang terpercaya, kok. Bukan opini penulis semata. Tapi percaya atau tidak, ya selanjutnya terserah anda.

Jelas kan, ya, maksud gue? :)

Wednesday, September 19, 2012

Folbek-nya, Kakaaak..

Sering menerima tweet bernada demikian? Atau malah mengirimkan tweet minta di folbek? :D

Awal gue bikin twitter, tahun 2009, karena dikasih tau sama temen gue. Tapi berhubung awal tahun itu belum pake blekberi, jadi gue stay di Plurk (yang sekarang kayanya karma gue udah minus itu). Terus, lama-lama anak-anak FD follow, gue follow balik. Jadi penasaran, apakah ini?

Setelah pake blekberi, gue install twitter for blackberry, yaudah jadi konstan deh, sejak itu bertwit-twit ria. Karena waktu itu cuma follow-follow-an sama anak-anak FD, jadi gue anggapnya twitter sebagai Pos Hansip-nya FD (anak FD pasti ngerti nih, Pos Hansip :p ).

Makin lama, makin banyak terima notifikasi new follower. Dari yang awalnya juga kenal di dunia nyata, sampai yang benar-benar cuma kenal di twitter.

Seinget gue, gue nggak pernah minta 'folbek dong'. Kalau sama yang kenal, gue berasumsi, dia akan follow balik. Tapi kalo nggak follow balik, ya daripada marah-marah, gue unfollow aja. Pamrih? Nggak juga sih, cuma alasan ke-simple-an hidup aja.

Kalau yang nggak kenal, ya selama tweet-nya menarik, akan gue follow terus sampai gue merasa bosan untuk ikuti TL mereka.

Kalau gue sendiri, biasanya akan otomatis follow balik para follower, terutama yang namanya sering gue lihat di TL orang lain. Misalnya sering tweet-tweet-an sama kakak gue, sama anak-anak kantor, dsb. Atau kalau namanya ga pernah gue lihat dimana-mana, tapi dia berinteraksi dengan gue, maka gue follow. Alasannya, sekali lagi, ke-simple-an hidup aja.

Jujur lah, pasti saat follow seseorang kita juga pengen di folbek, no? Jadi, walaupun 'sape gueee', gue mencoba untuk memenuhi rasa 'ingin' itu aja.

Gue nggak menyalahkan juga mereka yang merasa terganggu dengan permintaan 'folbek dong'. Hak mereka lah. Gue juga merasa terganggu kok, tapi ya udah sih, follow aja, kalo nggak suka sama tweet-nya tinggal 'mute 1000 tahun' :p

Twitter emang hanya dunia maya. Tapi juga terkadang menjadi bukti eksistensi seseorang. Siapa yang tau, selebtwit yang punya ribuan follower ternyata pemalu di dunia nyata? Siapa yang tau, selebtwit yang tweet-nya super inspiring di dunia nyata ternyata manusia biasa yang penuh salah dan dosa? (Apa sih, kalimat ini!)

Buat gue sih, gue akan follow siapapun yang gue mau. Baik untuk alasan info, tweet yang inspiring, atau bahkan hanya alasan kesopanan pergaulan :D

Tweet-nya menuh-menuhin TL? Ya kalau TL ga mau penuh, ndak usah follow orang lain. Simple aja sih, pemikiran gue.


sent from my Telkomsel Rockin'Berry®

Tuesday, September 18, 2012

Semakin Panas!

Lusa, 20 September, akan berlangsung Pilkada putaran kedua. Suasana Pilkada tahun ini panas banget dah!

Kalau yang follow twitter atau pernah baca blogpost gue beberapa bulan lalu, pasti tau gue simpatisan yang mana. Iya, beberapa bulan lalu, sebelum Jokowi dicalonkan jadi gubernur, gue pernah bikin blogpost tentang beliau. Beberapa bulan sebelumnya, gue pernah tweet beberapa info tentang Jokowi yang gue dapat dari berbagai media. Tentunya jauh sebelum namanya mudah ditemukan di google seperti saat ini, ya.

