Tuesday, April 25, 2017

1000 Emosi Ibu



Sembilan jadi ibu, percayalah, belum ada apa-apanya. Tepat hari ini, Langit berusia 9 tahun. Mulai masuk pre-teen ya? Duh. 


Tanggal 21 April kemarin gue beruntung diundang untuk sharing di event @eleveniaid oleh Mbak @seliyanthi_rahmat. Temanya, implementasi Kartini masa kini. Warbiyasak bukan? 

Bareng Mbak Seli yang nodong diriku :*



Gue mah, kaga ada apa-apanya. Berbekal dari video yang diproduksi oleh @legacy.pictures untuk promo film Kartini, gue mulai susun bahan untuk sharing session tersebut. Intinya, perempuan harus pintar karena kita adalah sekolah pertama untuk anak-anak kita yang merupakan generasi penerus bangsa. Sounds too nasionalist? Nggak apa kalo ada yang mencibir. 

Tapi ini sungguh dari lubuk hati yang paling dalam. Gue percaya, semua ibu ingin melahirkan, membesarkan anak yang cerdas, pemberani, tangguh, berguna bagi nusa bangsa, dan sebagainya doa baik dari orangtua untuk anaknya. Ya kan? 

Nah kalo kita nggak pintar, mau jadi apa anak-anak kita? 

*tenang aja, gue nggak pintar sama sekali, kalo berdasarkan prestasi apalah gue ini. 

Di sharing session tersebut, ada sejumlah pertanyaan yang cukup menggelitik. Salah satunya dari seorang ibu yang menanyakan gimana caranya supaya bisa lebih mengatur emosi di depan anak. Kadang ia merasa suka nggak sabar jadi marah, sedih jadi nangis, dan sebagainya. 

Duh, kalau kriteria ibu sempurna adalah ibu yang selalu tersenyum di depan anak dan memiliki sejuta kesabaran, gue bukan orangnya. Jauh, men! Wong anak gue aja sering bilang, "Ibu judes, ya?", haha! 

Yang bisa gue katakan adalah, seorang ibu adalah manusia yang memiliki 1000 perasaan dan emosi. Kita bukan Stepford Wives yang serba sempurna. Kita, manusia biasa. In my defense, its okay to cry, angry or whatever. Justru akan menunjukkan pada anak bahwa ibunya ini manusia biasa. 

Mungkin itu alibi gue karena suka nggak bisa kontrol emosi. Tapi lagi-lagi, gue manusia biasa. Dan sebisa mungkin, saat marah maka ada alasan yang tepat sehingga gue jadi marah. Contoh, gue marah kalo Langit nahan pipis. Kan bahaya buat kesehatan. Gue marah kalo Langit nggak beresin buku sekolahnya sendiri, karena itu adalah latihan buat dia bertanggungjawab. Gue marah kalo Langit bersikap kasar sama orang lain, ya karena ini mah nggak baik. Dan seterusnya. 

Ya, selalu ada alasan, memang. 

Emang nggak bisa diomongin baik-baik? Tenang gaes, marahnya gue jarang yang lepas kontrol. Marah gue adalah memberitahu konsekuensi yang akan dia dapatkan kalau tidak/ melakukan hal-hal yang bikin gue marah. Jarang sekali, marahnya gue dengan nada tinggi. Main tangan? Alhamdulillah nggak pernah. 

Urusan nangis? 

Percayalah. Sampai saat ini, orang yang paling  sering ngeliat gue nangis adalah Langit. Mungkin salah ya, karena akan jadi beban buat dia. Tapi nggak tau deh, orang yang paling tahu perasaan gue mungkin adalah Langit. Gue berharap dengan kejujuran gue akan perasaan gue, Langit akan bisa selalu jujur sama gue. Walaupun kadang sakiiiit saat dia bicara jujur tentang perasaan dia.


Well kiddo, life is not always like we want to be. Shit happens, but thats okay. Life goes on. 


Di usianya yang 9 tahun, gue hanya berharap semoga Langit jadi anak yang kuat, pemberani, jujur, toleran, berpikiran terbuka, dan nggak merugikan orang lain.


Selamat ulangtahun, Langit Kilau Pelangi. You are the sky of my universe :) 

1000

Monday, April 10, 2017

Smurf: The Lost Village, Bagus Apa Nggak?



Kemarin gue nonton Smurf: The Lost Village. Sebelumnya sih nggak kepikiran untuk ajak Langit nonton ini, karena kan emang kayanya nggak terlalu heboh gitu deh, film ini. Kalah hype-nya sama Beauty and the Beast [yang mana gue belum nonton juga sih].


Lah terus kok nonton ini?

