Friday, September 22, 2017

Jadi Korban Pencurian Identitas!



Gue ceritain ulang, kali udah ada yang baca di facebook gue bosen. Hehe. 

Jadi kemarin sore, gue dapat DM dari @metahanindita, bahwa ada akun yang unggah foto gue tapi captionnya seakan gue melakukan penipuan. Langsung gue lapor ke #TimEYD dan Igun. Sebagai kawan cepat tanggap, teman-teman di grup langsung dapet link akun pengunggah foto tersebut. 

Kemudian gue meninggalkan komentar di status itu, teman-teman cepat tanggap gue juga dong, pastinya. Mbak pemilik akun @annisa_kuncoro kemudian membalas komen dan DM gue. Dia menjelaskan duduk perkara penipuan. 

Intinya gue kurang paham, tapi kira-kira Si Penipu [sebut saja demikian] kontak Mbak Annisa lewat watsap untuk membeli barang yang Mbak Annisa jual lewat OLX. Nah, dia nih mengirimkan bukti transfer yang bodong. Konon pake mandiri e cash, yang jujur aja gue nggak gitu ngerti gimana cara kerjanya. Intinya bohong lah ya. 

Setelah ketahuan belangnya, Si Penipu hilang. Nomor Mbak Annisa di-block. 

Lha kok, Mbak Annisa bisa unggah foto gue? 

Nah, di sini lucu [atau seram?] - nya. Jadi Si Penipu menggunakan foto gue sekeluarga sebagai profile picture di Whatsapp-nya. WTH? 


Gue minta Mbak Annisa untuk menurunkan status tersebut, terutama karena ada foto kami di sana dan ada Langit. Kalo tau-tau viral, gimana? Tau sendiri kan, era media sosial gini, yang pertama menyebarkan, dialah yang benar. Alhamdulillah Mbak Annisa mau menurunkan status tersebut. Walaupun hanya terpampang di dunia maya selama beberapa menit tapi ada kemungkinan sekian orang yang terpapar oleh status tersebut kan?

Mbak Annisa kemudian membuat klarifikasi mengenai foto gue sekeluarga yang dia unggah di media sosialnya. Makasih ya, mbak!

Pertanyaan berikutnya, siapa Si Penipu ini? Gue telepon dong, nggak diangkat. Gue minta Igun telepon juga dong, nggak diangkat. Igun kemudian mengirimkan whatsapp ke Si Penipu. Dibaca doang, ga dibalas. Kaya koran. 

Kemudian, @axcelya gemas. Dia telepon tuh orang, diangkat. Tapi nggak ngomong, cuma ketawa-ketawa aja. Gue pikir hanya random dia angkatnya. Gue telepon lagi, nggak diangkat. Kemudian sepupu gue, @evychesta telepon juga, diangkat. Nggak ngomong, cuma halo-halo aja kaya orang nggak dengar lawan bicara. Igun telepon lagi, nggak diangkat. 

Gue jadi suudzon. Bisa jadi orang ini kenal gue dan Igun plus tau nomor telepon kami, sehingga nggak angkat kan? Buktinya 2 nomor telepon yang lain, diangkat kok. 

Suudzon berikutnya. Gue baru ngeh bahwa foto yang dia gunakan itu belum pernah diunggah di Instagram. Karena emang zaman sebelum Instagram eksis. Gue upload di Facebook. Dan, Facebook gue di-private. 

*thinking*

Long story short, hari berikutnya atas bantuan seorang sahabat, gue berhasil mendapatkan data pemilik nomor telepon tersebut. Dan atas bantuan sahabat yang lain, berhasil melacak lokasi nomor telepon tersebut. Sampai saat ini, gue masih mengumpulkan beberapa bukti lainnya. 

diwatsap baik-baik, dibalasnya dengan kata kotor yang gue tutup merah itu

Mau dibawa ke yang berwajib, Lit?

Kemarin sudah dikirimkan pesan sama Igun, dalam jangka waktu 1x24 jam foto kami belum diturunkan, akan kami bawa ke yang berwajib. Nah, udah lewat kan, waktunya. Kami nggak bisa lihat watsapnya lagi, kayanya sudah di-deactivate alias dihapus akun watsapnya. Jadi nggak tahu masih dipake apa nggak foto kami. Tapi nomornya sih, masih bisa ditelepon sampai semalam.

Ini nomor telepon Si Penipu 081278392965. Kalau ada yang merasa kenal, pernah dihubungi atau apapun dengan nomor tersebut, please let me know.

Dan ternyata, penipuan menggunakan Mandiri e cash ini udah marak dan hits banget di antara kawula buyer dan seller OLS. Kalau di awal gue bilang nggak paham sama sistem ini, maka setelah baca-baca thread di Kaskus,gue jadi ngeh sama cara kerjanya. Dan kayanya udah banyak juga orang yang jadi korban di mana foto/ bahkan KTP dijadiin ‘bukti’ seolah mereka orang beneran ke penjual-penjual online.

Tiati ya, gaes!

Anyway, kalau gue biasanya cuek sama perihal beginian, sekarang jadi rada parno. Apalagi ada foto Langit di sana. 

Haruskah gue membatasi diri dalam berbagi? Apakah selama ini gue over sharing di dunia maya? Ini jadi bahan gue berpikir sih. Menurut teman-teman gimana? 

Monday, September 11, 2017

Anak Perempuan Main Bola?



