“Duile kekinian amat sih anaknya!”, kita pasti sering dengar omongan ini ya di berbagai waktu. Istilah ‘kekinian’ itu sendiri sekarang jadi kekinian dan kalo kita nggak ikutan melemparkan kata tersebut, maka kita nggak kekinian :D
Dan kita sering mengucapkan kata 'kekinian' dengan maksud nyindir orang lain yang kesanya ikut-ikutan orang lain. Apa sih
kekinian?
Kalo gue
simpulkan dari grafis yang gue nemu di beritagar dan berbagai percakapan sih,
kekinian artinya hal yang lagi populer aja.
Di dunia ibu-ibu, nggak mau ketinggalan dong, kekinian. Dengan semakin maraknya media sosial plus semakin seksinya isu parenting di sana, banyak hal positif yang justru menjadi kekinian. Misalnya nih:
ASI
Iya, ASI sekarang menjadi hal yang kekinian di dunia ibu-ibu yang kekinian. Dulu sih ibu-ibu kita udah menyusui ya. Tapi kemudian,ketika susu formula mulai dipasarkan dengan begitu banyak iklan dan campaign yang keren, poularitas ASI perlahan meredup. Susu formula yang harganya mahal seketika seperti menempatkan seseorang di status tertentu. Setidaknya ini yang gue lihat di Indonesia lah, yang gue tau.
Tapi kemudian, beberapa tahun belakangan mulai banyak aktivis-aktivis ASI bermunculan, media social pun gencar ngobrolin hal ini. ASI kembali ke hakikatnya. ASI jadi populer. ASI jadi kekinian.
Dengan semakin maraknya media social, banyak gerakan-gerakan peduli pola asuh. Ibu Elly Risman yang dulu jarang banget masuk media untuk share mengenai pandangannya terhadap pola asuh, sekarang seminarnya selalu full boked! Belum kekinian kalau belum pernah ikut seminarnya Ibu Elly. Belum kekinian kalau belum pernah check in di seminar parenting.
Ini bukan nyinyir ya, aslik. Gue seneng soalnya ikut seminar juga *subjektif ya*. Karena menurut gue memang benar, seumur hidup kita nggak pernah belajar tentang menjadi orang tua. Kita belajar hanya dari orang tua atau orang sekitar kita. Apa salah? Ya nggak juga. Tapi zaman berubah, shay. Apa yang dulu diterapkan oleh orang tua kita ke kita, belum tentu sesuai kalau kita terapkan ke anak-anak kita sekarang. Kenapa? Ya arus informasi semakin deras. Contoh kecil, telepon pintar yang dulu mungkin hanya dimiliki oleh para pebisnis, sekarang sih anak umur 5 tahun aja udah andal mengendalikannya.
Makanya lewat seminar itu gue pribadi bisa dapat ilmu buat jadi orang tua. Soalnya anak lahir nggak dilengkapi sama manual book bow, jadi manalah gue tau cara komunikasi dengan anak yang tepat itu gimana kalau nggak lewat seminar (baik yang diikuti secara langsung atau lihat di medsos orang).
Akademis
Terkait dengan hal di atas, makin banyak pula orang tua yang sadar bahwa nilai akademis atau pintar matematika bukan tolok ukur kesuksesan anak di masa depan. Masih banyak hal yang bisa dieksplor dari seorang anak. Kecerdasan anak bukan lagi melulu karena mendapat nilai 100 atau peringkat pertama di kelas.
Makanya gue cukup terpukul waktu lihat di group whatsapp ‘geng EYD’ salah satu member kami ada yang cerita ada seorang ibu sebut saja Mawar, yang marah-marah karena anaknya ‘cuma’ dapat peringkat 7 di kelasnya.
“Cuma peringkat 5 di sekolah abal-abal. No gadget, no overseas vacation. You’re so dead, Bobby (nama anak disamarkan)”Demikian kira-kira cacian Mawar ke anaknya. Dipubliskasi pula ke media sosial miliknya. Dan ada yang nge-like -__-
Reaksi pertama lihat itu?
Bu... *speechless*
Emaknya
nggak pernah ikut seminar parenting?
Atau emaknya
adalah mereka yang #menolakkekinian?
Ih. Spicles deh. Di saat ibu-ibu lain berlomba kekinian dengan menemukan bakat anak selain menuntut atau memamerkan akademis, kok Mawar masih aja anggap bahwa nilai atau sekadar peringkat di kelas itu penting? Emang nggak mau kekinian apa, dengan tidak memedulikan nilai anak yang penting anak bahagia?
Maksud gue, tentu saja setiap orang tua pasti punya ekspektasi terhadap anak, ya. Dan hal ini sudah kita lantunkan sejak anak masih dalam kandungan. Pengin anak yang sehat, cantik/ ganteng, pintar, dsb dkk dst. Seiring waktu berjalan, dengan begitu banyak informasi yang sudah kita terima, apakah ekspektasi harus diubah menjadi tuntutan?
Gue ngeri anaknya Mawar stres, bok. Manaan ditaro di media social pulak, bayangin pressure-nya si anak walaupun dia mungkin belum punya media sosial atau nggak tau emaknya posting begitu ya. Malah dengar-dengar si Bobby disuruh bikin semacam perjanjian tertulis sama mamaknya bahwa dia akan mendapatkan nilai dan peringkat yang bagus di sekolah *pucet*.
Mawar, gue sih nggak mau panjang lebar menasihati lo, ya. Aku mah apa atuh. Jadi orang tua juga baru kemarin. Tapi mungkin buat sekadar insight, coba deh baca blogpost saya mengenai kecerdasan anak. Itu dari seminarnya Ibu Elly Risma, lho. Kalau ibu mainan media sosial yang kekinian itu, harusnya ibu kenal sih sama Ibu Elly Risman. Dan makin lengkap deh nanti kekiniannya karena ‘mendengar’ nasihat Bu Elly.
Semoga kita, ibu-ibu kekinian yang nggak melakukan hal tersebut ya.
Menyiapkan bekal anak
Kalo ini kekinian di Instagram. Dan gue nggak ikutan. Haha. Ya gimana ya, nggak bisa masak terus kebetulan sekolahnya Langit udah ada catering. Jadi bekal yang dibawa hanya buat snack time aja. Udah gitu Langit doyan snack kan buah. Kalau dibawain yang macam-macam, nggak mau. Daripada sakit hati dan ngomel karena bekalnya nggak dimakan, jadi gue milih bawain bekal sesuai request Langit aja. Dan request-nya berkisar roti keju panggang (which is nggak kece kalo difoto), baked potato, nugget, bakso ikan, gitu-gitu aja. Kan tengsin kalo upload padahal bekalnya itu lagi, itu lagi. Haha. So this is not my league :D
Gue malah salut sama buibu yang sanggup menyiapkan bekal lengkap dan variatif setiap hari. Thumbs up!
Itu 4 hal kekinian di dunia ibu yang gue tau sejauh ini. Menurut gue, selama kekinian itu positif, kenapa nggak? Dibilang ikut-ikutan? Ya biarin aja, selama itu membawa kebaikan buat diri kita sebagai ibu dan pastinya efek baik ke anak, kenapa nggak?
Ada kekinian apa lagi sih di dunia ibu-ibu? Tapi coba di-share ke sini yang bagus-bagus aja. Biar inspiring gitu kesannya :D