Thursday, May 24, 2018

Tersesat Di Pengajian


Ini cerita udah lamaaaaaaa banget, tapi percaya nggak kalo gue baru berani bercerita secara terbuka beberapa tahun belakangan ini aja? 

Takut.
Itu alasannya. 
Kok takut? 

Read the rest of the story, ya. Ini agak berlompatan, tapi you will know how it relates.


Waktu SD, gue madrasah sore dekat rumah. Guru ngajinya sangat menyenangkan. Berwajah teduh, berkerudung panjang, sederhana, santun, tapi tetap asik. Dia nggak pernah nyuruh kami berkerudung, atau apapun. Beliau mengajak kami menjalankannya bersama. Sayangnya, bersamaan dengan gue lulus SD, bu guru kesayangan gue itu menikah lalu pindah tempat tinggal. 

Zaman SMP, itu waktu era majalah Annida naik daun. Ada yang tahu, Annida? 

Gue, yang memang pada dasarnya doyan baca, nggak ketinggalan ikut baca majalah muslimah muda itu. Cerpennya bagus-bagus, dan inspiring.

Gue pun teringat masa-masa madrasah. Masa di mana pernah tergugah, dan kenal sama Islam yang indah. 

Kelas 2 SMP, seorang teman ngajak gue ikut pengajian. Karena rame-rame sama teman sekelas, jadi gue mengiyakan. Nggak ada ruginya, kan? 

Sesi demi sesi kajian berlalu. Guru ngajinya laki-laki. Menurut gue, guru ngajinya seru. Bisa diajak bercanda, ngobrolnya juga nyambung. Tapi, kenapa pengajian harus selalu di rumah teman yang ibu bapaknya kerja, sehingga rumah teman itu isinya hanya kami? 

Ah curiga aja, lo, Lit

Sampailah kami pada materi di mana diceritakan bahwa semua manusia harus hijrah. Seperti layaknya Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dari yang buruk ke yang baik. 

Pak Guru cerita, kalau hijrah itu harus dilakukan secara nyata, bukan sekadar niat. Namanya bocah, yang kepikir sama gue saat itu, "Kalo hijrahnya ke kota lain dan gue jadi pisah sama keluarga, ya nggak mau kali!"

Sebenernya udah mulai curiga, sih.Tapi satu sisi hati bilang, "Ah, curiga aja, Lit".

Dengan 2 orang teman, kami bertiga sepakat untuk hijrah. Sekitar 4 orang teman gue udah duluan hijrah. Tapi mereka nggak pernah cerita apa-apa. 

Di hari yang ditentukan, gue bolos sekolah. Kami dibawa berputar-putar [belakangan baru tahu, ada juga yang dibawa sambil ditutup matanya] ke satu daerah di Bekasi. Dulu SMP gue di Jaktim, jadi ke Bekasi jauh rasanya. 

Di sana kami ketemu dengan atasannya pak guru. Ditanya-tanya, apa ada keluarga yang polisi? ABRI? TNI? PNS? Lah, ada semua. Haha. Dia bercerita panjang lebar tentang pengajian ini. Singkat kata, singkat cerita, kami hijrah. Membaca syahadat, sampai berganti nama. Atasan pak guru titip pesan, kalau sayang keluarga, ajak mereka bergabung dan hijrah. Atau mereka akan jadi kafir selamanya karena nggak hijrah. Karena mereka kafir, maka kita berhak bohong sama mereka, mencuri dari mereka, pokoknya hal-hal buruk lah.

Pulang dari sana, gue kaya yang, err...

via GIPHY

Singkat cerita lagi, gue naik kelas 3 sekelas bertiga sama teman yang barengan hijrahnya. Mungkin ini campur tangan Yang Maha Kuasa. Kami bertiga mulai asik main sendiri jarang gabung sama teman-teman dari kelas 2 yang bareng di pengajian. Kami bertiga secara nggak sengaja menjauh. Jauh, jauh, jauh, sampai akhirnya berhenti sama sekali dari pengajian itu. 