Di awal tahun ajaran baru kemarin, Langit galau. Galaunya karena dia bimbang mau ikut ekskul apa di sekolahnya. Kebetulan sekolahnya hanya menyediakan ekskul tari, gambar, futsal dan taekwondo. Sejak kelas 1 sih, Langit ikutnya ekskul gambar. Pernah di kelas 2 dia ikut ekskul tari. Tapi katanya, boring. Haha. Sotoy. 

Di kelas 4 ini, ekskul gambar yang sesuai sama hobinya nggak ada. Kayanya sih karena sulit cari guru yang tepat. Ada yang mau ngelamar? Hihi. 

Nah, out of the blue, dia bilang, "Aku mau ikut futsal, sepak bola. Boleh nggak, bu?". 



Gue sempat kaget sih. Karena anak gue walau nggak princess-princess amat, tapi juga nggak tomboi banget. Dia suka kegiatan outdoor, sih. 

"Kalau sama ibu sih, boleh aja. Tapi di sekolah ada perempuan yang ikut futsal nggak?", tanya gue. Terus katanya nggak ada. Nah, supaya nggak mematikan semangat, gue sarankan dia untuk bertanya ke pihak sekolah. Boleh nggak anak perempuan ikut futsal di sekolahnya? 

Selang beberapa hari, Langit lapor bahwa nggak ada anak perempuan yang ikut futsal. Tapi kata gurunya, boleh kalau Langit mau ikut untuk nyobain dulu. 

Btw, lo jahat amat, Lit, nggak bantu nanyain atau konsultasi? Hemm, menurut gue, hal ini harus disampaikan oleh Langit sendiri. Kan Langit yang mau ikut futsal. Lagian, kalau orangtua yang bertanya, nanti malah berkesan hal ini didorong oleh orangtua, bukan kemauan anak. My two cents. 

Singkat kata, tibalah hari di mana Langit akan ikut futsal. Sehari sebelumnya, gue ngobrol sama Guru BP di sekolah mengenai hal ini. Menurutnya, Langit udah konsultasi sama beliau. Dan beliau bilang nggak masalah, cuma diingatkan juga bahwa yang ikut futsal semuanya laki-laki. Takutnya Langit nggak nyaman. But my daughter said, it's okay. So, berangkat! 

Oiya, beberapa hari sebelumnya juga gue udah bekali dengan berbagai kemungkinan. Misal, diejek teman karena hal ini nggak biasa di sekolahnya. Atau ketika main sama anak laki-laki akan diremehkan, mereka kan udah akrab dengan main sepak bola sejak kecil karena permainan ini dianggap mainan laki-laki. 

Padahal ya, Indonesia juga punya tim sepak bola perempuan lho. Jadi, harusnya nggak aneh dong. 
Gue juga tambahin, kalau Langit nggak nyaman atau nggak cocok nantinya, nggak apa-apa. Dicoba aja dulu. "Iya bu, kan aku nggak tahu suka apa nggak kalo nggak nyoba". Aish, gaya amat sih anak gue. 

Komentar yang lain:

Bapaknya yang doyan bola dari orok sih, oke-oke aja. Mungkin malah berharap jadi punya sekutu dalam mencintai sepak bola, ya? Haha. 
Eninnya, "Kenapa nggak ikut nari aja sih, kaya Nadira?", yang dijawab oleh Langit, "Everyone is different, Nin" :D
Atau Engkungnya, "Kamu item banget sih sekarang gara-gara main bola melulu, pasti". Padahal main bola di sekolah itu di rooftop sekolah, yang ada atapnya :D

Di hari futsal, pas lagi di jalan gue terima whatsapp dari salah satu dari teman sekolah Langit yang ikut futsal juga. Isinya memuji keberanian dan semangat Langit yang ikut futsal. Gue terharu! Apalagi Si Mbak ini juga dapet cerita dari anaknya gimana Langit semangat  latihan dan "Pak Hari [guru sekolah dan pelatih futsal] kasih jempul bu, buat Langit". Aaah, rasanya pengin buru-buru sampai rumah dengar cerita langsung dari Langit. 

Memang, katanya sih ada anak-anak yang [justru nggak ikut ekskul itu] yang ngejek Langit. Atau anak-anak perempuan yang sibuk mempertanyakan keputusan Langit ikut futsal. Tapi rupanya, hal itu nggak jadi isu buat Langit. Dia cuma sempat bertanya, kenapa perempuan pantesnya ikut ekskul tari? Kenapa perempuan dianggap suka nangis? Dan hal-hal semacam itu. Gue malah senang Langit bertanya. Dengan gitu, justru gue bisa masukin nilai-nilai kesetaraan gender sejak dini. Ya kan? Hehe. 


Tapi namanya ibu, pasti ada rasa khawatir. Khawatir dia nggak bisa mengatasi omongan di sekitarnya. Makanya, PR besar buat gue untuk terus menyemangati dia. Bukan, bukan perkara main bolanya. Ini sih, sama anak tetangga yang laki semua juga tiap sore main bola. Tapi lebih ke kepercayaan diri dia dalam melakukan hal positif yang dia sukai kendati nggak sesuai sama norma yang diciptakan oleh budaya patriarkis. 

Mohon doanya ya buibu, semoga Langit tetap semangat! 

Anyway, tentang kekhawatiran anak perempuan main sama laki-laki atau melakukan hobi kelaki-lakian akan mengganggu pertumbuhan emosinya so far nggak terbukti sih. Lah gue ini contoh nyata. Dari kecil sampe umur segini mainnya sama laki mulu. Naik sepeda panas-panasan, manjat genteng, pohon, nonton bola, dan sebagainya. Alhamdulillah tetap cita-citanya jadi ibu yang baik, kok :)