Tuesday, December 22, 2020

50+ Hari Bersama Covid - part 1

Kalo ada yang follow Instagram gue, mungkin ngeh bahwa gue dan Langit beberapa waktu lalu sempat kena Covid19. Untuk kronologisnya secara garis besar udah diceritain sama kakak gue di blognya.



Terus ngapain nulis lagi? Haha.


Karena kemarin sempat ada yang tanya-tanya soal Covid. Walaupun gue selalu menyarankan buat KONSULTASI sama dokter, deh. Hari gini lewat online juga gampil.


Long story short, gue tested positive di awal November. Hari itu buka email jam 8 pagi, langsung mencerna dan muter otak harus gimana. Bahkan nggak sempet sedih, karena gue mikirin Langit harus swab juga. Sebagai distraksi dari kegalauan hati, jam 9.30 gue udah duduk depan laptop buat miting.


Besoknya Langit dan mbak di rumah swab. Langit positif dan si mbak negatif. Sempat watir, kalo Langit negatif dan si mbak positif, ANAK GUE SURUH TIDUR DI MANA?! Secara kakak gue sekeluarga positif, kan. Wkwk. Makanya agak ironis kalo dibilang lega pas tau status kami sama, at least isomannya barengan. Akhirnya si mbak yang diungsikan, sewain kamar kost karena rumah yang ditempati saat ini mungil. 


Di hari pertama itu gue kebanjiran anjuran. Ke dokter. Rontgen. 2nd opinion. Isoman jangan di rumah. Tenang aja. Istirahat. Nggak usah kerja. Jangan kasih tau siapa-siapa. Dst. Dsb. Dkk.


Mumet aku, coy!


Yang gue lakukan kemudian adalah konsultasi sama sahabat gue kebetulan dokter dan penyintas Covid juga. Kalau lo nggak punya sahabat dokter, atuhlah jangan gaptek. Konsul lewat Halodoc. Konsul pertama gratis, kalo mau konsul lagi bayar harganya start dari 25rb. Jangan ngadi-ngadi alecan, deh. Lo bisa baca blog/ buka facebook, mestinya Halodoc juga bisa #kokmarah.


Gue ceritain kondisi fisik yang gue alami apa aja (kronologi kebetulan dia udah tahu, secara dia yang menganjurkan gue untuk swab di H+7 setelah demam/gejala pertama dirasakan). Sama Pak Dokter gue diresepin obat. Well, bukan obat, hanya vitamin dan antibiotik. 


Setelah itu apa?


Ya, isoman. Berduaan sama Langit. Gue tetap kerja, Langit tetap sekolah. Malah kami lebih aktif pas isoman, karena pekerjaan rumah kami kerjain berdua. Ya nyuci, bebenah, nyapu, ngepel, nyuci piring. Kayaknya itu doang. Makan alhamdulillah ada sepupu dan tante yang kirim makanan, ada beberapa teman dan sahabat yang berbaik hati juga kirimin makanan. Untuk urusan makan, gue emang nggak mau ambil pusing. Istilahnya nih, makanan bisa gue delivery, nah kalo bebersih rumah (hal yang sangat diperlukan saat ini), nggak ada yang bisa ngelakuin kan, secara isoman nggak boleh ada orang masuk/ keluar rumah juga.



Setelah 10 hari baru mikirin mau PCR swab ke-2 di mana, kapan, dsb. Kemudian kakak ipar gue dapet berita bahwa rekomendasi WHO dan Kemenkes terbaru, OTG atau pasien dengan gejala ringan PLUS nggak ada keluhan selama isoman, itu nggak perlu PCR swab lagi. Setelah isoman 10+3 hari, mereka bisa dinyatakan sembuh, karena basically virus sudah tidak menular lagi setelah 5 hari. Browsing deh, pake keyword "PASIEN COVID SEMBUH TANPA SWAB" itu aja pasti keluar berita dari situs2 yang reliable seperti contohnya ini atau ini


Oiya mengenai gejala, kalo gue pribadi sempat demam nggak tau suhunya berapa, tapi yang pasti di hari Minggu dinihari itu gue kedinginan nggak bisa tidur. Hari Seninnya gue merasa kayak mau flu banget, tapi gue kira sinus gue kumat. Kebetulan lagi fase perubahan cuaca kan, biasanya sinus gue kambuh di musim kayak gini. Dua hari kemudian gue anosmia alias kehilangan indera penciuman dan perasa. Sementara Langit, cuma sempat diare [pasien Covid biasanya ada diare/ sembelit/ mual] aja sekitar 2-3 hari. Tapi pas isoman, kami sama sekali nggak ada keluhan apa-apa, alhamdulillah.