Sebenernya, sebelum kami menjauh, sudah ada beberapa hal yang bikin gue ganjel:
  • Pengajian nggak dibedain mahram.
  • Menurut pak guru, ibadah kita masih sia-sia karena syariat Islam belum tegak. Jadi sah-sah aja nggak salat, nggak puasa, dkk. Lah, secara sini dari kecil udah dibiasain ibadah, ya, nggak terima aja.  
  • Suatu hari ada teman kabur dari rumah karena membela pengajian [kalo ga salah dia dicurigain sama ortunya] malah diterima dengan tangan terbuka di kontrakan pak guru yang kebetulan single, instead of dibalikin ke ortunya. Laaah, kan bisa jadi fitnah? 
  • Duit. Masing-masing dari anggota pengajian harus menyetor sejumlah uang tiap bulan yang besarnya sudah ditentukan. Udahlah masih anak SMP, sobat #simisqin pulak. Duit dari mana cobak? 
Setelah menjauh, apa udah berhenti sampai situ? Enggak gaes. Sampe SMA gue masih ada beberapa kali disamperin sama pak guru. Ditungguin depan sekolah, kadang diikutin sampe tempat nunggu angkot. 

Seram? Iya. Mungkin itu sebabnya gue nggak pernah berani cerita sama siapapun, apalagi menulis di media sosial.  

Tapi isu terorisme yang semakin merajalela belakangan ini, bahkan sampai ke anak-anak bikin gue ngeri. Cerita gue ini sebagai cerminan buat kita, para orangtua, supaya nggak take it for granted sama anak dan sekolah. What you can do?
  • Rajin ngecek obrolan di sekolah, apa sih yang lagi hits? Apa yang diobrolin antara murid dan guru? 
  • Apa visi misi sekolah? Cek lagu-lagu atau film yang dipakai sebagai referensi pelajaran. Ada seorang teman yang ngeluarin anaknya dari TK (!!) gara-gara lagu sekolahnya ada kalimat yang mencela/ menghujat kafir. Nggak pantes diucapkan sama anak TK lah! Ada juga teman yang mindahin sekolah anaknya karena di salah satu pelajaran, gurunya memutar film perang yang berkesan membakar semangat pemuda Islam agar berjuang [baca: filmnya tentang pembantaian muslim oleh kaum lain-red] 
  • Cek media sosial para pengajar sekolah. We just never know.. 
  • Ngobrol sama para pengajar sekolah, untuk cek-cek ombak aja kaya apa sih opini mereka terhadap suatu hal
Pengalaman gue pengajian itu memang bukan dari guru sekolah. Tapi, dari teman sekolah. Cuma sekarang ini, kaderisasi mereka sudah mulai masuk ke badan sekolah. Sebagai ortu, yang bisa kita lakukan hanya waspada. Terus gue mikir lagi, kalo saat itu bukan terkait isu agama tapi ke isu penculikan/ human trafficking, gimana? Deuh. Lita, bodoh kok dipelihara!

Anyway, pengalaman tersesat itu sejujurnya bikin gue parno sama yang namanya pengajian. Saat ini, gue kaya bingung mana yang harus diikuti, mana yang enggak. Ajakan ke berbagai kajian pun bikin gue alergi. Serius.

Karena pernah, beberapa tahun silam barengan sama beberapa ibu-ibu gue pengajian bareng. Sama, gurunya menyenangkan, asik diajak tukar pikiran, dan kalau ada pertanyaan remeh temeh misalnya, ngucapin hari raya ke agama lain, perayaan ulangtahun, atau hal-hal yang sering diributin di media sosial, mbak guru selalu bisa menjawab dan menekankan, “Kenapa sih mikirin begituan aja? Apa benar ibadah wajib kita udah diterima? Salat kita udah bener belum?” atau sebangsa itu. Buat gue, jawaban dia oke.

Lama kelamaan, kami jadi mulai curiga saat mbak guru mulai ngomongin masalah hijrah dan bai’at. Whew! Secara udah pernah kecebur, gue langsung parno. Cabut!
 