Jadi gegara diajakin acara nobar yang diadakan oleh Ultra Mimi di Blitz Mall of Indonesia, sih. Sebagai #IbuBijak, gue mau lah diajakin nobar. Gratis, Langit bisa senang-senang pula. Bisa dibilang, nobar kemarin asik juga. Gratis nonton film, lalu dibekelin camilan selama nonton yang cukup mengenyangkan nggak hanya minum dan popcorn, tapi juga hotdog sodara-sodara. Dalam hati, “lumayan nih nggak jajan”, tapi kenyataan sih berbeda ya. Teteub aja jajan juga *korek dompet :D *

Anyway, sebelum terlalu jauh ngomongin dompet, review  gue terhadap film Smurf ini adalah, BAGUS. 



Iya,pake huruf kapital, karena memang ngerasa fun banget sepanjang nonton Smurf.

Smurf, banyak ketawanya

Banyaaaaak banget adegan-adegan lucu sepanjang film. Adegan lucunya juga yang sederhana dan mudah banget dimengerti sama anak-anak. Misalnya, Gargamel kepeleset lah, burung gagaknya pas lagi terbang nabrak tembok lah, para Smurf yang asik di spa, dan seterusnya.

Gue sih, banyak ketawa ya, walaupun adegannya klasik tapi gue ketawa karena ngelihat Langit ketawa happy :)

Smurf, visualnya kece

Ya kalo dibandingin sama film animasi lainnya mungkin Smurf ini tergolong yang cukup biasa aja. Tapi buat gue yang nggak anak film banget, visual di Smurf ini udah cukup bikin menganga. Apalagi penggambaran pas masuk pertama kali ke Forbidden Forest-nya, waaaah, bikin terpana deh!

Smurf, mengandung pesan buat perempuan

Jadi inti dari cerita ini adalah bagaimana kita celebrate keunikan atau perbedaan yang kita miliki. Ceritanya berpusat pada Smurfette [Smurf yang cewek] yang bertanya-tanya [dan kerap ditanya] apa sih kelebihan/ keunikan dia? Secara kan Smurf itu dinamakan berdasarkan bakat/ keunikan masing-masing, misalnya Clumsy Smurf, Nosy Smurf, dan seterusnya. Nah, Smurfette ini, -ette itu apa?

Sambungan ke perempuannya apa?

Smurf ini kan wilayahnya laki-laki, tapi di film ini Smurfette memegang peran penting untuk kehidupan para Smurf dari serangan Gargamel. Walaupun ya, masih ada juga joke-joke khas laki yang ditujukan ke Smurfette misalnya waktu Hefty Smurf yang coba merayu Smurfette. Atau Smurfette yang dipandang sebelah mata karena dia berbeda dengan Smurf lainnya [Smurf lain kan lebih ke laki, sementara Smurfette perempuan]

Banyak review yang bilang bahwa film ini alurnya terlalu ringan. Kalo gue sih, nggak apa-apa. Kan film ini buat anak-anak ya? Secara anak gue perempuan dan sempat pengin jadi superhero, lumayan tercerahkan lah dia memandang bahwa perempuan yang biasa aja bisa punya peran penting juga ternyata. Apalagi pas sampe ke desa Smurf yang isinya cewek semua :D

*spoiler alert*

Anyway, di akhir film ini ada laguya Meghan Tranor yang baru, judulnya I’m a Lady. Nggak sekuat lagu-lagunya Beyonce sih, dalam hal empowering women, tapi cukup oke untuk ngajak ciwi-ciwi untuk bangga sebagai perempuan :)


*Btw, ini Langit yang ngeh bahwa lagunya adalah Meghan Tranor yang nyanyi. Hahaha.. anakku sudah besaaaaar :')
 
Terus, wajib nggak nonton ini?

Menurut gue, kalau memang mau bersenang-senang, nonton deh. Gue sih merasa fun banget selama nonton film ini, ya. Lagian, kalo nonton sama anak kenapa serius-serius amat sih, yang penting kan kebersamaannya. Ya nggak?

Monday, April 3, 2017

Nggak Malu Sama Timehop?



Jadi, kan belakangan ini hidup kita dikelilingi oleh dunia digital, banyak yang bilang dunia maya ini bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi menguntungkan, tapi di sisi lain banyak juga kerugiannya. 

Yang menguntungkan sih udah jelas ya, kita bisa nambah teman, ketemu teman lama, mendapatkan banyak informasi, mau ngapain aja tinggal satu klik aja, dan seterusnya. 

gambar dari sini
Nah kalau merugikannya? 

Pertama, dalam hal mengungkapkan pendapat. Sejak dunia maya jadi bagian hidup, kita dimudahkan untuk publikasi apapun pendapat kita terhadap suatu hal. Review produk, tempat, atau isu yang sedang berkembang. 