Kemudian, gue tetap PCR swab di hari ke-15. Hasilnya? Positif. Ehe. Zuzur, emang anjuran nggak usah swab itu bener, dah, karena membaca hasil positif yang ke-2 itu bikin mental down. Soalnya kan mikir, "Gila, gue 2 minggu kemarin udah ngejalanin hal yang dianjurkan lho, im being good, kok masih positif?!". Kesel beut.


Jadi? Kembali ke 0 lagi? Isoman lagi atau gimana? Het, nyambung yak di blog berikutnya.

Wednesday, June 10, 2020

4 Hal yang Dilakukan Selama 80 Hari #dirumahaja

Sudah 80 harian kayaknya di rumah, gue lihat di social media teman-teman banyak yang upload produktivitas mereka saat di rumah. Ada yang masak, baking, jahit, bebenah, dan yang terakhir, bercocok tanam.

Sungguh, gue ada niat untuk melakukan itu semua. Tapi kok, ya, mager? Haha.

Namun, setelah dipikir-pikir, manusia ada panggungnya masing-masing, ya. Gue nggak bisa baking atau masak. Mungkin sebenarnya bisa, karena pernah coba-coba. Tapi terlalu mager. Wkwk. Parah, Lita.

Back ground tanaman segar banget itu bukan gue punya, ya. Ini di rumah kakak gue. Wk.

Balik mikir lagi, kalau mau bikin bahagia diri sendiri, ternyata ada juga yang gue hasilkan saat kerja di rumah ini. Misalnya:

Main Ukulele

Dangkal beut, ya. Tapi hal ini patut gue banggakan, karena gue sebelumnya sama sekali NGGAK BISA main alat musik.

Sebenarnya, beberapa waktu lalu udah pernah beli ukulele. Tapi kayaknya karena beli yang abal-abal, gue stres sendiri karena bunyinya nggak sama dengan para ukulele artist yang gue tonton di media sosial. Kemudian, pas awal WFH, @iraindah menyarankan gue untuk beli ukulele merek MAHALO [tenang, harganya nggak semahal mereknya]. Langsung beli, besoknya belajar gonjrang gonjreng lagu andalan: IM YOURS-nya Jason Mraz. Eh, bisa. Lumayan mirip sama ukulele artist yang sering gue tonton.

Dari situ, belajar 1 lagu lagi, 1 lagi, 1 lagi, terus dan terus. Jadi makin semangat! Walaupun masih terbata-bata mindahin jari dari 1 chord ke chord lain, belum lagi kelemahan daya ingat yang membuat kalo main ukulele sambil nyanyi, masih tetap harus nyontek chord dengan muka tegang. Wkwk.

Akhirnya main ukulele ini jadi kegiatan gue di sela-sela kerja selama WFH yang tanpa batas ini. Bikin deck, bengong dulu, main ukulele. Nunggu approval budget, bengong, main ukulele. Preview materi, nunggu loading, main ukulele. Di antara concall back to back, nunggu nyambung, main ukulele.

Alhamdulillah punya skill baru yaitu: GANGGUIN ORANG RUMAH DENGAN BUNYI UKULELE.

Bikin Podcast

Salah satu hal yang gue rindukan saat WFH adalah ngobrol sama orang lain. Gue suka ngobrol, mungkin tepatnya gue suka mendengarkan orang cerita. Kebetulan gue punya sahabat dokter, dr. Krisbanu, dan lagi awal merebaknya Covid-19, gue sering nanya sama Krisbanu [Iis]. Gue pikir, kenapa informasi dari orang yang tepat ini nggak gue sebarkan? Tapi saat itu entah kenapa lagi malas menyarikan hasil obrolan ke bentuk tulisan. Ish, podcast aja, yekan!

Coba-coba pake Anchor, nggak tahunya gampang! Walaupun sampai sekarang masuk ngulik juga cara ngedit, dapetin audio yang pas tanpa tumpuk-tumpukan, tapi lumayan bisa didengar, lah.