Semenjak putaran pertama Jokowi dinyatakan menang, aneka pemberitaan tentang beliau pun udah kaya jamur di musim hujan. Semua media berlomba memberitakan aktivitasnya, buku-buku mengenai Jokowi pun semakin banyak diterbitkan.

Media darling? Pencitraan?

In my defense (yang subyektif), Jokowi merupakan sosok yang ramah dan hangat, semua orang bisa mengaksesnya, udah gitu nilai jualnya tinggi! Gimana nggak jadi media darling? Media, mau bosen atau gimana pun, kalau nilai jual berita seorang narasumber tinggi PLUS mudah mengaksesnya, ya dikejar terus lah, diberitain terus.

Mau berita positif atau negatif, Jokowi terbuka-terbuka aja kan, menghadapi wartawan. Nah, pandangan gue sih, kalaupun berita negatif tentang dia benar, setidaknya dia cukup berani dengan menghadapi wartawan dan kasih statement, bukan maki-maki wartawan (kaya yang satu lagi).

Mengenai pencitraan, ga tau ya, menurut gue kalau memang pencitraan, setidaknya beliau sudah melakukan hal yang positif di Solo. Kalaupun dia pencitraan, harusnya tidak sekonsisten itu ya ramahnya, ya sikap hangatnya, ya rendah hatinya, ya selow-nya, semuanya.

Kalau cuma pencitraan, pasti ada 1-2 kali sekip, kan? Kaya kita aja, emak-emak kalo pencitraan ibu yang baik dan hangat sama anak, pasti ada 1-2 kali sekip dengan menegur anak pake suara bernada tinggi (kalau nggak mau dibilang bentak :p )

Seperti yang pernah gue tulis (lupa di twitter apa dimari yak?), gue pribadi nggak terlalu ambisius Jokowi jadi Gubernur Jakarta. Jakarta keras, men! Terbukti, dia baru 'nyalon' aja udah begitu banyak gempurannya. Ini yang bikin gue sebagai yg mengagumi dia (sejak masih di Solo- bukan pas tenar Pilkada) semacam ga rela kalo ada berita/ komen yang ga oke. Karena kayanya udah rahasia umum, dia begitu dicintai sama warga Solo.

Jadi kalau gue keliatannya ngebelain banget, ya natural aja. Karena memang gue suka sosoknya. Titik. Ga memandang siapa di belakangnya, partai apa yang dukung dia, dst dsb. Dan terharu karena banyak lho yang juga mengagumi dia di Jakarta ini, lalu secara sukarela mendukungnya, menyebarkan berita/ prestasinya tanpa dibayar, dst dsb.

Kalau kata Faisal Basri, "dua-duanya sama, sama-sama didukung partai dan di belakangnya ada cukong-cukong besar", saat di Mata Najwa beberapa hari lalu.

I'm with you, sir.
Tapi menurut gue, dengan kesamaan seperti itu, tetap ada bedanya. Si Kumis udah dikasih kesempatan 5 tahun untuk menjalankan programnya, tapi yang gue rasain, Jakarta nggak menuju ke arah kebaikan.

Jakarta butuh perubahan kan? Harus berubah, kalau nggak, ya silakan menikmati kemacetan, deg-degan banjir kalau hujan, mal, hypermarket, minimarket dimana-mana.. Kalau gue sih, nggak mau. Selama masih ada pilihan untuk berubah, kenapa nggak coba? Kalau nanti ternyata Jokowi gagal? Ya kita Foke-kan.

Gitu aja kok, repot.
Jadi, mau coba yang baru atau mau mengulangi kegagalan yang jelas nyata selama 5 tahun kemarin? Its all up to you!

Kalo pake analogi emak-emak nih, anak gue udah jelas nggak cocok pake sabun tertentu, bikin gatal-gatal. Mau beli baru, tapi harus nunggu habis dulu. Pas ke supermarket, ada pilihan sabun yang baru. Eh tapi si sabun lama diskon, kemasan baru pulak! Pilih mana?