Mungkin gue salah, tapi pengalaman waktu SMP itu benar-benar bikin gue parno sama yang namanya pengajian. Gue tahu, nggak semuanya bakal berakhir sama dengan 2 pengalaman gue di atas, tapi namapun parno, gimana?

Setelah berani ngobrolin tentang ini, gue juga baru tahu ternyata, banyak teman senasib yang pernah tersesat di pengajian. Ada yang udah bertahun-tahun ikutan tapi sekarang udah sadar, ada yang baru diajakin [zaman kuliah juga pernah nih gue diajakin pengajian sama cewek ketemu di Metromini!], atau pacarnya yang ikut pengajian begini.

So yeah, ini bukan hal yang baru, udah lama banget. Mungkin hanya caranya yang beda, tampilannya yang beda, atau entah apa lagi yang beda. Tapi menurut gue, Islam yang gue kenal nggak kaya gitu.

Salah satu alasan akhirnya gue berani nulis tentang ini lebih karena gue berharapnya sih kita sebagai orangtua lebih aware sama pertemanan anak-anak dan sekolah anak kita. Bukan nakut-nakutin, sih, tapi yah, kok yang sekarang makin seram dan terbuka gitu ya. Kebayang nggak kalau kejadian gue bertahun-tahun yang lalu itu terjadi saat ini? Komunikasi makin mudah, anak-anak juga cenderung lebih kritis, berani bertindak, dkk. Duh, nggak kebayang.

Pesan gue buat para orang tua ini aja:



Tuesday, May 8, 2018

Beser, Bahaya Apa Enggak?


Ada yang suka beser nggak? 

Berdasarkan kbbi, beser adalah:


beser/be·ser/ /bésér/ a sebentar-sebentar kencing


Mari bercerita dulu. 

image dari sini

Cerita 1

Akhir pekan kemarin waktu ke JakartaXBeauty di Senayan City, tanpa janjian berlebihan, rombongan gue akhirnya kebanyakan buibu. We spent hours there. Kelilingan di lokasi hanya berapa jam, sisanya makan! 

Nah, kocaknya, karena di TKP nggak ada toilet, berarti kalo kebelet kan kudu nyeberang ke malnya. Pokoknya setiap beberapa periode, adaaa aja yang teriak, "Ayoo buruan, gue mau pipis nih!". Ini jadi penanda kami harus segera keluar TKP. Hahaha.

Cerita 2

Zaman kerja di kantor lama dulu, gue punya rekan sekantor yang usianya jauh lebih tua dan udah punya anak, sebut saja Mbak Ki. Mbak Ki ini punya kebiasaan, nggak bisa ketawa terbahak-bahak. Karena dia bisa terkencing-kencing, literally. Dan Mbak Ki memang paling nggak bisa nahan BAK lama-lama. When she wants it, she will do it. Literally, nggak peduli lokasi.

Pengemudi di kantor pernah cerita, suatu hari dia harus anter Mbak Ki ke lokasi yang cukup jauh dari kantor. Bogor, kalo nggak salah. Hari itu tol maceeeet banget, nggak ada rest area, dan Mbak Ki kepengin BAK.  Si Pengemudi ndilalah lagi ambil posisi sebelah kanan jalan, susah lah untuk melipir kiri. Si Mbak Ki tadinya udah mau nekat turun mobil dan melakukan hajatnya di semak-semak pinggir tol. Tapi apa daya, baru mau melaksanakan niatnya, Mbak Ki keburu pipis di celana! Si Pengemudi bingung, Mbak Ki tengsin. 

Cerita 3

Ada juga teman yang lain, lebih mendingan sih, dari Mbak Ki. Sebut saja namanya Mbak Ti. Mbak Ti ini kalo mau pindah lokasi, wajib pipis dulu. Berangkat kantor? Pipis dulu. Mau makan siang? Pipis dulu. Diajak jajan ke kantin? Pipis dulu. Mau miting [cuma pindah ruangan]? Pipis dulu. Mau pulang? Apalagi! 
.
Mungkin 2 dari 24 jam sehari itu dihabiskan Mbak Ti untuk BAK. 