Ngobrol sana sini, akhirnya dapet 9 episode yang semuanya berkaitan dengan Covid-19. Nih langsung gue kasih list-nya deh ya:

-          Ngobrol dengan @krisbanu tentang Covid-19.

-          Lalu sama @biancafebriani25 yang orang retailcerita soal gimana dunia retail terpukul akibat Covid-19.

-          Ada sama sahabat SMA gue @icadsukamto, seorangpharmacist, mengenai sanitizer serta produk-produk kebersihan lainnya. Pas waktu itu kan rame soal penimbunan sanitizer, masker, dan lain-lain.

-          Ngobrol sama sepupu gue, @suradi_bandung, yang udahpuluhan tahun kerja dan bisnis di bidang pariwisata tentang bagaimana hancurnyaindustri ini selama pandemic.

-          Dengerin curhatnya @dresthikill, sahabat gue yang fotografer freelance. Kelar semua kerjaannya dia, secara dia kebanyakan job-nya adalah stage photography.

-          Ini episode  yang paling booming, ngobrol sama @bibidist, seorang teman di dunia mayayang merasakan dikarantina di Wisma Atlet karena positif Corona :’(

-          Kemudian ada ngobrol sama @maureen.hipiteuwfoundernya @singlemomsindonesia, mengenai campaign SMI Berbagi yang sedangmereka jalani. Jadi ya, ibu tunggal itu, tidak pandemic aja udah struggle kehidupannya. Jadi kepala rumah tangga mencari nafkah juga, mengasuh anak-anak juga. Kebayang pas lagi pandemic? Ada yang kena PHK, bisnis nggak jalan sama sekali, dsb. Alhamdulillah campaign SMI Berbagi berujung manis. Berkah yaaa :*

-          Selain ibu tunggal, ternyata kondisi pandemic iniberefek juga pada adik-adik penderita kanker yang berada di bawah naungan@pita_kuning. Episode ini ngobrol sama @ningstgr, operational head-nya Pita Kuning, yang curhat soal ini. Apa hubungannya pandemic dengan anak penderita kanker? Jadi selama pandemic, banyak donasi yang bergeser pada isu Covid-19, akhirnya donasi yang biasanya didapatkan Pita Kuning, jauh berkurang :’(

Ini aja masih kurang lho, harusnya ngobrol sama Iis ada 1 episode lagi sehubungan dengan pengalamannya menjadi salah satu dokter yang positif Corona karena pasien yang tidak jujur di RS :’(

Dengerin podcast gue di Spotify ya! Klik di sini, atau search aja CERITA SAMA LITA

Belajar Natal Chart

Nah, kalo ini sebenernya udah dari beberapa bulan sebelum WFH. Tapi saat itu benar-benar Cuma baca sekilas aja. Pas WFH, jadi lumayan serius bacain Natal Chart dan hal-hal terkait itu, bahkan sampe bikin podcast sama Mbak @mantananta seorang psikolog yang belajar mengenai astrologi juga. Podcast ini jadi penanda dimulainya season 2 Cerita Sama Lita.

Btw, mempelajari Natal Chart itu seru lho. Bukan, bukan perkara ramalan bintang. Duh, nggak sedangkal itu, ternyata! Apa sih, Natal Chart/ Birth Chart itu? Coba dengerin di sini jawabannya, diskusinya, dan lain-lainnya.

Masalah zodiac atau perbintangan, kan sering ada orang ngomong “Masa iya, manusia di muka bumi ini cuma dibagi 12 [berdasarkan zodiac] kepribadian/ nasibnya?”. Nah, coba baca natal/ birth chart ya.  Intinya mah, ini mempelajari posisi benda-benda di angkasa saat seseorang lahir dan nggak cuma berdasarkan tanggal dan bulan aja, tapi juga tahun, waktu lahir [jam tepatnya], dan lokasi lahir. Karena semuanya itu menentukan posisi benda di angkasa.

Nah, ini semua menghasilkan natal chart kayak gini:

 


Jadi, zodiac yang selama ini kita kenal dilihat dari tanggal dan bulan lahir itu namanya sun. Sementara masih ada aspek lain dalam birth chart kita: moon,  venus, ascendant, dst. Kalo udah tahu masing-masing planet kita apa, masih ada lagi 12 ‘house’ yang masing-masing mengatur aspek kehidupan kita kayak gini:

 


Bingung bacanya? Masih belum tau birth/ natal chart lo gimana? Ini ada 2 website yang menurut gue enak dibaca dan cukup komprehensif. Sok cek di sini: cafeastrology atau justastrologythings

Udah tinggal baca doang. Sekali lagi, bukan ramalan, ya.