Secara akal sehat sih, gue akan pilih yang baru, daripada yang lama udah jelas tau nggak cocok! Biar kata kemasan baru, formula baru, tapi daripada risiko anak gue gatel-gatel lagi?
Jangan lupa gunakan hak suaranya tanggal 20 September, ya :)

sent from my Telkomsel Rockin'Berry®







Saturday, September 15, 2012

Macet= Stress

Gue bingung sama mereka yang tahan stir mobil sendiri ke Jakarta. Kenapa gue bilang ke Jakarta?

Sebagai warga yang tinggal di kota satelit (halah, Bekasi gituh), setiap pagi konon 2juta manusia (atau lebih?) Berbondong-bondong menuju ke Jakarta untuk mencari nafkah.

Kemaren pagi, kebetulan Langit ada kerjaan (ceile) diiii daerah Taman Anggrek sajah. Sementara rumah gue di Bekasi. Jadi, dari ujung ke ujung dong, ya. Naik tol bayar 7000 perak, puaslah judulnya!

Calling-an jam 7, tapi gue emang bilang nggak akan mungkin bisa sampai jam segitu, bakal agak telat.

Jadi, gue berangkat jam 6 lebih dari rumah (which is a miracle mengingat jam tidur kami). Begitu tiba di Jl. Galaxy Raya, jrengjeng.. Langsung disambut puluhan mobil padat merayap menuju ke tol Jatibening. Begitu lolos masuk tol, beberapa km setelahnya langsung disambut antrean masuk tol dalam kota *sigh*.

Kelar ngantre dan bayar tol, apa langsung jalan? Oh tentu tidak. Kami mengantre di gerbang tol untuk kemudian bermacet-macet ria sampaiiiiii tol Kuningan! Berapa km kah? Hitung sendiri, deh, dari Gerbang Tol Halim- Cawang- Pancoran- Kuningan. Sedap kan, untuk mengawali hari?

Buat gue yang jarang banget bawa mobil dan berangkat jam segitu, kondisi ini bener-bener bikin stres! Efeknya:

- lebih emosi menghadapi Langit. I was wondering, bagaimana orangtua yang setiap hari menjalani ini dan bisa tetap gembira menghadapi ocehan atau ajakan main anak. Jujur, gue kemaren sempat emosi, karena begitu sampai rumah, badan gue capek luar biasa, pikiran juga nggak jernih lagi sehingga gue udah mau tidur tapi Langit nggak kunjung tidur pun gue marah :(
- emosi menghadapi orang lain. Ketika mobil lain 'nyerobot' jalan, kendaraan lain bertingkah nggak sesuai ekspektasi, atau apapun, deh!
- konsentrasi buyar. Pas mau mundurin mobil masuk ke jalan rumah (gue selalu masukin mobil mundur ke jalan rumah, karena rumah gue deket ujung jalan dan lebih mudah masukin ke garasi dengan cara mundur), ada orang jalan di belakang. Karena gue udah lihat dia berhenti melalui jendela kanan, gue langsung konsen ke selokan sebelah kiri, ga cek kanan lagi. Tau-tau mas-mas yang lagi nongkrong teriak, "bu, awas ada orang!". Ya itu, karena udah terlalu capek, jadi gue udah ga konsen aja nyetirnya :( untung ga apa-apa..
- sering bersumpah serapah. Oh yeah, setelah punya anak, mulut gue agak bersih dari sumpah serapah. Dulu mah, ya ampun, amit-amit. Malu kalo inget. Tapi nyetir mobil di Jakarta, bisa bikin lupa sama rasa malu itu, sayangnya :(

Kapan Jakarta bisa keliatan lagi aspalnya, ya?
sent from my Telkomsel Rockin'Berry®

Thursday, September 13, 2012

Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut

Suatu sore, hp gue berbunyi. Nomor tak dikenal.