Sayangnya, kalau menurut gue nih, kita lupa kalau apa yang kita publikasikan itu bisa dibaca oleh orang lain. Ya, saat kita nulis status sebel sama orang kantor dengan berharap nyindir orang yang bersangkutan, yang kesindir malahan teman lain. Saat kita nulis status galau padahal berdasarkan curhat teman [eh ada ga sih yang begini? Soalnya gue sering], disangka kita yang mengalami hal tersebut, dan sebagainya. 

Yang parah lagi, dengan berkembangnya isu politik belakangan ini, banyak dari kita terpancing untuk urun pendapat akan hal tersebut. Kalau yang dipublikasikan kalimatnya teratur, tanpa emosi dan bijak sih, nggak apa. Sayangnya, banyak dari kita yang malahan nulis dengan gaya mencaci orang tertentu. Mungkin curahan hati karena kegemasan akan kondisi politik, tapi yang terbaca adalah kebencian. 

Sayangnya lagi, gue sering menemukan hal ini dilakukan oleh para ibu. Nggak, gue bukan orang yang bilang bahwa ibu-ibu nggak usah ikut campur urusan politik. Siapapun berhak berpendapat tentang hal apapun. Tapi kalau ditulis dalam bentuk kalimat kebencian, mencaci atau nggak sedikit yang menulis dengan kalimat tak pantas, apakah itu wajar dikeluarkan dari seorang ibu yang notabene merupakan sekolah pertama dari seorang anak? 

Ini salah satu contohnya :'(

Jujur gue sedih lho. Kita, Perempuan,  itu harus pintar. Artinya kalaupun mau berpendapat, please keluarkanlah dengan kalimat yang bijak. 

Ingat, apapun yang sudah kita publikasikan di dunia maya akan terekam selamanya. Nggak usah mikir masalah kita googling tulisan kita 5 tahun lalu masih bisa dibaca saat ini deh, dengan adanya tombol share, retweet atau screencapture, apapun di dunia maya bisa tersebar, terbaca oleh orang lain, dan tersimpan. 

Kalau suatu hari dibaca sama anak kita gimana? 

Gue aja kalau diingetin timehop sama apa yang gue tulis 6-7 tahun lalu, malu lho. Saat gue masih suka berkata nggak pantas, marah atau emosi akan 1 hal, dan sebagainya. Gue mikir, kalau Langit baca, apa yang akan dia pikirkan tentang gue ya? 

Seperti yang gue pernah tulis di sini, kadang kita take it for granted bahwa akun kita dikunci kok, jadi memang hanya orang-orang terpilih atau teman saja yang bisa baca. Heloh, ingat ada kecanggihan teknologi bernama screencapture di mana obrolan/ DM saja bisa dibagikan ke orang lain *dapet salam dari lambe turah* haha. 

Kemudian urusan kejahatan dunia maya yang semakin menjadi. Ingat kasus grup pedofil di dunia maya? Astaga. Gue sih nggak terlalu ngikutin karena gue nggak mau. Nggak tega, ga sanggup. 

Kasus ini seolah memaksa kita untuk buka mata bahwa yang namanya orang dewasa tertarik sama anak di bawah umur bukan cuma ada di CSI atau Criminal Minds, tapi nyata ada di sekitar kita. Korbannya siapa? Anak-anak kita, bu. 

Gue masih termasuk orangtua yang suka upload foto anak. Hal di atas menampar muka gue bolak balik sih, bahwa kejahatan bisa terjadi di mana saja. Okelah misalnya insyaallah anak kita aman aja di dunia nyata, tapi kalau foto anak kita dijadikan objek seks buat para orang gila di luar sana, apa rela? 

Satu lagi nih, kalau anak kita udah gede, terus ternyata gebetannya adalah anak teman kita di media sosial, kebuka semua dong foto anak kita lagi nangis, marah, ngambek atau malah abis sunat! :D
 
Terus gimana dong? 

Seperti yang gue bilang di atas, gue masih harus belajar untuk meredam emosi untuk tidak atau mengurangi lah upload foto anak atau detail kehidupannya yang bisa jadi sumber informasi orang-orang yang mau berbuat jahat. 

Gue pernah nulis tentang apa yang perlu dilakukan sebelum unggah foto anak ke media sosial di sini

Menanggapi kasus-kasus seperti di atas, gue jadi inget kata ibu Elly, "cukup anak orang tapi anak kita jangan."

Jahat ya? Ya habis gimana dong. 

Anyway, inti tulisan ini sih, mengingatkan aja bahwa dengan semakin canggihnya dunia digital, mau cari tentang apapun mengenai seseorang bisa banget. Apalagi buat anak-anak sosmed seperti kita-kita ini [kita?], stalking jadi lebih mudah! Makanya, yuk ah lebih bijak menggunakan media sosial. Karena menjadi #IbuBijak nggak melulu masalah penghematan :D

Karena ya, NGGAK MALU SAMA TIMEHOP?