Ngajarin Langit Ngaji

Jadi, kemarin-kemarin itu waktu gue sama Langit banyakan di weekend. Itu pun kami sibuk dengan jalan-jalan. Wkwkw. Dulu, sempat rutin gue ngajarin Langit ngaji sendiri di rumah. Seiring dengan kesibukan yang makin bertambah, makin berkurang dan bahkan nggak ada waktu sama sekali buat ngajarin ngaji.

Poin terakhir ini mudah-mudahan nggak riya, ya. Gue masukin ke sini, murni karena gue bangga sama diri sendiri, dan terutama sama Langit atas kegigihan dia belajar ngaji.

Belajar apa aja sama gue, gue bisa sabar. Tapi belajar baca quran, itu challenging banget, dan sontak gue bisa galak setengah mati. Dari zaman baca iqra, Langit bisa sampe nangis-nangis kalau belajar sama gue. Pas WFH ini, 3 hari pertama masih pake nangis, selanjutnya sistem belajar berubah jadi bacanya masing-masing 1 ayat bergantian, nambah lagi jadi 2 ayat bergantian, pas udah lancar, baru gue lepas sendiri.

Alhamdulillah sekarang, tiap abis ashar, dengan atau tanpa gue, selesai salat Langit langsung baca quran. Sekali baca 2 halaman aja, nggak banya-banyak, yang penting jadi kebiasaan dulu baru pelan-pelan belajar pemahaman juga.

Anyway, ternyata ya segitu aja produktivitas gue selama WFH udah hampir 3 bulan ini. Kalau olahraga, kagak usah ditulis lah ya, itu kagak WFH memang sudah melakukannya. Yah, tanaman gue nggak bertambah, skill masak nggak ada, ya sudah lah ya. Manusia ada panggungnya masing-masing.

Kata Teh Niki begini..
 

 Anyway, kondisi kita saat ini bukan kompetisi kok. Jadi, SANTAI AJA SHAY!

 


Wednesday, May 27, 2020

Bagaimana Era New Normal di Sekolah?

Bentar lagi masuk bulan Juni, biasanya udah liburan anak sekolah, nih. Tapi secara anak-anak udah belajar di rumah sejak Maret, gimana nasibnya?

Di hari pertama belajar di rumah, install Ruang Guru buat belajar. Eh nggak tahunya setelah itu, tugasnya makin banyak. Wk

Sudah mulai terdengar konsep new normal. Gimana buat sekolahan, ya?

Selama pandemi Covid-19, memang kesehatan anak-anak jarang sekali dibicarakan. Mungkin karena anak dianggap masuk ke dalam kategori tidak rentan terhadap virus ini. Padahal, sama seperti virus lain, tetap bisa menyerang siapa aja. Ya nggak, sih?

Beberapa waktu lalu, Ayahbunda lewat IG-nya ngadain sesi live bareng dr. Aman Pulungan, dokter anak senior kenamaan. Kira-kira isinya silakan cek di sini, ya.

Berangkat dari sini, gue jadi memikirkan kembali secara serius, gimana nasib anak sekolah di era new normal ini. Apalagi, sudah mulai terdengar berita-berita kegiatan akan berangsur normal, termasuk sekolah.

Gue kemarin iseng share di Instagram Stories mengenai hal ini. Awalnya karena mau tahu, gimana persiapan sekolah-sekolah lain (selain sekolah anak gue) dalam mempersiapkan new normal ini.

Hasilnya? Hmm, sayangnya masih banyak yang belum jelas prosedurnya.

Ada yang masih menunggu pengumuman pemerintah.

Ada yang sudah menetapkan sisa tahun ajaran akan diselesaikan di rumah, tahun ajaran baru (sekitar Juli, biasanya) akan menyesuaikan kondisi.

Ada yang sudah menetapkan pelajaran tertentu dilakukan secara mandiri, lalu sisanya secara online.

Di antara sekian banyak yang respons, baru ada 1 sekolah yang sudah menetapkan setidaknya masuk sekolah lagi 3 bulan setelah PSBB diakhiri. Artinya mungkin bulan Agustus atau September.