Pas diangkat, ternyata dari orang yang gue kenal.

Terakhir berhubungan dengan dia, kira-kira lebih dari setahun yang lalu.

Pernah nggak suka sama public figure, terus tiba-tiba jadi kenal di dunia nyata dan akhirnya cukup akrab?

Gue pernah, namanya siapa, nggak usah gue sebutkan, ya.

Kami pertama ketemu pas namanya baru naik daun. Pandangan gue pertama tentang dia, "he's weird". LOL.

Waktu berlalu, kami tukeran kontak. Jadi sering telponan, sms-an (dulu belum ada bb, bo) dan cukup sering dia main ke kantor gue, baik karena kerjaan atau main doang, lunch bareng atau sekedar ngupi-ngupi.

Beberapa orang mengira kami ada hubungan spesial. Tapi nggak tau deh, sebenarnya gimana. Karena emang nggak pernah ngomongin hal- hal seperti itu. Lagian sape gueeee, cobak?!

Kalo dihitung-hitung udah hampir 10 tahun gue kenal sama dia. Kalo lagi intens, bisa sms-an atau bbm-an lancar, tapi kalo lagi 'ngilang', ya hilang aja dia. Gue cuma bisa tau info tentang dia dari berita atau jejaring sosial.

Pas banget gue awal dekat sama suami dulu, dia pas lagi datang ke kehidupan gue. Nggak sekali dua kali, suami (yang dulu statusnya masih PDKT) jemput, tau-tau dia nongol. Kayanya hal ini bikin si mantan pacar (baca: suami- red), agak bete padanya.

Kebetean ini nggak berhenti bahkan setelah kami menikah dan punya anak. Sampai sekarang, kalau tiba-tiba wajah dia nongol di tv atau apapun, pasti langsung ganti saluran tv :D

Tanpa pernah dibahas, dia kini menjadi 'Dia yang namanya tak boleh disebut'.

Lha, kalo ketemu karena kerjaan piye? Ya tetap nggak usah dibahas. Itu lebih baik :D

Nah, ternyata suara yang gue kenal itu adalah dia. Sudah lah, ya, yang lalu biarlah berlalu. Biarkan menjadi unfinished business antara gue dan 'dia yang namanya tak boleh disebut' :D

Wednesday, September 5, 2012

Talking Langit



Yang paling kelihatan dari Langit kecil adalah, ngoceh. Belum 1 tahun, Langit udah bisa manggil ibu, nenen, mamam, bola, bapak, nin, kung, dan banyak lagi. Diatas setahun, omongannya udah bisa dimengerti orang lain. 1,5 tahun udah lancar jaya.

Kalau ditilik dari gue atau bapaknya, kami sama-sama nggak banyak omong, lho. Bersyukur juga sih, punya anak cerewet. Di usia 4 tahun ini, gileeee….ocehannya dahsyat! Mulai dari pertanyaan sampai celetukan yang polos dan bikin ngakak atau terharu.

Gue belajar untuk berkompromi dari ngobrol sama Langit

Langit: “aku mau kelengkeng”
Gue: “makan nasi dulu, ya”
Langit: “nggak ah, makan kelengkeng aja”
Gue: “makan nasi dulu, baru makan kelengkeng..”
Langit: “kelengkeng satu aja, terus makan nasi, ya bu?”
Gue: (mikir sebentar) “oke deh, habis makan kelengkeng satu lalu makan nasi, ya”

Belajar disiplin

Langit: “topi aku mana?”
Gue: “nggak apa-apa deh, nggak pake topi, kan nggak ikut baris. Di kelas kan nggak pake topi”
Langit: “ibu sih bangun telat, besok bangun pagi-pagi biar aku baris”