Ada yang relevan sama cerita di atas? Atau ada cerita mirip-mirip? Kok cewek semua yang diceritain? Baca terus sampai habis, kenapa cewek yang sering menderita beser ini.

Nah, gue pribadi juga termasuk yang aktif dalam berkemih. Bisa 2-3 jam sekali gue BAK. tapi alhamdulillah sejauh ini masih cukup bisa kontrol. Walaupun kalau malam-malam nggak bisa tidur dan lagi banyak pikiran, itu bisa lebih dari 4x BAK. 



Kan jadi mikir, ya, bahaya apa nggak sih beser ini? 

Konon, kalo beser juga merupakan salah satu penanda diabetes. Yah, serem amat ya? Ini gue bahas di blogpost terpisah, deh.

Terkait dengan cerita di atas, yang kebanyakan dialami oleh perempuan, beser juga penanda penyakit yang namanya Stress urinary incontinence (SUI). Penyakit ini disebabkan oleh memanjang, melemah atau adanya kerusakan pada otot dasar panggul. Kok bisa rusak? Beberapa faktor yang bisa memengaruhi antara lain:

  • Obesitas
  • Riwayat operasi panggul
  • Cedera pada saraf
  • Kehamilan atau jumlah persalinan
  • Batuk lama
  • Merokok

Kemarin pas ke YPK Mandiri, oleh DR. dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K), MPH. dijelaskan bahwa 1 dari 3 perempuan berisiko kena SUI. Walaupun konon diderita oleh perempuan yang berusia di atas 65 tahun, tapi ternyata bisa kena di usia berapa saja. Yah, contohnya yang tadi gue ceritain di atas, deh, ya.


SUI kebanyakan memang dialami perempuan yang sudah pernah melahirkan. Kalau dulu paling hanya disarankan untuk latihan kegel untuk membantu mengencangkan kembali otot panggul, tapi di YPK Mandiri, ada alat canggihnya. Ada beberapa jenis tindakan yang bisa dilakukan di RS. YPK Mandiri, yaitu tidakan non bedah dan tindakan bedah. Tindakan non bedah yang bisa dilakukan dengan femilift laser vaginal rejuvenation, femilift SUI, femilife labia brightening, femilofe labia tightening, uroste. Sedangkan untuk bedah etestika nisa dilakukan dengan vaginaplasti, hymenoplasti, reparasi fistula,PRP,labio reduktion mayora, dan beberapa tindakan lainnya.

Kondisi ini berbahaya bagi kesehatan nggak?

Menurut gue, sih, secara praktikal aja, mungkin lebih ke masalah produktivitas, ya. Apalagi kalau kena penyakit ini di usia produktif, masa kerja jadi terganggu gegara beser. Atau kehidupan pernikahan terganggu gara-gara mikirin pipis mulu saat berhubungan intim? LOL. 

Lalu, kapan sih, kita bisa dikategorikan kena penyakit SUI? Coba jawab beberapa pertanyaan ini dulu:

Maunya dekat-dekat sama kamar mandi karena takut tiba-tiba mau BAK?

Ke mana-mana selalu bawa celana ganti?

Berhenti olahraga atau beraktivitas karena buang air kecil tanpa disadari?

Adakah perubahan dalam gaya hidup karena sering buang air kecil tanpa disadari?

Nggak nyaman sama diri sendiri dengan kondisi beser ini?

Beser bikin hubungan seksual dengan pasangan terganggu? (ouch!)

Kalau menjawab “Ya” di lebih dari setengah pertanyaan di atas, sebaiknya sih, memeriksakan diri ke dokter.

Kalo gue, berhubung segala hal yang berkaitan di bawah sana suka ngeri, yes include pemeriksaan dalam, copot pasang spiral [anyway, gue berhasil ganti spiral tanpa pingsan lho, kemarin!], dkk maka mari kita giatkan latihan kegel aja dulu! Toh bisa dilakukan kapan saja, di mana saja..