Gue paham, sih, belajar di rumah dari sisi kesehatan itu yang paling aman buat anak. Tapi jeritan hati ibu (atau orangtua) yang bekerja (baik masih kerja di rumah, apalagi buat yang segera balik kerja di kantor), konsep belajar di rumah pasti agak menantang.

Anyway, itu pembahasan yang berbeda. Gue sendiri, walaupun sudah biasa kerja di rumah, tapi mantengin anak belajar di rumah itu challenging, bok! Biar kata anak gue udah gede, ya. Udah bisa belajar mandiri. Tapi pengalaman jumpalitan kemarin saat anak ada tugas dalam bentuk video dan dikumpulin dalam jangka waktu tertentu sementara virtual meeting sudah di depan mata itu benar-benar menguras emosi. Akhirnya jadi mudah marah. Huhu.

Balik lagi ke new normal di sekolah. Prosedur ideal menurut gue (dan beberapa masukan di Instagram Stories) antara lain:
  • Pengecekan kesehatan sebelum masuk sekolah diperketat. Mulai dari ukur suhu tubuh, anak yang flu atau kondisi nggak fit nggak boleh masuk sekolah sama sekali, dan ini termasuk guru serta karyawan sekolah.
  • Pengaturan physical distancing di sekolah. Jarak antara anak-anak saat di kelas, bermain, antre, baris, saat makan, di kantin, olahraga, serta kegiatan-kegiatan lain.
  • Pendukung kesehatan dan kebersihan di sekolah. Misalnya berapa banyak tempat cuci tangan, hand sanitizer, berapa kali seminggu sekolah dibersihkan/ semprot disinfektan, dsb.
  • Mengurangi kegiatan di dalam ruang terus menerus supaya anak lebih terekspos sinar matahari. Lagipula perputaran udara dalam ruang (apalagi yang ber-AC tanpa purifier) nggak terlalu bagus, ga sih?
  • Mengurangi budaya salim ke guru sekolah. Memang, salim ini budaya kita yang menandakan hormat dan kesopanan. Tapi, ya, kalau dipikir-pikir, tanpa adanya corona pun, salim ini bisa menyebarkan virus, lho. Lah, kita kan selama ini diminta rajin-rajin cuci tangan, kalau salim masih diteruskan ya muter terus itu virusnya.
  • Jadwal sekolah bergantian untuk mengurangi jumlah manusia dalam satu waktu. Teman gue di Singapura, kemarin cerita bahwa sekolah anaknya akan menerapkan sekolah bergantian. Misalnya anak kelas ganjil 1, 3, 5, akan masuk sekolah di tanggal ganjil, dan sebaliknya. Menurut gue, ini bisa cukup efektif dan mudah diterapkan.
  • Buat sekolah yang ada kantin, mungkin sebaiknya kantin ditutup dulu. Atau kalo kayak sekolah Langit yang nggak ada kantin tapi makanan dari sekolah, sebaiknya memang anak-anak bawa bekal masing-masing untuk mengurangi risiko aja. Memang, virusnya mati saat proses masak. Tapi kita nggak tahu di alat makannya gimana? Better safe than sorry.
  • Mempersiapkan imunitas anak dengan makan yang benar, istirahat cukup, dsb.

Kalau prosedur ini diterapkan, mungkin cukup bikin gue lumayan nggak terlalu khawatir kalau anak balik aktivitas ke sekolah lagi. Ada juga video yang dirilis World Economic Forum beberapa waktu lalu, ngambil dari sekolah-sekolah di beberapa negara ini, menurut gue cukup bikin lega. Cek deh:




Tapi sayangnya, kan..


Kalau sekolah buibu gimana? Atau ada hal lain yang mau ditambahkan? Silakan lho!


Monday, April 13, 2020

Yogyakarta with Langit Day 1: Nonton Wayang Kulit!

Memang, melakukan sesuatu kalau cuma direncanakan nggak bakal kejadian, ya. Sama halnya dengan blogpost tentang perjalanan ke Yogyakarta bulan Januari kemarin. Udah nangkrin di draft sejak balik dari Yogyakarta. Terus dianggurin aja gitu. Wkwkwkw.

Bodo amat ya, gue ceritain aja jalan-jalan kami kemarin yang memang penuh makna banget!