Menjelaskan hal yang memang seharusnya dijelaskan

Langit: (sambil merapikan rambutnya yang pake bando) “aku rapi ya, bu? Kalau begini, aku ganti nama aja jadi Stacy, gimana?”
Gue: (menjengit) “nggak ah, nama kamu kan Langit”
Langit: “kalau Whitney?”
Gue: (menarik napas) “nama Langit kan bagus. Coba kita lihat langit diatas sana tuh,  bagus kan? Ibu bikin nama kamu dari langit yang di atas itu. Terus ada pelangi, kamu suka pelangi nggak? Warnanya bagus kaaan? Nama kamu kan Langit Kilau Pelangi, bagus kan?”
Langit: “ya udah bobo aja deh”

Tadi pagi pas nganter ke sekolah, gue sempat ngobrol sama guru kelasnya. Terus gurunya bilang, udah beberapa hari ini Langit kalau ditanya namanya sudah jadi jadi Langit lagi setelah sebelumnya Langiti, Tasya dan Stacy -___-. Alhamdulillah dong, berarti omongan gue dia dengar.

Mungkin kaya lebay ya, anak baru 4 tahun mau dipanggil dengan nama yang lain kayanya wajar. Tapi gue berusaha sih, supaya Langit mencintai dirinya apa adanya. Bukan seperti Tasya Kamila si Anak Gembala atau Stacy temannya Barney.

Omongan lainnya apa, ya? Banyak sih, she talks a lot. Aselik. Libur lebaran 2 minggu kemaren gue benar-benar menghabiskan waktu bertigaan sama Langit dan Igun. Kami kemana-mana dan sepanjang jalan itu Langit adaaaaaaa aja yang diocehin atau nyanyi.

Untuk urusan bahasa, gue insyaallah nggak terlalu khawatir. Langit kelihatannya sangat tertarik mempelajari huruf dan menyerap lebih cepat kata-kata dibandingkan urusan matematika *ambil kaca*. Hidup di lingkungan yang full berbahasa Indonesia (dan sekolahnya pun gue pilihyang bahasa Indonesia), ternyata nggak bikin dia gagap sama bahasa Inggris. Sesekali gue sisipkan kata-kata bahasa Inggris (terutama kalau dia bertanya) dan ngulang apa yang dia dapat di sekolah (seminggu sekali sekolahnya ada sesi bahasa Inggris). Walaupun belum bisa baca, tapi untuk menulis dan mengenal huruf, alhamdulillah sudah bisa. 
gambarnya sekarang udah lebih bagus dari gambar gue, haha


Tapi kemampuannya yang menurut patut dibanggakan (secara emaknya bekerja di dunia kreatif yang penuh dengan mengarang) adalah, mengembangkan atau menciptakan cerita. 'Membaca kembali buku pengantar tidurnya, kalau pas bagian dia nggak hapal atau lupa, maka dia bakal improvisasi jalan cerita sesuai dengan gambar atau di lain hari, Langit sering gambar yang kemudian bisa dia ceritakan maksud dari gambar tersebut.

Ga apa-apa lah ya, belum bisa bahasa canggih-canggih, yang penting otak kanannya dimana imajinasi, kreativitas, seni dan emosi berkembang dengan baik. Amin.

Ini biasanya sampe naik2 meja kalo nyanyi :))
Eh, bukan berarti gue mengabaikan otak kiri lho, tapi berdasarkan pengalaman, sekolah dan dunia menitikberatkan pengembangan otak kiri. Lihat aja, tes masuk sekolah pake calistung,  kalo nilai matematika lebih rendah daripada bahasa dianggap bodoh, anak yang masuk kelas bahasa dicap pemalas karena nggak masuk IPA, dst dsb. 

Padahal kalo gue sih, maunya anak gue nantinya bekerja di bidang yang nggak jauh-jauh dari emak bapaknya. Biarin nggak tajir-tajir amat, tapi secara emosional tersalurkan :D

Nah, ngomongin masalah ini, waktu itu pernah nanya, Langit cita-citanya jadi apa? Beberapa bulan lalu, dia jawab jadi masinis, kemudian berubah jadi guru, lalu jadi princess, dan terakhir jadi penyanyi. #okesip