Setelah tertunda sekian lama, akhirnya tercapai juga cita-cita Langit ke Yogya. Iya, setelah perjalanan kami ke Bali tahun 2018 lalu, sebenarnya Yogya adalah kota yang masuk dalam wishlist. Kenapa Yogya? Langit pengin lihat Borobudur. Sesederhana itu.

Awalnya, mau ke Yogya pas libur sekolah. Tapi berhubung bersamaan dengan libur natal dan tahun baru, kebayang penuhnya minta ampun. Selain itu, jujur aja, tiket pesawat dan hotel melonjak tinggi. Akhirnya gue putuskan untuk cuti dan Langit izin sekolah. Mumpung baru masuk sekolah, kan, jadi belum padat banget belajarnya.

Blogpost ini gue bikin itinerary per hari, ya. Supaya lebih mudah dan ingatan gue yang jangka pendek ini bisa dituangkan dengan tepat.

Hotel Adhisthana yang nyaman dan menyenangkan banget! Nulis review terpisah deh, ntar.

Pesawat kami tanggal 8 Januari pagi. Sampai di Yogya, jam 9 lebih. Beruntung, hotel tempat kami menginap, Adhisthana, mengakomodir permintaan untuk early check in.

Setelah istirahat sebentar dan salat zuhur, kami baru deh cus keliling! Hari pertama memang kami jadwalkan yang dekat-dekat dulu. Kebetulan menginap di area Prawirotaman, jadi dekat ke mana-mana.

Tujuan pertama, makan siang!

Kami makan di Warung Bu Ageng, yang jaraknya nggak sampai 1km. Awalnya mau jalan kaki, eh di jalan ketemu Abang Becak nawarin anter. Ya sudahlah. Pelajaran pertama, masalah rute dan biaya harus dibicarakan di depan, jangan sampai 'diketok'  harga belakangan. Hehe.

Warung Bu Ageng menyediakan makanan khas Indonesia. Jagoannya adalah nasi campur. Ada nasi campur ayam, daging, sampai paru. Gue makan nasi campur paru dan sayur lodeh karena katanya andalan di sana, Langit pesan ayam bakar. Seperti halnya makanan di Jawa, cita rasanya maniiiis. Langit yang nggak doyan manis, jadi kurang semangat makannya.



Buat ukuran Yogya yang terkenal makanannya murah, Bu Ageng memang cukup pricey. Tapi buat orang Jakarta, seporsi makan dengan harga 30 ribuan, udah murah, kan?



Dari Bu Ageng, sebenarnya kami mau ke Kraton. Tapi jamnya sudah mepet, akhirnya ke Museum Kereta. Museumnya kecil, tapi cukup bikin terpesona dengan koleksi kereta yang ada. Apalagi keretanya masih banyak yang digunakan walaupun usianya udah ratusan tahun.




Harga tiket masuk museum ini, berdua hanya 11ribu rupiah saja, tapi karena kami kalau ke museum senang menggunakan jasa guide, maka ada guide yang menceritakan sejarah masing- masing kereta. Guide di museum ini seorang Abdi Dalem. Gajinya per bulan hanya 5ribu rupiah. Kebayang nggak sih, buat ongkos Gojek sekali jalan aja nggak nutup.

Kalimat yang gue ingat dari bapak ini, "Buat Abdi Dalem, kerja itu nggak cari uang, tapi cari berkah". Wow, kena sih, di gue. Kerja memang tujuannya harus benar dulu, ya, kan jadi berkah. Kalau sudah berkah, nilai seberapa pun akan jadi cukup. Buktinya si bapak punya 3 anak, semuanya lulus sampai kuliah. Canggih.

Dari Museum Kereta, kami ke Museum Sonobudoyo yang letaknya tinggal jalan kaki aja. Museum ini megah dan bagus banget, sih. Harga tiketnya dewasa 3 ribu, anak-anak 2,5k. Ajegile, kan?


Isinya banyak sejarah Indonesia mulai dari peradaban, sosial, budaya, dan seterusnya. Mirip sama Museum Gajah di Jakarta.



Hal yang unik dari Sonobudoyo, ada bioskop gratis buat semua orang. Mini bioskop, sih, dengan kapasitas sekitar 20 orang. Tapi sangat rapi, bersih, dan nyaman. Film yang diputar adalah karya filmmaker lokal jadi tentu saja berbahasa Jawa. Gue dan Langit cukup menikmati, kok.



Selesai nonton, kami balik dulu ke hotel buat istirahat dan mandi. Secara berangkat dari Jakarta subuh, kan.

Sekitar 18.30 kami berangkat lagi, ke… Museum Sonobudoyo! Lah, balik lagi?

Iya, mau nonton Wayang Kulit yang memang ada setiap malam di museum ini. Tiketnya 20k saja per orang. Dilaksanakan di gedung serbaguna Sonobudoyo. Kapasitasnya besar, tapi pengunjung malam itu paling hanya 20 orang. Dan wisatawan internasional semua. Kecuali kami berdua. Hehe.


Malam itu lakonnya Kematian Rahwana. Bahasa yang digunakan, tentu saja Bahasa Jawa. Paham, Lit? Ya enggak, dong. Tapi karena udah tahu jalan cerita, jadi cukup menikmati dan jadi bahan diskusi ini siapa, itu siapa, dsb.



O iya, wayang kulit kan biasanya semalam suntuk, ya. Nah, kalau di sini hanya 2 jam dari jam 20.00- 22.00, nggak dimainkan semua detail adegannya. Konon karena kebutuhannya memang untuk show ke pengunjung museum yang mungkin hanya sekadar ingin dapat pengalaman baru dengan menonton wayang kulit.

Sebelum nonton wayang, kami makan dulu di resto persis sebelah museum namanya Bebakaran. Menunya ayam, ikan, dkk bakar, goreng, dsb. Standar, sih. Cuma cita rasa sesuai dengan lidah Langit yaitu pedas, jadi dia semangat makan deh. Harga? Wah, ini muraaaah. Per porsi ayam bakar/ lele bakar 16k saja udah sama nasi. Juara dah!


Sekitar jam 10-an, kami pulang deh, ke hotel. Alhamdulillah day 1-nya selesai dengan bahagia, tingal tidur sambil tersenyum bahagia..







Thursday, April 9, 2020

Halo 2020, 3 Bulan Kemudian

Kata orang, time flies when you're having fun. Nah, kalo kita sudah mengalami begitu banyak kejadian tapi waktu baru berjalan sebentar itu apa artinya kita nggak having fun?


Buat gue pribadi, tahun 2020 ini, menakjubkan. Menakjubkan dari sisi, ketika melihat ke belakang, "LAH KOK BARU 3 BULAN NIH 2020?!"

Januari 
Wajah kami saat belum mandi dari 31 Desember sampai 2 Januari. LOL.
2020 diawali dengan banjir. Banjir paling gedeeeee setelah sekian lama nggak banjir. Gue tinggal di rumah yang sekarang ini udah hampir 4 tahun dan nggak pernah mengalami banjir. Secara rumah gue pas di tanjakan. Tapi di tanggal 1 Januari pagi, dikagetkan dengan kedatangan saudara yang tinggal di komplek sebelah ngungsi karena rumahnya kebanjiran. Pas gue tengok depan pagar, wow, banjirnya udah sampe 2 rumah sebelum rumah gue! 

Rumah gue persis di depan mobil silver sebelah kiri foto
Setelah banjir, di bulan Januari gue sempat jalan-jalan sama Langit ke Yogya. Menghabiskan waktu sekitar 5 hari di sana.

Akhirnya cita-cita Langit lihat Borobudur secara langsung TERCAPAI!

Tuh ya, Januari gue pribadi aja udah ada 2 hal besar yang memorable.

Februari

Ulang tahun. Ahelah, shallow banget ya? Walaupun gue nggak yang merayakan ultah gimana-gimana, tapi tanggal ultah tuh gue jadikan salah satu momen pengingat aja dalam hidup.

Langit Si Tiap Tahun Beliin Kue Buat Ibu Pake Duitnya Sendiri :')
Makanya gue inget banget, setelah gue ultah ada 1 lagi banjir gede yang mirip seperti tahun baru kemarin. Luar biasa bukan?

Kelihatannya cetek ya? Jalanan di situ tanjakan, depan rumah yang cat hijau itu sepaha orang dewasa
Jadi moderator di event Single Moms Indonesia dan Klikum. Tentang Single Moms Indonesia, gue pernah nulis obrolan gue dan Maureen, founder-nya, di sini. 


Sementara Klikum adalah platform/ wadah berbagi masalah hukum dengan gaya casual yang digagas oleh Mido dan kawan-kawan pengacaranya. Follow dong, sis, @klikum.

Ini sebagian bapak-bapak pengacara di balik Klikum
Di bulan ini juga pembicaraan mengenai Corona mulai rame diobrolin di mana-mana. Di beberapa negara tetangga terdekat Indonesia, Singapura salah satunya, udah mulai ditemukan pasien yang positif.


Tentunya hal ini bikin gue deg-degan karena..

Maret

.. di bulan ini harusnya gue nonton Greenday di Singapura. Band yang terakhir (dan pertama kali) ke Indonesia di tahun 1993, dan tentu saja saya tidak nonton. Bukan karena nggak boleh karena masih piyik, tapi juga kaga ada duitnya. Wkwkwk.

Setelah nunggu 27 tahun, harusnya nonton dong ya. Tiket konser udah beres, hotel aman, pesawat juga. Seminggu sebelum tanggalnya, konser dibatalkan. Walaupun nggak dibatalkan juga keliatannya gue nggak berangkat, sih. Pas banget di Singapura lagi rame-ramenya Corona. Kayaknya egois banget kali gue tetap berangkat. Andai gue kuat-kuat aja, masi ada kemungkinan gue jadi carrier kan? Naudzubillahimin dzalik.

Pengumuman pembatalan yang baru keluar 28 Feb, H-9 T__T
Ndilalah, awal Maret pemerintah Indonesia mengumumkan kasus positif Corona. Jumlahnya terus bertambah, sampai hari ini di angka ribuan (dan disinyalir, angka sesungguhnya ada berlipat-lipat. Wallahualam).

Pertengahan Maret, tepatnya 16 Maret 2020, jadi hari terakhir gue menikmati perjalanan Bekasi- Sency. Hari itu kami memutuskan bahwa ranah sosmed bisa dilakukan secara remote alias kerja di rumah, kecuali ada beberapa anggota tim yang memang bertugas merekam siaran TV harus terus bertugas. 

Situasi Senayan City di 16 Maret hari terakhir gue ke kantor. SEPI BANGET :'(
Sampai hari ini, 9 April 2020, artinya udah 23 hari gue di rumah. Dan di rumah ini, gue menyikapi dengan serius. Bener-bener di rumah aja, not even keluar pagar. LOL.

Pemandangan harianku selama 3 minggu ini
Walau akhirnya perdana keluar pagar seminggu yang lalu karena ada penyemprotan disinfektan dan 2 hari belakangan ini muter-muter naik mobil (nggak turun sama sekali) sama Langit.

Kantor gue terakhir diumumkan, bekerja di rumah sampai tanggal 19 April. Dengan perkembangan yang ada saat ini, entah akan gimana. Tapi yang jelas, kerjaan sih nggak berubah. Masih gas teruuuus!

April

Bulan ini baru jalan 9 hari. Jumat 3 April kemarin tiba-tiba dikabari pihak sekolah Langit kalau hari Senin, 6 April, ujian akhir sekolah. WEW.

Masih bersyukur, ujian sekolah Langit hanya praktik aja, nggak ada ujian tertulis. Jadi misal IPA membuat maket dan rangkaian listrik, Bahasa Indonesia bikin pidato lalu dipresentasikan, dsb. 

Yah begitulah kami di rumah :")
Sejak bulan Februari, gue emang udah niat: pas Langit ujian akhir, mau cuti biar fokus nemenin dia belajar. Kebetulan cuti bawaan dari 2019  gue yang harus habis bulan Juni juga masih banyak. Eh, beneran dia ujian bisa ditemenin. Walaupun kondisinya tidak ideal, tapi maksudnya sama. Tuhan punya rencana.

Bulan ini juga Langit ulang taun tanggal 25 nanti. 12 tahun. Udah besar, anak gadis. Oiya, tanggal itu juga Ramadan dimulai.

Memang kondisi saat ini nggak mudah buat kita semua. Udah banyak dengar cerita sedih ,mulai dari pengurangan karyawan, bisnis merugi bahkan minus, belum lagi mereka yang mencari penghasilan di 'jalan', dsb. Tapi gue cuma mau bilang supaya..

mau gimana lagi :"
Semoga bulan Mei dan bulan-bulan berikutnya, hanya ada kabar baik. Di mana kita bisa bilang, "Wah nggak kerasa ya, tau-tau udah mau tahun baru", yang mana artinya, kita bersenang-senang sehingga waktu cepat sekali berlalu. Semoga. Aamiin.